Tuesday, December 31, 2013

NewBorn: #CrazyLove: LDR (kejadian di balik layar)

Setelah kelahiran Lovhobia Maret kemarin, akhirnya di penghujung tahun ini aku melahirkan satu tulisan lagi. Kali ini ada yang istimewa. Bukan proyek solo kayak dua anak sebelumnya, tapi proyek bareng. Kumpulan novela dari 5 penulis Bentang Belia dengan tema besar LDR. Ini dia penampakannya :


unyu ye?


Sebelum mulai cerita di balik proses pembuatannya, mari dibaca dulu sinopsisnya :

Bagaimana pun ditiadakan, jarak akan tetap ada.

Apa yang terjadi bila kesetiaan dan pengkhianatan berjalan tak seimbang dalam satu hubungan?
Bisakah menjaga hati hanya dengan saling percaya dan bisa dipercaya?
Dan, akankah jarak mampu menjawab semua keraguan yang ada?

Temukan 5 perjuangan hubungan jarak jauh yang akan membawamu pada pergolakan hati akan keputusasaan hubungan, perdebatan, pengkhianatan, dan percaya-tidak percaya yang berjalan seiringan dengan keteguhan, kemantapan, serta rasa tak ingin kehilangan dalam jarak yang terbentang.


Hmmm…
LDR alias Long Distance Relationship selalu punya makna sendiri buatku. Itu yang bikin aku terobsesi banget pengin nulis dengan tema ini. Sebelumnya, selalu gagal. Entah udah berapa draft calon novel yang aku tulis, nggak ada yang sukses. Ada yang stuck di tengah, ada yang file-nya ilang gara-gara laptop rusak, dan sebagainya. Semesta kayak nggak ngasih izin aku buat ngubek-ngubek hal itu lagi.

Nyerah? Yup! Capek juga akhirnya. Kalau emang bakal jadi, suatu saat aku bakal bisa nulis dengan tema ini.

Semesta akhirnya ngasih restu lewat Mbak Dila, editorku. Berawal dari surel Mbak Dil, segala doaku kayak terjawab *lebay ye. Bodo*

Jadi gini …
Di suatu sore, waktu aku lagi duduk-duduk santai sambil karaokean nggak jelas di kamar, bebe-ku bunyi. Notif email baru. Alamat pengirimnya dari Bentang Belia. Penasaran, aku bacalah itu email. Isinya kurang lebih tawaran buat nulis novela bareng penulis Bentang Belia lain dengan tema yang sudah ditentukan.

And, you know, dua tema yang ditawari Mbak Dil bikin aku galau setengah mampus!
Tema pertama : LDR
Tema kedua : Move On

How kampret it is, right? Dua-duanya bisa dibilang sebagai tema sakral buatku. Mbak Dil minta kami-kami milih satu tema dan tulis cerita maksimal 40 halaman. FYI, aku sedikit bermasalah sama tulisan yang jumlah halamannya terbatas. Itu yang jadi alasanku sering gagal bikin cerpen *nangis*
Yahh… karena aku perempuan yang cukup keras kepala dan nekat, mengabaikan jumlah halaman biar nggak jadi penghalang, aku mau gabung ke proyek itu.

Pertanyaan kedua … tema mana yang harus kupilih?
Kayak yang aku bilang sebelumnya, kedua tema itu sakral. Aku MAU BANGET nulis dua-duanya. Tapi, karena nggak boleh maruk, jadi pilih satu. Pilihan dari awal condong ke LDR. Tapi, aku ragu. Gile ya, bok! Bolak-balik nyoba bikin tema itu, SELALU GAGAL! Apa ada jaminan kali ini bakal berhasil? Pake batasan halaman seiprit pula. Dan juga, ini bukan proyek iseng yang aku bikin bolak-balik kemarin. Tapi proyek beneran. Sempet pertimbangin Move On, kali aja bakal lebih asoy. Tapi sama aja. Hati ujung-ujungnya balik ke LDR. Akhirnya, mengikuti kata hati, aku pilih LDR.

Selesai? Oh… belum. Jangan buru-buru gitu lah.
Sinopsis pertama yang aku bikin, ditolak Mbak Dil. Nggak ditolak mentah-mentah sih. Tapi banyak catatan di sana-sini, yang diakhiri dengan, “ada ide lain?”
Aku anggap itu berarti ide awal ceritaku emang nggak layak-layak banget.

Galau part sekian kembali. Keteguhan hati yang tadinya emang belom banyak-banyak banget buat nulis tema itu, makin merosot. Keyakinan di kepala kalau aku emang NGGAK BISA nulis tema itu makin meningkat. Saya FRUSTRASIIIII!!!

Nih tema bener-bener bikin aku ngerasa terintimidasi. Sempet kepikiran buat mundur aja, atau pindah ke Move On, tapi akal sehat nggak ngijinin. Segitu doang udah nyerah, berhenti aja jadi penulis. *akal sehatku emang suka kejam* *sigh*

Sempet bengong lama buat mikirin ide cerita apa yang mau aku bikin. Pake mikir juga, apa yang bikin aku susah banget buat ‘akrab’ sama tema ini. Karena masa lalu kah? Pleaaasseeee!!! Penting amat tuh masa lalu sampe bisa ngehalangin niat muliaku! Cih! *dikeplak tiket pesawat*

Dan, you know, aku akhirnya tahu apa yang bikin susah.
Karena aku terlalu terobsesi. Aku terlalu ambisius buat sukses bikin tema itu. Punya ambisi nggak salah. Terlalu ambisius yang bisa jadi masalah.

Dengan menurunkan ego, aku coba lagi semuanya dari awal. Kali ini, aku ngelakuin semuanya murni dengan senang hati, nggak cuma melibatkan ambisi. Aku coba berenti buat terobsesi sama tema itu. Pelan-pelan, pendekatan.

Yah, samalah kayak kalo lagi pedekate sama lawan jenis, pas kamu terlalu bernapsu, dia bakal kabur. Tapi, kalau kamu pelan-pelan dan pedekate dari hati, bisa lebih enak.

Itu juga yang aku alami sama tema ini. Dia nolak aku deketin dengan obsesi, ambisi, dan ego tinggi yang bercampur. Dia mau pelan-pelan dateng begitu aku nurunin tameng ego, ganti obsesi liar dengan niat hati, dan nahan ambisi.

Nggak perlu aku jelasin gimana bahagia, seneng, gembira, dan bangganya aku waktu berhasil nyelesain cerita ini. Aku cuma butuh melibatkan hati.

Nulis, mungkin emang pekerjaan otak, tapi hati yang jadi bos. Kalau hati nggak terlibat, apa pun yang kamu bikin terasa salah.

Akhirnya satu keinginan besarku terlaksana.
Mungkin, apa yang aku tulis ini bukan tulisan sempurna. Tapi, percaya deh, aku udah ngeluarin semua yang terbaik buat cerita ini.

Apa aku inget masa lalu pas nulis?
YA IYALAAAHH! MENURUT LO?
LDR = masa lalu, buatku. Bahas LDR, ya bahas masa lalu. Dan aku bersyukur. Tanpa masa lalu itu, mungkin aku nggak akan ada ikatan batin sama LDR. Kalo sampe gitu, mungkin aku nggak akan kepikiran bikin tema ini. Itu berarti, cerita ini mungkin nggak akan pernah lahir.
Tapi jangan takut. Kalian nggak akan baca ‘diary Elsa’ dari ceritanya, karena semua murni fiktif. Remember, aku NGGAK AKAN PERNAH masukin adegan pribadi yang pernah aku alami sendiri ke novel. Terinspirasi, yap. Masukin sama persis, nope. Terlalu … pribadi :p

Akhir kata … selamat menikmati "sMiles". Mari berkenalan dengan Zarina Aryesti (Arine) dan Biru Adyaksa (Biru), dua pejuang LDR yang mewakili aku, isi hatiku, dan pikiran liarku.

Semoga kalian terhibur :))



Salam sayang,


Elsa Puspita, M.P.L, C.D.L

Mantan Pejuang LDR, Calon Duta LDR B)

Saturday, November 30, 2013

Review Buku : “Pssst…!” by Dy Lunaly

Judul Buku : Pssst…!
Penulis : Dy Lunaly
Penerbit : Bentang Belia
Terbit : Oktober 2013
Jumlah Halaman : 199






Novel keempat dari Mbak Dy Lunaly. Dan yang ketiga terbit tahun ini. *simpen irinya*

Novel ini menceritakan tentang perjalanan 5 sahabat keliling Eropa. Tujuannya 5 negara yang jadi impian mereka di Eropa. Dan ternyata, perjalanan itu membongkar satu-persatu rahasia yang mereka simpan dari yang lain.

Pertama, bahas bagian yang menarik dulu. Di novel ini penulis menggunakan sudut pandang orang pertama ganti-gantian. Ada 5 bagian dengan 5 sudut pandang orang pertama yang berbeda. Di bagian pertama, Wira yang jadi tokoh “aku” dengan negara pilihannya Belanda, tempat yang punya kenangan manis masa kecilnya, tapi malah berubah jadi musuhnya. Kenapa bisa begitu? Baca sendiri ye. Di bagian kedua, kita diajak Jiyad sebagai “aku” jalan-jalan ke Belgia, negerinya Tintin, dan dikira Jiyad merupakan tempat paling tepat buat jujur ke para sahabat tentang rahasia yang disimpannya. Bagian ketiga, si manis Noura yang gantian jadi “aku” dan ngajak kita keliling Luksemburg, negara kecil cantik tapi ternyata bikin dia ketiban masalah sama sahabat-sahabatnya. Perancis jadi negara pilihan Adhia, si tokoh “aku” di bagian keempat. Siapa yang gak pengin ke Paris sama orang tercinta? Kota paling romantis sejagat! Tapi, di kota paling romantis itu, hal gak enak pun tetep bisa terjadi. Daaannn … bagian kelima alias terakhir ada Kalyan, ngajak kita main-main air dan get lost di Venesia, salah satu kota yang wajib dikunjungi sebelum tenggelam *pikiran Kalyan sama kayak aku. Kami jodoh*

Hal menarik lainnya, kalau ada lima jempol, aku bakal kasih semuanya buat Mbak Dy atas penggambaran lokasinya. Kereeeennnnnnnn!!! Kita kayak diajak jalan-jalan ke lima negara sekaligus lewat satu buku. Setting tempat di sini bukan sekadar tempelan, tapi jadi bagian penting di cerita. Satu hal yang masih payah banget kalau aku yang ngerjain. Tapi emang, kalau masalah penggambaran lokasi, Mbak Dy top markotop. Dan itu jadi satu nilai plus buat novel ini.

Kedua, bagian yang bisa dibilang jadi kelemahan kecil di novel ini. Kayak yang aku bilang sebelumnya, tentang pov 1 yang ganti-gantian, kalau gagal itu bisa jadi bumerang. Di beberapa tokoh, Mbak Dy sukses bikin kesan si “aku” jadi beda, baik dari tingkah laku maupun pola pikir si tokoh. Tapi, di bagian Wira sama Jiyad, aku gak terlalu ngerasain kalau si “aku”-nya itu orang yang beda. Mungkin karena secara umum karakter kedua orang itu mirip, kecuali bagian Wira yang lebih ramah sama cewek, dibanding Jiyad. Cuma bagian mereka. Begitu masuk ke Noura, Adhia, sama Kalyan, bedanya lebih kerasa di banding pas dua orang pertama. Kekurangan lainnya, karena tiap bagian punya masalah dan klimaks sendiri, ada bagian yang klimaksnya dapet banget, ada juga yang seakan kelar gitu aja dan bikin jadi ngurangin greget.

overall , terlepas dari kekurangannya, aku amat-sangat menikmati waktu baca novel ini. Kayak baca kumpulan cerita pendek, tapi dengan versi yang lebih panjang (cerita panjang ya namanya? Gitu deh), bikin gak kerasa pas udah sampe di halaman terakhir. Apalagi ada adegan yang aku suka-suka-suka banget, sampe bikin senyum lama dan ngerasa sendu di saat bersamaan *karena ngerasa senasib*. Rasa paling menyenangkan pas baca novel itu, begitu ditutup, masih bikin senyum manis. Dan novel ini berhasil bikin aku ngerasa gitu.

Great job, Mbak Dy! Ditunggu terjangan berikutnya!


Ps: I love Kalyan :*





-ep-

Sunday, October 27, 2013

Wajah di Celah Jendela

Tidak ada yang berbeda dengan malam Minggu kali ini. Memangnya, seistimewa apa malam Minggu yang bisa didapat seorang jomblo? Sebahagia apa pun sebagai jomblo, tetap saja malam Minggu sendirian. Yah, beberapa jomblo beruntung mungkin bisa menghabiskan waktu dengan teman-temannya. Tapi, aku tidak.

Balkon kosan tampak lebih menarik malam ini, dibanding duduk-duduk di café berjam-jam hanya dengan secangkir kopi yang harganya bisa untuk tiga kali makan. Aku menyulut rokok, berusaha mengusir semilir angin yang berembus. Tidak ada pemandangan istimewa dari balkon belakang kosanku ini. Hanya perkampungan dengan pohon-pohon besar, dan sungai. Saat-saat seperti ini, arus sungai sedang tidak terlalu deras hingga suaranya pun tidak kencang. Suara tokek dan jangkrik yang seolah saling bersahutan menjadi latar musik lamunanku.

Jangan bertanya apa yang kulamunkan. Aku membiarkan saja pikiranku melalang buana ke mana pun yang dia mau.

Sampai aku menyadari satu hal yang berbeda. Sebuah jendela yang berasal dari bangunan di sebelah kosanku terbuka. Aku baru kali ini melihatnya terbuka selama beberapa bulan tinggal di sini. Jendela itu tidak sendirian. Sesosok makhluk tampak termenung di tepinya.

Makhluk itu berwujud perempuan. Dengan rambut berpotongan layer pendek, memperlihatkan sedikit lehernya. Pandangan si wanita mengarah ke bawah jendela, tampak melamun. Mungkin sama sepertiku, dia tidak sedang memikirkan apa-apa, hanya sekadar membiarkan pikirannya berkeliaran sesuka hari.

Semilir angin kembali berembus pelan. Kali ini aku melihat rambutnya bertiup, menerpa wajahnya yang masih belum terlihat jelas. Jemarinya bergerak menepis rambut-rambut nakal itu. Tanpa sengaja, dia menoleh.

Sepersekian detik, kami bertatapan. Aku melempar senyum. Dia tampak kaget, lalu buru-buru masuk dan menutup jendela.

Aku mengisap rokok dalam-dalam, belum mengalihkan pandangan dari jendela itu. Hingga malam semakin larut dan aku memutuskan masuk.

***

Beginilah malam Mingguku berikutnya. Masih di balkon yang sama, pemandangan belakang yang sama, semilir angin yang sama. Sesosok wajah di celah jendela itu tidak kembali. Jendelanya tertutup rapat, tidak pernah dibuka lagi.

Pernah beberapa kali aku iseng melempar kerikil ke jendela itu, berharap sosok itu terganggu dan keluar. Semua kerikilku diabaikan, atau dia memang tidak mendengar.

Malam ini aku mencoba tidak berharap lagi. Kubiarkan jendela  itu tertutup semaunya. Ada satu kerikil lagi, namun kali ini hanya kulempar-tangkap di tanganku, tidak ke arah jendela itu. Aku menahan diri.

Di penghujung malam, sebelum memutuskan masuk, aku ingin mencoba peruntungan terakhir. Menatap jendela itu beberapa saat, kemudian, aku mengambil ancang-ancang melempar si kerikil. Kerikil sudah terlempar, jendela bergerak terbuka. Sosok yang kunanti melongokan kepala, membuat si kerikil kurang ajar itu mendarat di pelipisnya.

Aku mendengar suara mengaduh pelan. Bukannya berlari masuk, aku malah diam di sana, setengah tidak percaya kalau aku baru saja melempari gadis itu dengan kerikil. Dia menoleh, menatapku dengan raut kesal. Aku melempar senyum salah tingkah, sedikit merasa bersalah, namun terselip rasa senang.

Aku mengangkat tangan. “Hai,” sapaku.

Dia menatapku beberapa saat. Rautnya masih tampak kesal. Namun, kemudian dia membalas sapaanku.

Dari sana semuanya bermula. Aku pindah ke sudut balkon yang paling dekat dengan jendelanya. Seakan tidak peduli ada yang mendengar, kami berbincang banyak. Membicarakan apa pun.

Yah. Beginilah malam Minggu berlalu seharusnya …


***

Wednesday, October 9, 2013

Pintu kecil di antara “Hai” dan “Bye”

Aku pernah mendengar, “Kalau ada pertemuan, pasti ada perpisahan.”
Ada yang menyahut, “Apa guna pertemuan, kalau akhirnya harus pisah?”
Ada lagi, “Nggak usah ngomong ‘halo’, kalau buntutnya bakal ada ‘dadah’.”

Seperti hari yang memiliki sunrise, dan pada akhirnya akan ditutup dengan sunset.

Aku benci perpisahan. Dalam bentuk apa pun. Singkat atau panjang. Sementara atau selamanya. Pilihan atau takdir. Aku tidak ingin kata ‘hai’ yang diikuti dengan ‘bye’. Daripada harus memiliki akhir, lebih baik tidak pernah berawal, bukan?

Kamu tertawa mendengar gerutuanku itu. Tawamu menyebalkan. Apa kamu tidak menyadari getar takut dalam suaraku? Aku selalu menyukai  tawamu. Tapi tidak malam itu. Aku tau, kamu tau begitu tawamu berhenti. Lalu, kamu bertanya, apa aku menyesali pertemuan kita, dengan ancaman perpisahan di baliknya? Aku bungkam.

“Ada pintu kecil di antara dua hal yang berlawanan,” katamu, memulai. Aku diam, mendengarkan. “Termasuk ‘hai’, dan ‘bye’.”

Aku tidak perlu membuka pintu kecil itu kalau tidak ingin mempertemukan ‘hai’ dan ‘bye’, pikirku. Aku tinggal mengunci pintu itu, membuang kuncinya sejauh mungkin, berharap tidak pernah ditemukan. Sederhana.

Sayangnya, tidak sesederhana itu. Aku lupa, kunci serep selalu ada. Siapa pun bisa mendapatkannya. Ketika si kunci ternyata jatuh ke tangan semesta, aku bisa apa? Aku menutup rapat pintu kecil itu. Menguncinya. Kemudian, semesta mengambil alih, membuka pintu itu selebar mungkin. Membuat ‘bye’ bertemu ‘hai’, lalu bertukar tempat.

Sekarang katakan padaku, Sayang. Apa yang bisa kulakukan? ‘Hai’ kita sudah berubah menjadi ‘bye’. Pintu kecilnya sudah terbuka lebar. Aku takut.

Tidak ada tawa menyebalkanmu yang menjawab takutku. Hanya sunyi. Terlalu senyap. Semua yang berawal, memang memiliki akhir.

Aku benci pertemuan. Di baliknya ada perpisahan. Sesuatu yang sangat kubenci.

Seandainya malam ini kamu ada dan kembali bertanya apakah aku menyesali pertemuan kita, kali ini aku akan menjawab.

Iya. Aku menyesali ‘hai’ kita. ‘Bye’ yang hadir setelahnya mengacaukan hidupku. Aku lupa bagaimana aku sebelum kita bertemu. Aku lupa bagaimana berjalan kembali menjadi aku, tanpa ada kita. Aku terbiasa mengucap ‘hai’ dan mengakhirnya dengan ‘sampai nanti’, bukan ‘bye’.

Sayang, ijinkan aku bertanya sekali lagi. Mengapa harus ada ‘bye’ di balik ‘hai’?


***

Saturday, September 28, 2013

Kepada Punggungmu, Aku Jatuh

Anggap kita tengah berada di salah satu adegan cerita TV, kamu tengah asyik dengan ayam bakarmu saat aku melangkah masuk. Yang membedakan, tidak ada backsound lagu romantis atau blower yang tiba-tiba berembus ke arah kita. Tidak ada juga adegan saling tatap beberapa saat yang berakhir dengan saling buang muka atau saling lempar senyum malu.

Tidak.

Aku hanya melirikmu sekilas, melewatimu begitu saja untuk menyebutkan pesananku kepada penjual makanan. Itu pertemuan pertama kita.

Yang ajaib, di pertemuan kedua, aku bisa mengenalimu. Padahal aku tidak benar-benar memperhatikanmu saat kali pertama. Kamu melangkah keluar, ketika aku berjalan masuk menuju mesin ATM. Alam membuat kita menjadi nasabah bank yang sama. Saat itu pun aku tidak memperhatikanmu. Aku membiarkanmu melewatiku, seperti kamu yang juga berlalu begitu saja.

Seperti roda yang selalu berputar kembali ke tempat asal, pertemuan ketiga terjadi di tempat yang sama seperti pertemuan pertama. Kali ini, aku yang datang lebih dulu. Rambut sebahumu kali itu tergerai. Kamu tahu, aku menyukai pemandangan saat kedatanganmu itu. Aku menoleh tepat ketika kamu mendongak. Membuat kita bertatapan sepersekian detik, ketika semilir angin juga melewatimu. Memainkan riak rambutmu sejenak, sebelum kamu benar-benar masuk. Aku membuang muka. Izinkan aku mengaku, saat itu kamu mulai menarik perhatianku.

Kamu melewatiku untuk memesan makanan, kemudian duduk tepat di depanku. Membelakangiku. Saat itulah aku mulai memutuskan untuk benar-benar memperhatikanmu. Pemandangan yang kudapat hanya punggungmu. Dan itu keuntunganku. Aku bisa mengamatimu sepuasnya, tanpa takut dipergoki olehmu. Saat itu juga, alam membuatku tertarik. Pada figur punggungmu.

Selanjutnya, di lain waktu, aku melihatmu tengah berdiri di depan lemari pendingin sebuah mini market. Punggungmu, yang membuatku tertarik, kembali terpampang di depanku. Aku kembali lahap menikmatinya. Kamu menguncir rambutmu lagi, makin membebaskan mataku menjelajahi tiap sudut bagian belakang tubuhmu. Seperti kopi kesukaan, kamu mencanduku. Hanya dengan sebuah punggung.

Entah sudah berapa pertemuan yang terjadi sampai hari ini. Aku tidak pernah lagi menghitungnya. Kalau ini setting sebuah cerita, tempat yang digunakan sebagai latar hanya warung makan, ATM, dan mini market. Hanya di tiga tempat itulah kita bolak-balik bertemu. Mungkin kamu tidak menyadari, tetapi aku selalu, sampai saat ini, menanti saat-saat pertemuan singkat itu. Saat-saat aku bisa dengan puas menjatuhkan pandangan pada punggungmu.

Satu hari, menjelang makan siang, aku kembali ke warung biasa. Tidak terlintas sedikit pun kalau pertemuan kita kali itu akan berbeda. Kita biasa bertemu di malam hari. Aku tidak berharap bertemu kali itu. Tetapi alam, dengan sifat isengnya, membuat kita kembali bersinggungan.

Seperti yang kusebut, kali ini pertemuan kita berbeda. Suasana warung makan yang ramai tidak memberi banyak pilihan tempat untuk duduk. Kali itu, alam membuat kita duduk berhadapan. Bukan aku dengan punggungmu, tapi langsung dengan matamu.

Tidak pernah  ada suara. Tidak pernah ada kata. Kita sibuk dengan makanan masing-masing, hingga piring kosong dan saatnya pergi.

Aku memberanikan diri menatapmu sebelum keluar. Kamu masih menunduk, asyik dengan apa pun yang ada di depanmu. Aku menghela napas. Saat itu, aku menyadari, alam kembali menjahiliku. Dia membuatku jatuh. Padamu.




***

Saturday, September 14, 2013

Perempuan & Pakaian

Apa keinginan yang terlintas di kepala perempuan ketika dilanda stres? Mayoritas menjawab ‘belanja’. Apa pun bentuk barang yang dibelanjakan. Tetapi, pakaian selalu menempati posisi istimewa dalam daftar belanja kaum perempuan. Mayoritasnya.

Aku tidak pernah memahami ikatan itu. Dahiku mengernyit tiap melihat gerombolan perempuan mengerumuni deretan pakaian dengan tulisan SALE besar di rak-raknya. Mulutku mengomel panjang, jika menemani teman perempuanku berkeliling dari satu toko ke toko lain, melihat-lihat bentuk pakaian yang semuanya tampak sama di mataku. Aku lebih senang melarikan diri ke tempat makan atau toko buku, ketika kelompokku sibuk mengobrak-abrik semua butik di mall.

Mereka menyebutku ‘setengah perempuan’. Perempuan yang proses penciptaannya belum selesai sempurna, sehingga tidak semua sifat wajar perempuan kumiliki. Aku benci alat make up. Lebih suka melempar heels ke keranjang basket daripada memakainya. Dan membeli pakaian adalah hal yang baru kulakukan jika lemariku sudah kosong melompong.

Satu kali, ketika menemani salah seorang teman perempuanku berkeliling mall, seperti biasa dia tersangkut di salah satu toko baju. Aku memilih menjauh, bersandar di kaca etalase toko lain sambil memainkan ponsel, membiarkan dia melakukan kegemarannya. Sesekali aku meliriknya. Sesaat, aku terpaku melihat ekspresinya. Selama ini aku terlalu sibuk mengeluh hingga tidak pernah menyadari ekspresi para perempuan itu saat melihat sebuah menekin berpakaian cantik.

Dia tersenyum. Tampak gembira. Padahal yang dilakukannya hanya melihat-lihat, belum membeli, apalagi sampai diberi secara gratis. Kemudian, aku teringat sendiri perasaanku ketika melihat satu stand makanan baru buka, atau novel yang sudah lama kuincar muncul di toko buku. Perasaan gembira yang sama. Kemudian, aku ikut tersenyum. Semua orang punya cara sendiri untuk menyenangkan diri. Buat sebagian besar perempuan, mungkin pakaian salah satu benda yang bisa bikin mereka tenang tinggal di dunia. Sepertinya, untuk sebagian besar perempuan, toko pakaian sudah menjadi semacam surga kecil di mana mereka bisa melupakan hal lain yang tidak ingin dipikirkan.




-elsa[puspita]-

Wednesday, July 3, 2013

Review buku : The Chocolate Thief by Laura Florand

Judul : The Chocolate Thief 
Penulis : Laura Florand 
Penerjemah : Veronica Sri Utami 
Penerbit : Bentang Pustaka 
Tahun Terbit : 2013 
Halaman : 410 
Harga : Rp 64.000,-


Konflik utamanya diawali dari niat Cade mengajak Sylvain kerja sama dengan perusahaannya buat buka pasar cokelat premium di Eropa. Cade berniat 'menempelkan' nama Sylvain Marquis di bungkus cokelat yang dibikin oleh perusahaannya. 

Tentu saja dengan ego besar dan merasa cokelatnya terlalu berharga, gak level kalau harus disandingkan sama cokelat yang diproduksi massal milik Corey Inc, Sylvain menolak mentah-mentah tawaran kerja sama si Cade. 

Dari sanalah Cade dan Sylvain jadi banyak interaksi. *lengkapnya, baca sendiri ye B-) 

Secara keseluruhan, efek yang dikasih selama baca novel ini adalah....laper! Dan pengin cokelat! Deskripsinya ngalir, bikin gak pengin nutup bukunya sebelum kelar, tapi juga gak kuat ngadepin berbagai penjelasan tentang cokelat yang bikin air liur netes. *Mon Dieu! Je t'aime, M. Marquis!

Percakapan bahasa Perancisnya lumayan buat belajar-belajar. Seenggaknya sekarang aku gak cuma tau 'je t'aime' saja, tapi bisa bales pake 'moi aussi' *info penting*. 

Balik ke alur cerita. Cerita cintanya simpel. Dibungkus dengan cerita tentang cokelat yang berhasil bikin aku meleleh dan ngences. Oh, Mbak Laura ini kalo buka toko cokelat pasti bakal laris! Gimana gak? Deskripsinya tentang cokelat yang dibuat Sylvain bikin gigit-gigit apa pun yang ada di sekitar kita sambil ngebayangin cokelatnya. Dan ini novel pertama yang bikin aku tertarik pengen nyoba cokelat pahit karena deskripsinya itu bener-bener gugah rasa cintaku akan cokelat sampe ke akarnya! *eaaa* 

Sebagus apa pun karya, masih ada kurangnya dikit. Dikit banget kok tapi, gak kerasa sebenernya. Ada salah satu adegan yang menurutku pemotongannya entah kebanyakan atau gimana, yang jelas bikin sempet berkerut pas baca adegan selanjutnya. Itu gak kerasa-kerasa banget sih, cuma yah gitu. Aku nangkep sedikit kejanggalan. Cuma di satu bagian itu. Adegan-adegan selanjutnya, pemotongan atau sensornya lebih halus dan ngalir, jadi gak bikin berkerut lagi. 

Salah satu hal berkesan dari novel ini, selain cokelat, adalah tentang 'kesensian' orang Perancis sama orang Amerika. Banyak kejadian yang bikin ngakak heboh dan pengin ngasih pukpuk ke Cade. Selain itu, poin plus lain yang bisa dipetik dari novel ini adalah duit gak selamanya bisa menari dan bernyanyi *pinjem istilah Vane Kattalaktis, tokoh were-hunter punya Sherrilyn Kenyon*. Nggak selamanya hidup seorang pewaris perusahaan besar bisa lancar di mana pun dia berada cuma karena punya duit yang seakan gak habis-habis.

4 of 5 stars aku kasih buat novel ini. Buat Paris, kisah cinta, cokelat, dan deskripsi kerennya. Oh! Dan buat Sylvain Marquis! Beau-chocolatier

Buat kamu pecinta Paris dan cokelat, JANGAN PERNAH NGELEWATIN BACA BUKU INI. Nggak akan nyesel!
Ini salah satu kisah cinta paling manis yang pernah aku baca :)

Gak sabar nunggu serial yang lainnya muncul! 
*FYI, bakal ada 3 seri lagi tentang cokelat dari Mbak Laura* 



-ep-

(sumber gambar: Web Bentang Pustaka)

Tuesday, April 30, 2013

You’re Mine (or not) (#8)


Semesta selalu menyimpan kejutan pada semua peristiwa yang telah diaturNya. Hal itu juga berlaku untukku. Di balik semua kejadian buruk yang terjadi kemarin, ada hadiah hadiah yang telah dipersiapkan.

Hasil mid semester genap kali ini menyatakan aku kembali ke Kelas Central. Aku tidak bisa menahan diri untuk ikut bersorak bersama Sara dan Anita. Akhirnya, aku keluar dari kelas terkutuk itu.

Well, kelas itu tidak sepenuhnya buruk. Menurutku, mereka bertingkah demikian karena para guru juga sudah memilih mengabaikan mereka. Itu juga yang dikatakan Saka. Padahal, jika saja para guru bisa dan tau cara mendekati mereka, suasana tidak akan sekacau itu. Memang butuh usaha lebih keras dibanding menghadapi siswa Kelas Plus dan Central, tetapi tidak terlalu sulit juga. Buktinya, Saka bisa membuat murid-murid di sana mau diajak belajar.

Saka. Senyumku selalu melebar tiap mengingat sosok itu. Entah bagaimana semuanya berawal, yang kutau sudah ada semacam hubungan yang terjalin di antara kami. Pacarankah? Entahlah. Tidak pernah ada pernyataan khusus darinya atau dariku. Tanpa pernyataan, aku seperti sudah merasakannya.

Tidak ada yang tau tentang hal itu. Bukan karena ingin bersembunyi, tetapi karena aku juga tidak ingin mengumbar semuanya. Tidak ada yang bisa diumbar, mengingat bentuk hubungan seperti apa yang terjadi pun aku belum tau. Beberapa teman Saka  sepertinya sudah menebak ada sesuatu, mengingat kami nyaris selalu menghabiskan waktu berdua saat istirahat. Tidak setiap istirahat, memang. Saka masih berkumpul dan makan di kantin dengan teman-temannya. Tetapi, dia selalu menyempatkan waktu untuk menemuiku, sekadar ngobrol lima sampai sepuluh menit, dari dua puluh menit waktu istirahat.

Sara dan Anita juga mulai mencurigaiku. Aku memang belum cerita apa-apa dengan mereka. Beberapa waktu lalu, Sara cerita tentang hubungan Saka dan Tasya yang ternyata sudah selesai sejak awal kelas tiga kemarin, persis seperti yang dikatakan Saka. Darimana Sara tau, aku tidak bertanya.

“Kamu sama Saka pacaran, Fik?” tanya Sara akhirnya, setelah beberapa minggu berlalu tanpa ada laporan sedikit pun dariku. Saat itu, kami sedang berkumpul di kamarku untuk mengerjakan pe-er Ekonomi.

Aku hanya mengangkat bahu. Bukan sok misterius, tapi karena aku benar-benar tidak tau harus menjawab apa. Seperti yang kukatakan sebelumnya, tidak ada pernyataan yang menegaskan kalau hubungan kami adalah pacaran.

“Nggak usah sok misterius ah,” sungut Anita. “Aku sama Sara tau kok. Kamu akhir-akhir ini sering banget ngabisin waktu sama dia.”

“Kamu juga nggak keliatan kaget waktu aku cerita masalah dia sama Tasya,” sambung Sara. “Jadi?”

“Nggak tau,” jawabku tanpa berpaling dari bukuku.

Sara menarik bukuku dengan kesal. “Serius, Fikaa!” omelnya.

“Lah, aku juga serius, Sar,” kataku, mencoba mengambil kembali buku di tangan Sara. “Nggak ada pernyataan apa-apa. Dia nggak nembak, aku juga nggak. Yah udah, aku jawab apa?”

“Kamu suka sama dia?” tembak Sara.

Wajahku bersemu. Dengan canggung, aku mengambil bukuku kembali dan langsung sibuk pada pe-erku. “Iya,” jawabku, tanpa menatapnya.

“Dan dia juga kayaknya suka sama kamu,” tambah Anita, bukan dalam bentuk pertanyaan. “Kenapa nggak jadian aja?”

Pertanyaan itu membuatku diam untuk beberapa saat. Benarkah harus ada pernyataan hingga sebuah hubungan bisa disebut ‘jadian’? Berdasarkan pengalaman pacaranku sebelumnya, memang selalu ada adegan tembak-menembak. Tapi dengan Saka, aku merasa hal itu tidak perlu.

“Tentu aja perlu!” sosor Sara, saat aku mengungkapkan pikiranku. “Cewek itu butuh penegasan, Fik. Bisa aja sekarang kamu bilang kalian sama-sama jalanin hubungan. Tapi, kan, tetep nggak jelas. Ntar, dia bisa lho ninggalin kamu gitu aja. Ngelesnya ya bilang, ‘Kan, kita nggak pernah bikin kesepakatan apa-apa’. Patah hati deh kamu. Gawat, kan?”

Anita mengangguk setuju. “Bener tuh Sara. Saranku sih, mending kamu ngomong sama Saka. Tegasin semuanya. Kalau emang pacaran, ya pacaran, kalau nggak, ya nggak. Jangan mau diajak jalin hubungan tanpa status. Ntar stres kayak Sara kemarin lho. Udah ngarep, ternyata cuma jadi korban PHP!”

Sebuah bantal dari Sara mendarat mulus di kepala Anita, membuatku dan Anita terbahak. “Inget aja terus!” omel Sara. Kemudian dia kembali padaku. “Tapi, dia bener, Fik. Jaman sekarang, pelaku PHP makin banyak. Jangan mau jadi korban!”

Aku menghela napas pelan. “Udah ah, kerjain aja pe-ernya dulu. Ntar aja ngurusin itu.”

Kedua temanku menurut.

Saat mereka pulang, aku memikirkan percakapan kami. Semakin kupikirkan, aku semakin gelisah. Tadinya, aku yakin adegan tembak-menembak dan pernyataan cinta tidak diperlukan untuk memastikan hubunganku dan Saka. Sekarang, aku ragu. Bagaimana kalau ucapan Sara dan Anita benar? Saka tidak pernah secara gamblang menyatakan kalau dia menyukaiku. Semuanya jadi terasa samar. Sepertinya, aku benar-benar butuh kepastian.

Kuputuskan untuk menghubunginya malam ini juga. Daripada aku tidak bisa tidur karena otakku penuh, lebih baik diselesaikan secepatnya. Karena tidak berani menelepon dan mendengar suaranya langsung, aku memilih mengirim pesan singkat.

“Kita sekarang gimana sih?”

Message Send to Saka.

Setelah muncul tulisan Delivered di layar ponselku, aku meremas benda itu dengan gugup, memikirkan apa jawaban Saka.

Dering ponsel yang tiba-tiba mengangetkanku, membuatnya nyaris terlepas dari genggaman. Telepon, dari Saka. Jantungku makin berdetak tidak karuan. Aku menarik napas beberapa kali sebelum menjawab panggilannya.

“Gimana apanya?” tanya Saka, setelah aku menyapanya.

“Yah, gimana,” jawabku, sambil menggaruk leher.

“Emang kita kenapa?”

DEG! Kata-kata itu membuatku terdiam. Apa aku salah menangkap sinyal? Apa aku hanya kege-eran menanggapi sifat baiknya? Bagaimana kalau ‘jalinan’ itu hanya imajinasiku? Sialan! Tiba-tiba, aku ingin segera menutup telepon ini.

“Fika?” panggilnya.

Aku tidak tau harus menjawab apa. Jadi aku hanya diam. Ya ampun! Kalau memang semua itu hanya perasaanku, aku tidak tau harus bersikap bagaimana di depannya nanti. Ini benar-benar memalukan! Seharusnya aku tidak perlu mengirim SMS konyol itu! seharusnya aku tidak usah mengikuti omongan Sara dan Anita! Seharusnya kubiarkan saja semuanya mengalir, bagaimana pun jadinya. Semua itu jauh lebih baik daripada harus mempermalukan diri seperti ini.

“Hei? Rafika? Kamu masih di sana?” Suaranya terdengar cemas. Hanya perasaanku?

“I… iya,” jawabku, tergagap. Tiba-tiba aku ingin menangis.

Saka diam. Aku juga diam. Sambungan telepon masih terhubung. Setelah menunggu beberapa saat dan tidak juga ada suara darinya, jemariku refleks menekan tombol ‘end’. Mataku panas. Perasaanku kacau. Semuanya berantakan, justru saat kukira akan baik-baik saja.

Aku melemparkan ponsel ke kasur, lalu menarik kaki dan memeluk kedua lututku. Aku merasa sangat bodoh. Bagaimana mungkin aku bisa salah menangkap sinyal darinya? Seharusnya aku tau. Hanya karena dia pernah mengatakan pesan samar tentang takdir itu, bukan berarti itu merupakan pernyataan cinta.

Aku butuh menenangkan diri dari mimpi buruk ini. Setelah mematikan ponsel, aku mengubur diri di bawah selimut. Dalam hati, aku sudah bertekad tidak akan mau menemuinya lagi.




to be continued…


#7 - #9

Friday, April 5, 2013

Antara Wonderfully Stupid & Lovhobia

*ngetik postingan ini dengan mata segaris. maap buat segala kekurangan. nanti kalau ada waktu dan mata lebih seger, yang kurang bakal dibenahi*

Mari kita mulai.

Beberapa waktu yang lalu, sepupu yang ada di Jambi ngirim BBM, bilang kalau dia udah baca Lovhobia dan ceritanya bikin dia nangis. Beberapa hari sebelumnya, ada juga temen yang cerita lewat DM bilang hal yang sama, ceritanya bikin nangis. Setelah itu, ada lagi yang mention di twitter dan ngasih tanggapan sama.

Reaksiku atas semua tanggapan itu rata-rata sama. Nanya, bagian mana yang bikin nangis? Dan jawaban mereka pun rata-rata sama (gak mau spoiler. Baca sendiri ya :p)


Sebelum mulai ngoceh panjang lebar, aku mau ngucapin makasih banget banget buat Mbak Ikhdah sama Mbak Dila, editor kece, yang ikut mengurusi anak keduaku itu. Tanpa campur tangan mereka, khususnya Mbak Ikhdah, mungkin air mata yang baca gak sampe keluar. Ya, editor itu pahlawan tanpa tanda jasa buat penulis :')


Lanjut.

Karena cerita Wonderfully Stupid dan Lovhobia ini, bisa dibilang, berhubungan, banding-membandingkan pun gak luput. Dari hasil laporan dan kepo dikit-dikit, ada yang lebih suka Wonderfully Stupid, ada juga yang lebih suka cerita Lovhobia. Karena itu, aku mau coba mengupas sedikit tentang dua novel unyu-ku itu dan apa perbedaan serta kelebihan masing-masing dari mereka. Cekidot!


1. Wonderfully Stupid

Naskah awal novel ini, kayak yang udah pernah aku bilang, kali pertama aku tulis waktu masih kelas 2 SMA. Atau kelas XI. Terserahlah, samimawon. Kala itu, pikiranku masih dipenuhi berbagai hal indah seputar cinta masa remaja, dengan iming-iming masa SMA sebagai masa paling indah, dan semacamnya. Masa SMAku pas kelas itu, biasa aja. Gak kayak cerita di pilem-pilem yang kayaknya huwaw banget.

Flat. Datar. Karena gak bisa dapet kehidupan seru yang nyata, aku milih buat kabur ke dunia lain. Dunia tulis. Saat itulah Wonderfully Stupid lahir.

Konflik yang aku angkat di sini, konflik yang kemungkinan besar pernah di alami abege mana pun. Seorang cewek yang naksir sahabatnya, tapi bertepuk sebelah tangan, sementara ada cowok lain yang naksir dia, tapi diabaikan. Simpel. Terus, apa bedanya sama cerita sejenis yang lain?

Sadar dengan temaku yang biasa, aku harus cari cara biar novel ini menarik dan beda dari cerita yang udah ada. Buat yang baca, pasti kenal dengan sosok Arsen, karakter utama yang, bisa aku bilang, berperan penting di novel ini. Bukan cuma di cerita, tapi juga 'lihai' merebut hati pembaca. Kalian tau, gak ada yang lebih membahagiakan bagi penulis dibanding saat dia tau kalau karyanya dihargai dan disukai. Di sini kayaknya aku wajib, kudu, mesti, berterima kasih sama semua temen-temen pembaca, yang rela meluangkan waktunya buat baca tulisanku. Aku selalu senyum sendiri tiap ada temen-temen yang mention, bilang dia udah baca novelnya dan suka sama Arsen. Banyak juga yang nanya, Arsen itu beneran ada atau gak. Bahkan, pernah ada yang laporan kalau ada yang bikin akun twitter si Arsen itu (lupa akunnya apa. Cari ajalah "Andersen Jade Calvin", kalo berminat :p). Dan itu, bener-bener bikin seneng *selain pas royalti cair* hahaha.

Selain itu, Wonderfully Stupid juga menyuguhkan ending yang mengejutkan dan manis. Apakah itu? Baca dong makanya :D


2. Lovhobia

Beda sama Wonderfully Stupid yang aku tulis waktu, yah anggap saja, masih abege, Lovhobia kali pertama aku tulis di tahun kedua kuliah, sekitar semester 4 atau 5. Di sini, pola pikirnya sudah lebih beda. Aku gak cuma mikirin tentang cinta anak muda *eaaa, bahasamu*, tapi juga tertantang buat mengusung konflik yang sedikit lebih serius.

Yang pertama, cari tema besar. Apa masalah yang mau diambil? Tentang cowok yang takut jatuh cinta. Kenapa dia bisa takut jatuh cinta? Kalau dibikin karena dia pernah patah hati, menurutku jatuhnya gak beda dengan konflik di Wonderfully Stupid, berkisar antara kisah cinta sejoli yang masih muda. Supaya lebih cetar menggelegar badai, aku coba usung masalah yang lebih serius. Apa itu? Masalah keluarga. Gak ada hal traumatis yang lebih ditakutin anak-anak dibanding lihat hubungan orangtuanya yang gak harmonis. Dan inilah yang dialami sosok Gefan, tokoh utama di novel ini.

Terus? Gak ada cinta-cintaannya dong? Tentu ada. Aku spesialis cerita romance (ngasih julukan buat diri sendiri, biarin aje), jadi bakal ngerasa ada yang kurang kalau gak ada cinta-cintanya. Cuma, kisah cintanya gak seunyu Arsen-Lanna. Tapi, maknanya lebih dalam. Tentang gimana caranya seorang cewek meluluhkan hati seorang cowok yang udah terlanjur gak percaya dan takut sama cinta.

Berarti, cerita cinta di Wonderfully Stupid gak bermakna dong? Lovhobia yang lebih bermakna gitu?

Kata siapa? Semuanya bermakna, cuma dengan cara yang beda. Semuanya tentang perjuangan cinta, tapi dengan penyajian yang gak sama.



Di Wonderfully Stupid, aku menyajikan cerita cinta sederhana lewat kegigihan Arsen memperjuangkan apa yang menurutnya layak diperjuangkan. Gak peduli itu bikin dia jadi bodoh, gak peduli apa aja yang harus dia lakuin, yang ada di kepalanya, terus berjuang buat dapetin Lanna. Juga kegigihan Lanna buat setia sama kebodohannya buat nunggu Ega, padahal cowok itu sudah ngasih pertanda jelas kalau dia gak ada rasa apa-apa. Tentang gimana akhirnya mereka luluh dan ngalah sama ego masing-masing, terus bisa jalan di satu jalur, beriringan. Happy Ending....

Di Lovhobia, aku menyajikan cerita cinta sederhana lewat kegigihan Aura narik Gefan supaya keluar dari dunia suramnya, supaya bisa percaya kalau semua manusia berhak jatuh cinta, berhak dicintai, gak peduli apa pun yang terjadi nanti, yang penting apa yang bisa mereka jalani sekarang. Tentang Gefan yang gigih sama prinsip dan pikirannya tentang cinta yang kejam. Tentang gimana akhirnya kekeras-kepalaan mereka mencair dan mau coba buat jalan bergandengan, bersisian. Happy Ending....



Ada satu saran dari aku buat temen-temen pembaca. Sebelum mulai baca Lovhobia, tutup Wonderfully Stupid. Buat sejenak, fokus ke Lovhobia. Karena kedua buku ini punya alur cerita yang cukup kontras. Meskipun berhubungan, mereka beda. Layaknya dua saudara yang punya kelebihan dan ciri khas masing-masing, gak peduli meskipun mereka dikandung oleh orang yang sama. Simpelnya, sebelum mulai baca Lovhobia, move on lah dari Wonderfully Stupid :))




Ps: Kalau ada yang nanya apa Lovhobia lanjutan Wonderfully Stupid, jawabannya iya dan gak. Cerita di Lovhobia emang lanjutan kehidupan para tokoh Wonderfully Stupid, tapi kalian gak harus baca berurutan karena gak bener-bener nyambung. Bukan model sekuel kayak Harry Potter atau Twilight Saga yang mesti dibaca urutan. Kalian bisa baca dari Lovhobia dulu, tapi akan lebih baik kalau baca Wonderfully Stupid yang pertama *teteup promosi*


Selamat Membaca :))


-Elsa Puspita-

Monday, March 25, 2013

My newborn : Lovhobia :)

Please welcome to my second baby "LOVHOBIA" :D

Sebelum mulai panjang lebar cerita tentang novel kedua ini, aku mau kasih lihat penampakannya dulu. Ini dia....

cantik ya? :')


Nah, mari mulai cerita sekarang. Mulai dari mana? Judul? Oke.
Judulnya Lovhobia. Pasti udah ada yang bisa nebak darimana judul itu. Love dan Phobia. Ketakutan cinta. Atau lebih tepatnya takut jatuh cinta.

Kenapa bisa dikasih judul itu? Mari kita lihat sinopsisnya. cekidot!

Aku benar-benar nggak ngerti ada orang yang menolak kenyataan. Fakta kalau memang sedang dilanda cinta. Sebegitu takutnya jatuh cinta? Atau mungkin aku yang ge-er, ya? Tapi, aku yakin kok, Gefan, cowok kaku-dingin-serem itu sebenarnya juga ada rasa sama aku.

Jadi muncul banyak pertanyaan di benakku. Mungkin masa lalunya yang kelam membuatnya selalu menolak hangatnya persahabatan, menghindari perasaan yang muncul setelah itu? Cinta mungkin? Eh, lama-lama aku ngelantur.

Jadi, aku harus gimana, nih? Tetap memperjuangkan dia? Atau menunggunya tanpa kepastian?

Lagi dan lagi, pertanyaan tanpa jawaban ….




Udah bisa nangkep ceritanya? Bisalah ya. Tapi belom tertarik juga? Hmm.... minta dikasih bocoran ya? Oke, aku cerita dikit yaaa....

Tokoh utama di sini seorang cowok bernama Geofan Asklav Pandagri, alias Gefan. Penderita Lovhobia di sini ya si Gefan ini. Kenapa dia bisa takut jatuh cinta? Bukan! Bukan karena dia pernah cinta setengah mati sama seorang cewek trus cewek itu ninggalin dia dan kawin lari sama cowok lain sampe dia patah hati dan nyaris bunuh diri. Bukan sama sekali. Lovhobia-nya lebih karena hasil pengamatan dia ke rumah tangga orangtuanya yang berantakan. Di mata Gefan, ayahnya adalah sosok lelaki kejam, nggak punya perasaan, yang tega menelantarkan mamanya sampe mamanya tertekan dan jiwanya terganggu. Melihat itu, Gefan jadi gak percaya kalau cinta sejati, belahan jiwa, dan bahagia selamanya itu eksis di dunia ini. Itu cuma bagian dari dongeng. Cuma orang bodoh yang mau percaya sama hal semacam itu buat dia. Hal itu juga yang akhirnya bikin Gefan narik diri dari kehidupan sosial dan nyaris gak mau bergaul sama siapa pun. Dia takut, begitu dia buka hati, dia bakal ngalamin nasib sama kayak mamanya. Satu-satunya cewek yang bisa deket sama Gefan cuma Lanna, temennya yang sama-sama kuliah Jurusan Penyutradaraan di Sekolah Tinggi Kesenian.

Ada yang familiar sama nama Lanna? Cieee... udah baca Wonderfully Stupid yaa? :D
Iya, tokoh Lanna di sini sama kayak Lanna di Wonderfully Stupid, Alanza Quianna. Tapi, bukan. Lanna bukan cewek yang bakal jadian sama Gefan. Lanna juga bukan malaikat penyelamat yang bikin Gefan mau percaya sama cinta. Tapi, Lanna adalah perantara yang bikin Gefan ketemu sama pembawa cahayanya *eaaa*

Siapa si Penyelamat itu? Baca dong bukunya!
Di sana terjawab tuntas gimana perjuangan si Penyelamat supaya Gefan gak terus ngebiarin perasaannya mati. Gimana akhirnya si Gefan lepas dari Lovhobia-nya. Beneran lepas, atau gak, semuanya ada di novel keduaku ini.


Pesan yang aku coba sampein di novel ini sih gak ribet kok. Simpel banget malah.
Di dunia ini, bahagia selamanya itu gak ada. Kamu cuma bakal kecewa kalau seumur hidup terus ngarepin happily ever after karena itu cuma ada di lembar terakhir dongeng. Kenapa happily ever after? Karena Pendongeng gak nyeritain gimana kehidupan pangeran dan putri setelah mereka bersatu. Kita gak tau setelah nikah mereka ribut masalah uang belanja, nama anak mereka, atau bahkan mungkin mereka malah pisah. Kita taunya cuma yah udah, mereka bahagia selamanya. Tapi, gak ada buktinya, kan?

Trus, kenapa aku berani bilang kalau bahagia selamanya itu gak ada di dunia? Karena kita sendiri pun gak akan hidup selamanya, kan? Mungkin kita akan ngalamin fase happily ever after di lembar kehidupan lain, tapi gak di dunia yang kita tinggali sekarang.

Terus?
Kita cukup bahagia untuk saat ini. Gak perlu cari bahagia selamanya. Cukup mencintai untuk saat ini. Gak perlu menjanjikan cinta selamanya.

Karena, kamu gak akan tau seperti apa rasanya bahagia kalau gak pernah ngerasain sedih.
Hukum keseimbangan :)



Soooo..... Happy Reading, my beloved reader.
Semoga menyukai ceritanya sebagaimana rasa sukaku waktu menulisnya :)


-Elsa Puspita-


Judul buku : Lovhobia
Penerbit : Bentang Belia
Penulis : Elsa Puspita
ISBN : 9786029397932
Terbit : Maret, 2013
Harga : Rp 34.000
Bahasa : Indonesia

Thursday, March 7, 2013

Destiny, maybe (#7)


Aku melirik Saka yang tengah asik membaca buku di sebelahku. Kami tengah duduk-duduk di depan kelasku, masih kelas terkutuk itu, menunggu jam istirahat habis. Bukan hanya duduk-duduk sebenarnya. Saka tengah membantuku mengerjakan tugas Geografi.

Sejak insiden dia mengajar di kelas waktu itu, hubungan kami membaik. Saat istirahat, kami mengobrol banyak. Saka bertanya ada apa denganku sampai bisa masuk ke kelas itu. Ternyata, yang membuatnya tidak kaget melihatku berada di kelas itu bukan karena dia menganggapku bodoh hingga pantas di sana, tetapi karena dia membaca namaku dalam daftar murid kelas ini saat pembagian kelas kemarin. Tentu saja aku juga tidak mengatakan alasan sebenarnya. Aku hanya berkata sedang banyak masalah pribadi. Dia menganggapnya sebagai masalah keluarga dan memintaku bercerita kalau tidak keberatan, tetapi dia tidak memaksa. Setelah itu, dia memberikan banyak motivasi agar aku bertahan. Dia juga berjanji akan membantuku belajar supaya saat pembagian kelas nanti, aku tidak di kelas sialan itu lagi. Sesudahnya, kami jadi sering menghabiskan waktu bersama.

Saat aku bertanya bagaimana dia bisa mengajar, dia berkata sering disuruh menggantikan guru yang tidak masuk untuk mengajar di kelas minus. Awalnya, dia dijadikan bahan ledekan oleh anak-anak di kelas itu. Tidak ada yang menghiraukannya. Aku penasaran apa yang dilakukannya hingga akhirnya para berandal itu menghargainya.

“Ikutin mau mereka,” jawab Saka. “Mereka lebih suka ngobrol daripada dengerin penjelasan guru. Pas mereka ngobrol, aku ikut. Pas mereka udah nerima aku di sana, baru aku selipin pelajaran-pelajaran di setiap obrolan. Lama-lama, mereka mau merhatiin kalau aku jelasin. Kata mereka, cara aku ngajar lebih asik daripada guru-guru itu.”

“Karena kamu bisa ikut ngobrol kalau mereka bosen, sedangkan guru-guru nggak akan ngebolehin gitu.”

Dia menyeringai. “Bisa jadi,” ucapnya, sebelum kembali ke tugas Geografiku.

Aku ikut tersenyum kecil. Benar-benar menikmati saat-saat seperti ini. Hanya saja, berdekatan dengannya sekarang sedikit memberikan semacam beban bagiku. Bukan tidak nyaman. Tetapi, setiap kali kami menghabiskan waktu, seperti sekarang, aku terus teringat Tasya. Bagaimana perasaan Tasya melihat kami? Apa dia tidak marah atau sekadar cemburu? Meskipun Saka memiliki banyak teman perempuan, tetapi dia nyaris tidak pernah terlihat berduaan saja, selain dengan Tasya. Dan sekarang denganku. Saka sendiri masih belum menceritakan tentang hubungan mereka. Dia sepertinya menganggap aku tidak tau apa-apa.

“Ngerti nggak, Fik?”

Aku mendongak, setengah linglung. Apa tadi yang dikatakannya?

“Pasti nggak,” omelnya. “Ngelamunin apa sih?”

“Tasya apa kabar?” kata-kata itu meluncur sebelum bisa kucegah.

Kulihat, Saka sedikit kaget. “Er, baik sih, kelihatannya. Kenapa emang? Kok tiba-tiba nanyain dia?”

Aku mengambil buku Geografi dari tangannya, membuka-buka halaman dengan asal, berusaha menyembunyikan salah tingkahku. “Yah, kamu, kan, ehm… pacarnya. Trus, sering berdua sama aku. Apa dia nggak marah, atau… yah, apa gitu?”

Saka terdiam lama. Sedikit terlalu lama, hingga aku harus menatapnya langsung untuk melihat bagaimana reaksinya. Suatu kesalahan. Dia juga sedang memandangiku. Bukan tatapan tajam menusuk. Tetapi, pandangan penasaran dan meneliti, seakan sedang mencoba membaca isi otakku.

“Kamu tau kalau aku sama Tasya pernah pacaran?”

“Sara cerita,” jawabku jujur. “Kalau nggak gitu, sampe sekarang mungkin aku nggak tau kalau kalian pacaran.” Dan mungkin aku juga tidak akan terjebak di kelas ini, tambahku dalam hati.

“Pernah pacaran,” ralat Saka. “Kami putus awal kelas tiga kemarin.”

Nah, ini berita baru yang benar-benar membuatku syok. Sara tidak pernah cerita kalau Saka dan Tasya sudah putus! Kenapa Sara tidak cerita?

“Sara nggak tau. Nggak ada yang tau,” jawab Saka, seakan mendengar jeritan hatiku. “Aku sama Tasya nggak pernah ngumbar apa pun. Nggak penting. Waktu jadian juga nggak bikin pengumuman. Cuma karena ada temen yang mergokin kami jalan berdua, nanya punya hubungan apa, dijawab pacaran, trus nyebar di antara anak-anak kelas.” Saka kembali mengambil buku Geografiku. “Pas putus kemarin juga gitu. Kayaknya anak-anak nggak ada yang nyadar karena sikap kami nggak berubah.”

“Kenapa putus?” tanyaku, penasaran. Kalau dia berkata karena tidak ada lagi kecocokan, aku akan meninjunya. Itu kalimat yang kugunakan saat mendepak pacar terakhirku di SMP kemarin. Kalimat klise yang menggelikan.

Saka menarik napas panjang. “Apa sih yang ada di otak anak kelas 1 SMA waktu pacaran? Cuma seneng-seneng, kan? Masih sekedar aku naksir kamu, kamu naksir aku, yuk kita pacaran, selesai. Aku nggak kepikiran mau ke mana hubungan itu nanti. Tasya juga gitu. Pokoknya, sekarang kita saling suka, sama-sama, titik.” Dia diam sejenak, sebelum melanjutkan. “Satu-satunya masa depan yang pernah kami bahas cuma mau kuliah di mana. Tasya ngincer Psikologi UGM. Aku juga mau ke sana, UGM, tapi jurusan lain. Semuanya keliatan bakal lancar. Sampe aku berubah pikiran.” Saka menyunggingkan senyum kecil. “Aku pengin lanjut ke luar.”

“Luar? Luar negeri?”

Saka mengangguk.

Aku ingin bertanya di mana, tetapi sepertinya Saka tidak mau membahas yang itu. Dia malah kembali pada cerita tentang hubungannya dan Tasya.

“Tasya dukung rencana itu. Dia malah sering ikut bantu nyari-nyari beasiswa di luar.”

“Dia nggak pengin ke luar juga?”

Saka menggeleng. “Dia bilang, di sini masih banyak sekolah bagus. Dan juga, UGM udah jadi cita-cita dia dari SD.”

“Bukan cita-cita kamu juga?”

“Bukan,” jawabnya sambil menyeringai. “Awalnya, semua damai, sampe obrolan tentang masa depan hubungan kami dibahas. Kalau aku ke luar, Tasya tetep di UGM, berarti kami harus jalin hubungan jarak jauh. Tasya nggak mau. Katanya, itu cuma hubungan yang dipaksa. Nggak akan berhasil. Daripada maksa jalan ujung-ujungnya malah rusak, mending udahan aja sebelum kami jadi saling benci. Jadi, ya udah. Selesai.”

Aku tidak pernah mengerti kenapa jarak bisa berdampak sangat besar dalam suatu hubungan. Apalagi di masa teknologi seperti sekarang. Kalau kita hidup di jaman di mana masih mengirim surat lewat burung merpati, mungkin akan jadi bencana. Tapi sekarang? putus karena jarak sepertinya alasan yang sangat bodoh, menurutku. Bukan berarti aku pernah menjalin hubungan jarak jauh atau semacamnya. “Nggak pengin nyoba dulu?” tanyaku. “Kamu masih sayang dia, kan?”

“Sayang itu… absurd,” jawabnya. “Aku nggak bisa jawab nggak. Tapi, kalau aku jawab iya, ya nggak juga. Kalau ada yang nanya pengin balik sama dia nggak, aku bakal jawab nggak. Bukan karena nggak sayang. Aku sama dia udah sepakat kalau masa kami sama-sama sebagai pacar udah selesai.” Dia mendesah. “Ribet ya?”

“Banget,” ujarku.

Dia tertawa kecil. Renyah. Tangannya memainkan buku Geografiku. “Kamu percaya kebetulan?” tanyanya tiba-tiba.

“Nggak,” jawabku. “Aku percaya Tuhan. Nggak ada kebetulan. Yang ada cuma takdir.”

“Bener juga,” cetusnya sepakat. “Jadi, anggep aja semuanya itu takdir. Aku sama Tasya pisah, trus ketemu kamu.”

Aku menatapnya dengan alis menyatu. “Maksudnya?”

Senyum simpul tersungging di sudut bibirnya, tepat ketika bel masuk terdengar. Dia mengembalikan bukuku, lalu berdiri. Tanpa menjawab pertanyaanku, dia pamit untuk kembali ke kelasnya.

Aku masih diam di tempatku selama beberapa saat. Menatap sosoknya yang menjauh. Mengingat senyum simpulnya yang barusan tersungging di depanku. Dan aku merasakannya. Debar jantungku yang seakan bersiap melompat keluar, ketika memahami maksud ucapan terakhirnya tadi.



To be continued…


#6 - #8

Review : Warm Bodies (Antara Buku dan Film)


Judul : Warm Bodies
Genre : Horor, Drama
Pemain : Nicholas Hoult (R), Teresa Palmer (Julie)
Sutradara dan Skenario : Jonathan Levine
Penulis : Isaac Marion

Sejujurnya, aku gak terlalu excited sama film-film yang diangkat dari novel. Setiap denger desas-desus ada novel yang akan dijadiin film, aku lebih milih berburu novelnya. Urusan bakal nonton filmnya apa gak, tergantung cerita novel itu apakah bakal menarik dibikin film, atau cuma bakal maksa. Sama liat siapa yang main (hehe). Sejauh ini, dari beberapa film adaptasi yang aku tonton, sebagian besar aku tetep lebih suka versi novel.

Film Warm Bodies ini salah satu film adaptasi novel yang menurutku cukup sukses. Terlepas dari tokoh cowoknya yang bikin aku jatuh cinta, filmnya gak ngecewain sama sekali. Menurutku, Jonathan Levine lumayan berhasil 'menghidupkan' novel yang ditulis Isaac Marion ini.

Dari beberapa film zombi yang pernah aku lihat, Warm Bodies jadi juara. Biasanya, zombi di film horor/thriller yang pernah aku tonton cuma dijadikan mesin pembunuh, momok mengerikan, yang memburu semua pemain sampai mati. Kehidupan si zombi sendiri gak terlalu diekspos. Ceritanya cuma fokus ke para manusia yang jadi pemeran utama dan cara mereka bertahan hidup dari kejaran si zombi.

Tapi, di sini beda. Diceritakan seorang zombi bernama R, yang tinggal di sebuah lahan bekas bandara bareng zombi-zombi lainnya. Adegan pembuka awal, cukup menarik. Memperlihatkan kegiatan-kegiatan para zombi di tempat tinggal mereka itu. Yang jadi tokoh utama di sini, bisa dibilang, para zombi. Garis besarnya menceritakan tentang R yang jatuh cinta sama manusia, namanya Julie. Mereka pertama ketemu waktu para zombi nyerang manusia buat makan. Si penulis ngatur kalau R kebagian makan pacarnya Julie. Setiap kali seorang zombi makan otak manusia, akan muncul kilasan-kilasan kenangan si manusia itu di pikirannya. Itu juga yang terjadi waktu R makan otak Perry, pacarnya Julie. R jadi tau tentang Julie dari sudut pandang si Perry.

Aku selalu lebih suka cerita cinta yang dikemas dengan gaya cerita gini. Cerita yang di luar nalar kadang ngasih pelajaran lebih tentang perasaan manusia satu itu. Bisa dilihat dari hubungan R dan Julie. R tertarik sama Julie karena waktu kali pertama mereka ketemu, jantungnya yang udah mati tiba-tiba berdetak lagi. Karena itu R selalu berusaha melindungi Julie dari para zombi. Keajaiban cinta yang gitu lebih bikin ngiri. Selalu. Para penulis fantasi atau sci-fi selalu berhasil meyakinkanku kalau cinta itu memang punya kekuatan yang hebat. Terbukti di cerita ini, di mana R berhasil kembali jadi manusia gara-gara cinta.

Sedikit kekurangan filmnya menurutku, ada beberapa adegan di novel yang gak masuk. Hal biasa, sebenernya. Setiap film yang diangkat dari novel, gak semua adegan persis sama. Cuma, kadang, adegan yang 'dibuang' itu justru adegan yang sebenernya ditunggu. Misalnya aja, salah satu adegan novel yang gak ada di filmnya, waktu R ketemu sama istrinya, sesama zombi. Baru pertama ketemu, mereka langsung nikah. Cara nikahnya lucu. Pernikahan ala zombi. Menurutku, itu salah satu adegan menarik. Pas nonton, aku nunggu-nunggu adegan itu, ternyata gak ada. Itu seharusnya jadi adegan sebelum R ketemu Julie. Tapi, di filmnya, R langsung dibikin ketemu Julie.

Over all, I really love this story.
Terlepas dari tokoh utamanya yang emang ganteng, banyak pelajaran yang ada di cerita ini. Salah satu yang bisa aku petik dan paling berkesan buatku, "cinta selalu bisa memanusiakan siapa pun, termasuk seorang zombi". Jadi, jatuh cintalah. Supaya kamu bisa jadi manusia. Yang utuh...




~ Elsa Puspita Hoult ~

Wednesday, February 20, 2013

cinta daur ulang (?)

Tiba-tiba pengin bahas tentang move on (lagi), abis mantengin TL dan nemu kalimat : "Kok lo cepet banget jatuh cinta lagi?" pertanyaan yang ga bisa dijawab sampe dia sendiri yang ngalamin langsung.
Aku gak kenal sama yang ngetwit. Tapi aku kenal sama yang ngeritwit. si @GitaRahmi, temen jaman muda, waktu masih pake putih-abu2.

Baca kalimat itu, aku jadi inget sama beberapa temen yang move on-nya bisa dibilang gesit. Sebut aja yang baru ini kemarin, temen kosku yang udah pacaran 3 taun, awal tahun kemaren putus, trus bisa cepet gebet yang lain. Sejujurnya, aku suka takjub sendiri sama orang yang gitu. Beneran takjub, bukan berkonotasi negatif, nyindir, atau semacamnya.

Rekorku pribadi, paling cepet move on 6 bulan. Paling lama 2 taon lebih. Udah. Gak akan bahas yang itu. Bosen.

Aku pengen bahas kalimat itu tadi aja. Pertanyaan itu persis sama yang aku tanya ke temen kosku itu. Gimana bisa, tiga taun ilang dalam waktu gak nyampe satu bulan? Segitu gak berhargakah hubungan yang kemarin? Atau kesalahan putusnya udah bener-bener fatal sampe bisa dengan mudah dilupakan gitu aja?

Otak sotoyku pun bekerja *lalalala*

Terlintas satu alasan yang menurut nalar sotoyku masuk akal. Temen kosku itu mungkin bukan cepet jatuh cinta lagi, tapi mungkin cinta sebelumnya emang udah lama abis, mungkin malah jauh sebelum mereka putus, cuma dia gak nyadar. Waktu cintanya abis itu, secara gak sadar hatinya udah 'mendaur ulang' bibit cinta baru, tapi belum nemu tempat buat ngelemparnya, sedangkan mau dilempar lagi ke pacarnya kayaknya udah gak pas. Makanya, pas nemu sosok baru yang dianggap klop, dilempar deh tuh bibit.

Kenapa bisa gitu?

Ibarat kita nanem bunga di sepetak tanah, awalnya bunga itu keliatan bakal tumbuh subur. Tapi, perlahan bunganya malah mati. Kita pasti bertanya apa yang salah? Mungkin bunganya udah terlalu lama dibiarin tumbuh liar, tanpa repot di kasih pupuk atau sengaja disiram, cuma ngandelin air hujan. Atau juga, karena tanahnya yang bermasalah. Dalam kasus ini, kita anggep aja kalau tanahnya yang bermasalah. Saat kamu tau kalau tanah yang kamu tanemin bunga bermasalah, apa kamu masih mau nanem di tempat yang sama?

Apa pun jawaban kamu, di sini aku anggep kalau temen kosku itu jawab gak. Dia lebih milih nanem di tempat baru, daripada harus nyoba dan ngeliat bunganya mati lagi.


Mungkin, gitu juga dengan cinta. Sebagian orang yang dianggap 'mudah jatuh cinta' mungkin cuma gak mau jatuh ke lubang yang sama dua kali, macam keledai.


Sekali lagi, ini cuma bentuk kesotoyan saya. Makanya banyak pake kata 'mungkin' karena belom penelitian langsung ~


Mungkin cukup sekian, dan terima kasih ~



Sotoy itu indah kawan!
Maka, sotoylah ~

wassalam,

-EP-

#FF2in1 Secret Admirer

Aku menemukannya lagi. Sebuah botol bekas parfum berisi surat yang dimasukan ke balon yang belum ditiup. Ini sudah yang keempat kalinya. Isi suratnya selalu sama. Tetapi, aroma parfum dan warna balon yang digunakan si pengirim berganti. Dan selalu serasi. Hari pertama, dia mengirimkan botol parfum beraroma lavender, dengan balon berwarna ungu. Selanjutnya, parfum bunga sakura dengan balon pink. Yang ketiga, aroma melati dan balon putih. Sekarang, aroma jeruk dan balon oranye. Aku benar-benar penasaran siapa pelaku iseng ini. Dikiranya laci mejaku semacam tempat penampungan sampah atau apa?

Menarik keluar balon dari mulut botol bukan perkara mudah. Karetnya sering menempel di dinding botol yang masih basah sehingga jariku kesulitan meraihnya. Si pelaku ini benar-benar menyusahkanku. Juga mengganggu, pada awalnya. Sekarang, aku malah selalu menantikan keisengannya ini, meskipun sampai sekarang aku tidak tau apa artinya.

Begitu berhasil mengeluarkan balon sial itu, aku kembali berjuang mengeluarkan surat di dalamnya. Meskipun tahu kalau isinya akan sama, tetap saja aku ingin membukanya untuk membuktikan langsung.

Dahiku berkerut saat membaca suratnya. Isinya kali ini berbeda.

"Jam bermain selesai."

Saat itu aku menyadari. Selain isi surat, aroma dari botol parfum yang digunakannya juga berubah. Biasanya dia menggunakan botol parfum beraroma bunga, kali ini jeruk.

"Lavy? Kenapa kamu? Kok bengong?"

Aku tersentak, lalu menoleh ke arah Bagas, teman sebangkuku. "Kenapa kamu panggil aku Lavy?"

Dahi bagas mengernyit. "Dulu, kan, aku pernah bilang. Arona kamu kayak Lavender. Bisa buat ngusir nyamuk."

"Lavender. Pengin lihat sakura asli. Lebih suka melati daripada mawar. Pecinta jeruk." Aku menatap Bagas tajam.

Bagas terdiam sesaat. Aku mengacungkan botol parfum di tanganku. Dia tersenyum kecil, namun tidak berkata apa-apa.

Aku juga tidak berkata apa-apa lagi. Hanya mengingat surat pertamanya.

"Kenapa selalu melihat kejauhan?"

Welcome to the Hell (#6)


Hal pertama yang kutangkap saat memasuki kelas baru adalah suasana bar mengerikan yang sering kulihat di film-film koboi. Sekelompok siswa bergerombol di sudut kelas, beberapa di antara mereka tampak menjepit rokok di sela jari telunjuk dan jari tengah. Kalau ketahuan guru, mereka pasti habis. Aku sudah sering mendengar betapa buruknya kelas ‘terbuang’ ini. Tetapi, tidak pernah terlalu memedulikan mereka. Tentu saja aku juga tidak pernah sekali pun berpikir akan menjadi bagian dari kelas terkutuk ini. Jika suasana di kelas plus kemarin sudah kuanggap neraka, kelas ini menimbulkan kesan beratuskali lipat lebih buruk.

Ya Tuhan! Betapa aku berharap bisa memutar ulang semuanya dan meletakkan otakku di tempat yang benar!

Sara dan Anita berbaik hati menemaniku masuk ke kelas ini untuk kali pertama. Mereka juga membantuku memilih tempat duduk. Bukan hal sulit. Bangku kosong hanya ada di bagian depan, sementara bangku-bangku di belakang sudah terisi penuh. Aku memilih bangku yang berada tepat di depan meja guru. Bukan apa-apa, orang-orang di sini benar-benar membuatku takut. Aku seperti masuk ke kandang srigala gunung yang dipaksa puasa setahun penuh lalu tiba-tiba mendapat daging domba segar. Bisa dibayangkan bagaimana ganasnya mereka?

Aku baru meletakkan tas, ketika Anita mulai bergerak tidak nyaman. Dia menarik-narik tangan Sara, lalu membisikkan sesuatu. Sara melihat ke arah sudut, tempat para siswa bergerombol, lalu ikut cemas.

“Fik, kamu yakin mau di sini?” Sara berbisik padaku.

Aku menatapnya nelangsa. Apa aku punya pilihan di sini? Tidak pernah ada dalam sejarah SMA-ku, murid bisa pindah dari kelas yang sudah ditetapkan. Apalagi yang sudah diputuskan masuk ke kelas mengerikan ini.

“Kamu kok bisa di sini sih, Fik?” sambung Anita, seakan kami tidak pernah membahasnya.

Selama liburan kemarin, aku sudah menghabiskan banyak waktu dengan mereka untuk menceritakan mengapa aku bisa masuk kelas ini. Tentu saja aku tidak menyebut nama Saka sedikit pun. Bukan karena tidak percaya pada mereka. Aku hanya tidak enak karena Sara berteman baik dengan Tasya. Dan Tasya adalah pacar Saka. Aku tidak yakin bagaimana Sara akan menanggapi ceritaku kalau aku mengatakan yang sebenarnya. Lagi pula, mengaku kalau aku sudah melakukan hal konyol karena Saka akan sangat memalukan. Aku tidak akan mau melakukannya.

“Aku nggak apa-apa, kok,” kataku. “Kalian balik ke kelas aja.”

Kedua sahabatku itu masih tampak tidak yakin. Tetapi, bel yang kemudian berbunyi memberi mereka pilihan untuk segera meninggalkanku.

“Kalau ada apa-apa, langsung teriak ya, Fik,” bisik Anita, sebelum menarik Sara keluar.

Aku mendesah pelan sambil menatap punggung mereka yang menjauh. Kemudian, aku mengeluarkan buku, siap memulai pelajaran, ketika menyadari sesuatu.

Para siswa masih berada di sudut kelas, tampak tidak menyadari, atau tidak peduli, dengan bel yang sudah berbunyi. Selain aku, hanya ada tiga murid perempuan. Mereka membentuk kelompok sendiri di barisan bangku dekat jendela. Tidak seorang pun memedulikan kehadiranku. Tanpa sadar, aku mengingat hari pertamaku saat masuk di kelas plus. Saka adalah orang pertama yang menyapaku, lengkap dengan senyum manisnya. Setidaknya, senyum yang kuanggap manis sampai aku mengetahui kalau dia sudah punya pacar. Bukan berarti senyumnya berubah. Hanya saja, jangan harap aku mau menyebutnya manis lagi.

Sembari menunggu guru masuk, aku mulai membuat coretan-coretan tidak jelas di buku tulis. Kemudian aku menyadari kalau buku yang sedang kucoret adalah catatan matematika-ku. Ada tulisan Saka di sana, saat dia mengajariku mengerjakan soal. Aku melingkari tulisan-tulisan itu dan membuat lambang hati di sekelilingnya.

Yang lebih menyedihkan dari cinta bertepuk sebelah tangan adalah jatuh cinta dengan pacar orang lain.

Yah, selama libur kemarin, selain meratapi nasib sialku, aku juga memikirkan alasan logis mengapa aku sampai berjuang keras menghindari Saka hanya karena dia sudah punya pacar. Orang bodoh pun tau apa yang terjadi. Rasa kesal yang mendadak muncul saat kali pertama mengetahui hal itu. rasa sedih ketika melihat dia dan pacarnya bedua. Sikap ketusku karena hal itu. meskipun awalnya sempat membantah, hati tidak pernah bisa berbohong. Hanya dalam tiga bulan kedekatan kami, dia berhasil membuatku jatuh cinta.

Sejujurnya, aku tidak terlalu suka menggunakan istilah itu. Menggelikan. Tetapi, aku tidak bisa menemukan istilah lain. Tertarik? Jelas lebih dari itu. suka? Sedikit kurang pas. Kagum? Yang benar saja. memangnya siapa dia? Andrew Garfield?

Jadi kuputuskan saja menggunakan istilah itu meskipun aku tidak mengerti apa maksudnya. Bukan berarti aku tidak pernah pacaran. Fase cinta monyet jelas sudah kulalui selama masa SMP kemarin. Tetapi, selama SMA, minatku pada hal semacam itu sudah berkurang. Tidak ada gunanya menurutku. Apalagi kalau sampai mendapatkan cowok yang salah. Seperti cowok bodoh, jorok, dan semacamnya. Benar-benar … eww!

Aku belum pernah mendapatkan cowok pintar. Selama ini, pacarku adalah cowok-cowok yang hanya memiliki otak setengah. Bukan bermaksud kasar. Tapi, mereka memang seperti itu. Atau sebenarnya aku yang dungu karena mau pacaran dengan mereka. Mungkin karena itu aku tidak tertarik pacaran dulu selama SMA. Jadi, kalian tentu paham, kan, kenapa aku bisa naksir Saka?

Oh, naksir sepertinya lebih enak diucapkan daripada jatuh cinta. Kalau begitu, aku ganti saja istilahnya.

Setengah jam sudah berlalu. Gambar hati sudah bertebaran di buku tulisku, melingkari semua tulisan Saka yang ada. Tidak ada tanda-tanda akan ada guru yang masuk kelas. Para berandal di belakang sudah mulai bernyanyi-nyanyi, entah lagu apa. Ruangan ini lebih pantas disebut arena konser death metal daripada kelas. Mereka sangat berisik. Menyanyi dengan volume keras, tertawa lantang, sangat mengganggu.

Aku melirik ke belakang, hanya untuk memastikan apa yang mereka lakukan. Beberapa mata balas menatapku dengan senyum iblis. Semacam senyum singa saat menemukan mangsa. Bulu kudukku meremang. Cepat-cepat aku menghadap ke depan lagi. Aku merasakan mata-mata jahat itu masih menatap punggungku. Dengan suara berisik kelas ini, kalau sampai terjadi apa-apa dan aku berteriak, tidak akan ada yang mendengar. Guru-guru sudah lama belajar untuk berhenti mengurusi kelas ini. Percuma. Saat ditegur, mereka semua diam. Begitu yang menegur pergi, konser kembali dimulai. Aku sangat tau karena kelas central selalu bersebelahan dengan kelas busuk ini.

Suara gedoran keras di pintu membuatku terlonjak. Kelas mendadak hening. Mungkin mereka mengira guru yang datang. Aku juga berpikir begitu, sampai melihatnya berdiri di ambang kelas.

Mulutku sedikit ternganga. Saka berjalan memasuki kelas dengan wajah santai.

“Pak Tomo nggak masuk,” kata Saka.

“Kamu lagi yang ngajar? Asik dong!” sahut salah satu berandal.

Dahiku mengernyit. Saka yang mengajar? Bagaimana bisa?

Kulihat, para berandal kembali ke bangku mereka masing-masing. Aku melongo. Saka bahkan tidak perlu menyuruh mereka. Kemudian, layaknya guru, Saka mulai berceloteh. Jadwal hari itu Sejarah. Saka memberi penjelasan tentang Masa Orde Lama layaknya pendongeng handal.  Di tengah-tengah penjelasannya, Saka duduk di salah satu bangku belakang. Semua penghuni kelas, kecuali aku, menggeser kursi mereka hingga mengelilinginya. Saka terlihat seperti guru TK yang sedang menceritakan dongeng pada murid-muridnya. Apa-apaan ini?

Saka tengah menjelaskan tentang 28 Kabinet pada Masa Orde Lama, ketika bel berbunyi. Tanpa terasa, dua jam pelajaran sudah berakhir. Saka berdiri. “Pe-er buat kalian. Tadi, kan, aku baru jelasin sampe Kabinet Republik Indonesia Serikat. Masih ada 18 Kabinet lagi yang belum dijelasin. Kalian jelasin ya? Kalau minggu depan Pak Tomo nggak masuk lagi, kita bahas bareng.”

Mereka semua menyahut setuju. Aku benar-benar terpana. Darimana Saka bisa mempunyai pengaruh begitu besar pada mereka?

Saat melewati mejaku, dia melirikku sejenak. Itu kali pertama kami bertatapan semenjak dia masuk kelas. Tidak ada ekspresi kaget sedikit pun di wajahnya. Aku membuang muka. Dia pasti berpikir kalau hal yang wajar aku masuk ke kelas ini. Dia pernah menjadi guru privat tidak resmi-ku kemarin. Tentu dia sedikit banyak menangkap kemampuan otakku. Menyebalkan.

“Istirahat ntar aku mau ngomong,” bisiknya, membuatku tersentak kaget.

Sebelum aku memastikan kalau Saka benar-benar mengatakan hal itu, dia sudah berjalan keluar kelas.



To be continued …


#5 - #7