Saka menahan tanganku. Aku sudah melihatnya mendekat
tadi. Seperti yang biasa terjadi belakangan ini, semenjak kejadian konyol dan
menyebalkan beberapa hari lalu, aku tidak berani berhadapan dengannya. Terang saja aku
menjauhinya. Mumpung harga diriku masih bisa diselamatkan.
“Kamu kenapa sih?”
Nada yang tidak pernah kudengar sebelumnya, kali ini
keluar. Dia marah. Kenapa harus marah coba? Seharusnya aku yang marah dan
mengutuknya sekarang. Bukan dia yang sudah mempermalukan diri dengan begitu
bodohnya tempo hari.
“Aku nggak pengin main drama-dramaan sama kamu, Fik.
Kalau aku ada salah, bilang sekarang. Jelasin. Jangan main kabur-kabur,
lari-larian, kayak anak kecil gitu.”
“Kenapa kamu peduli?”
Dahi Saka berkerut. “Peduli apa? Peduli kamu ngejauhin
aku?” tanyanya. “Ya jelas lah! Kamu tiba-tiba menghindar, aku nggak tau udah
bikin salah apa. Gimana aku bisa nggak peduli?”
“Temen kamu banyak, kan? Aku jauh nggak ngaruh apa-apa
seharusnya,” balasku, masih menghindari tatapannya. Aku berusaha melepaskan
pegangan tangan Saka, tapi sia-sia. Dia masih menahan tanganku dengan erat.
“Anita sama Sara udah nunggu. Lepasin,” pintaku.
"Nggak, sebelum kamu berenti bertingkah kekanakan
gini!"
"Kekanakan?" Aku menatapnya, mulai kesal.
"Oke. Kamu mau tau kenapa aku ngejauh? Karena aku malu!"
Kerutan di dahi Saka makin dalam. "Kenapa kamu harus
malu?"
Aku menatapnya tidak percaya. Lelaki ini memang tidak
tahu, atau pura-pura bodoh untuk memancing kekonyolanku selanjutnya?
Dengan tergagap, masih menahan kesal, aku mengulang
kejadian telepon malam itu. Mataku panas, namun aku tidak mengijinkan setitik
air pun jatuh. Tidak akan pernah di depannya.
"Nah! Udah! Puas sekarang?" Aku menatap
langsung matanya sekilas, sebelum menghentakkan tanganku dari genggamannya.
Begitu terbebas, aku langsung berlari menjauhinya.
Saka tidak menyusul. Aku tidak berani menoleh. Dia akan
tau aku berharap dikejar lagi kalau sampai menoleh. Iya, kalau dia berniat
mengejar. Kalau tidak? Aku hanya semakin mempermalukan diri.
Kuurungkan niat ke kantin begitu melewati perpus, dan
berbelok ke sana. Suasana perpustakaan yang sepi lebih kubutuhkan daripada
keramaian kantin. Aku mengisi buku tamu, sebelum mendekati rak sastra dan
mengambil satu buku secara acak. Aku tidak benar-benar ingin membaca
sebenarnya.
Ponselku bergetar, begitu aku baru membolak-balik buku
yang kuambil. Mengira pesan dari Sara atau Anita, aku mengeluarkan benda mungil
itu dari saku rok. Memang ada pesan singkat. Namun, bukan dari Sara atau Anita.
From: Saka
Kita perlu ngomong.
Please? Di mana kamu?
Aku menghela napas pelan. Apalagi yang harus dibicarakan
coba? Apa dia kurang puas melihatku mempermalukan diri di depannya?
Tanpa membalas SMS itu, aku mengembalikan ponsel ke dalam
saku. Tentu saja setelah itu ponselku terus bergetar, menandakan ada panggilan
masuk. Aku mengabaikan semuanya. Hingga bel istirahat selesai berbunyi, aku
kembali ke kelas tanpa berniat mengecek ponsel.
Langkahku terhenti saat melihat Saka berdiri di dekat
pintu kelasku. Dia masih menunduk, menghadapi ponsel. Aku baru akan kabur,
begitu Anita dan Sara muncul dari belakang dan menyebut namaku cukup keras. Aku
melihat Saka menoleh ke arah kami.
"Ke mana kamu? Ditungguin di kantin malah nggak
muncul," ujar Anita.
"Ada pemandangan lucu lho tadi," Sara
menambahkan. "Tau Dika, kan? Anak kelas sebelas yang imut banget itu? Dia
ditembak Silvi!" Dia berkata dengan nada seolah itu berita penting yang
wajib diketahui masyarakat sedunia. "Gila ya? Nekat juga si Silvi. Padahal
dia cewek, kakak kelas pula."
"Gitu kalau udah cinta. Mana peduli batasan,"
komentar Anita.
Aku tidak terlalu mendengarkan mereka berdua begitu
melihat Saka meninggalkan posisi bersandarnya, dan mulai berjalan ke arah kami.
Ocehan Anita dan Sara sontak berhenti ketika Saka sudah
berdiri di depan kami. Tepat di depanku, sebenarnya. Tanpa aba-aba, kedua
sahabatku itu menjauh, lebih dulu masuk kelas. Aku bergeser ke kiri, Saka ikut
bergeser. Ketika aku ke kanan, Saka juga ke arah sana. Menghela napas, aku
menatapnya.
"Apa lagi? Kan, udah aku jelasin tadi."
"Ya. Kamu yang belum ngasih kesempatan aku buat
jelasin."
"Udah bel masuk. Nggak usah kayak anak kecil deh,
bolos gara-gara masalah nggak jelas gini." Aku mendorong tubuhnya supaya
memberiku jalan.
Saka membiarkanku melewatinya dan masuk ke kelas. Aku
tahu, dia tidak melepaskanku sepenuhnya.
Benar saja. Saat bel pulang berbunyi, sebelum guru
mempersilakan kami keluar, Saka sudah berderap masuk ke kelasku. Dia membungkuk
sopan pada guru, sebelum menyambar tanganku dan menariknya keluar. Masih dalam
posisi kaget, aku mengikutinya.
"Aku suka sama kamu," ucapnya, begitu kami berhenti
di halaman parkir yang belum terlalu ramai. "Paham?"
"Nggak," jawabku, jujur. "Baru beberapa
hari lalu kamu bilang kita nggak ada apa-apa. Kalo tujuan kamu bilang suka cuma
karena nggak enak sama aku, nggak perlu. Aku nggak apa-apa."
"Siapa yang bilang kita nggak ada apa-apa?"
Saka mulai mengomel. "Siapa yang bilang suka cuma karena nggak enak? Kamu
salah paham dan ngambil kesimpulan seenaknya."
"Kepala kamu abis kejedot tembok apa gimana
sih?" aku bertanya, sebal. "Pas aku tanya kita gimana, kamu sendiri
yang jawab, 'kita kenapa', seolah emang nggak ada apa-apa. Yah, kita emang
nggak ada apa-apa. Ya udah!"
"Aku beneran bingung waktu itu!" Saka
berteriak, ikut kesal. "Kamu tiba-tiba nanya kita gimana, ya aku balik
tanya kita kenapa. Terus tiba-tiba kamu mutusin teleponnya gitu aja, nggak bisa
dihubungi lagi, ngejauh kayak aku sumber penyakit menjijikan ...."
Aku melongo, tidak tahu harus menjawab apa.
"Aku nggak ngerti bahasa cewek! Jangan pake
kode-kodean gitu. Kalau emang mau tau perasaanku, ya tanya langsung!"
"Ya mana mungkin aku nanya gamblang gitu! Malu,
tauk!"
Saka mendengus keras, membuatku yakin ada asap keluar
dari lubang hidungnya. "Aku lupa cewek harus serba pasti," dumelnya.
"Aku pikir kamu udah paham tanpa harus ngomong macam-macam. Aku pikir
tanpa acara tembak-tembakan kayak anak SD, kita udah ...."
Aku melihat wajahnya memerah.
"Aku suka sama kamu, Fika," ujar Saka, pelan.
"Maaf udah bikin kamu bingung."
Aku diam sejenak, menatap mata Saka, mencari kejujuran di
sana. Wajah Saka masih kemerahan. Ekspresi kesalnya sedikit berkurang.
"Aku juga suka sama kamu," balasku, pelan.
"Aku tau," gumam Saka. "Makanya kamu malu,
nggak mau ketemu lagi pas ngira kalau aku nggak ada rasa apa-apa sama kamu.
Iya, kan?"
Aku meninju bahunya sebagai balasan. Tepat setelah itu,
sorak tepuk tangan bercampur ledekan 'ciyeee' meledak di sekitar kami. Entah
sejak kapan, perang adu mulutku dan Saka jadi tontonan di tempat parkir.
Wajahku otomatis memerah dan bersiap pergi dari sana.
Saka menahan tanganku. "Mau ke mana lagi sih?"
omelnya. Wajahnya juga tampak merah, namun dia hanya mengusir orang-orang itu
dengan lagak tidak peduli.
"Ya pulang. Ke mana emangnya?" balasku,
dongkol.
"Tunggu di sini. Aku ambil motor dulu. Nggak usah ke
mana-mana!"
Aku memutar bola mata. "Iyaa ...."
Motornya terparkir tidak jauh dari tempat kami adu mulut
tadi. Begitu aku sudah berada di boncengannya, dia menjalankan motornya
perlahan.
"Besok-besok, kalo ada apa-apa, tanya langsung.
Nggak usah kasih-kasih kode." Aku mendengar Saka bersuara cukup keras,
mengalahkan bunyi mesin kendaraan di sekitar kami.
Aku hanya tersenyum kecil, seraya melingkarkan tanganku
di pinggangnya, dan membenamkan kepala di punggungnya.
to be continued…
1 comment:
kapan nih ceritanya dilanjutkan. ........???
Post a Comment