Tuesday, January 7, 2014

I'm just a little bit afraid (#9)

Saka menahan tanganku. Aku sudah melihatnya mendekat tadi. Seperti yang biasa terjadi belakangan ini, semenjak kejadian konyol dan menyebalkan beberapa hari lalu, aku tidak berani  berhadapan dengannya. Terang saja aku menjauhinya. Mumpung harga diriku masih bisa diselamatkan.

“Kamu kenapa sih?”

Nada yang tidak pernah kudengar sebelumnya, kali ini keluar. Dia marah. Kenapa harus marah coba? Seharusnya aku yang marah dan mengutuknya sekarang. Bukan dia yang sudah mempermalukan diri dengan begitu bodohnya tempo hari.

“Aku nggak pengin main drama-dramaan sama kamu, Fik. Kalau aku ada salah, bilang sekarang. Jelasin. Jangan main kabur-kabur, lari-larian, kayak anak kecil gitu.”

“Kenapa kamu peduli?”

Dahi Saka berkerut. “Peduli apa? Peduli kamu ngejauhin aku?” tanyanya. “Ya jelas lah! Kamu tiba-tiba menghindar, aku nggak tau udah bikin salah apa. Gimana aku bisa nggak peduli?”

“Temen kamu banyak, kan? Aku jauh nggak ngaruh apa-apa seharusnya,” balasku, masih menghindari tatapannya. Aku berusaha melepaskan pegangan tangan Saka, tapi sia-sia. Dia masih menahan tanganku dengan erat. “Anita sama Sara udah nunggu. Lepasin,” pintaku.

"Nggak, sebelum kamu berenti bertingkah kekanakan gini!"

"Kekanakan?" Aku menatapnya, mulai kesal. "Oke. Kamu mau tau kenapa aku ngejauh? Karena aku malu!"

Kerutan di dahi Saka makin dalam. "Kenapa kamu harus malu?"

Aku menatapnya tidak percaya. Lelaki ini memang tidak tahu, atau pura-pura bodoh untuk memancing kekonyolanku selanjutnya?

Dengan tergagap, masih menahan kesal, aku mengulang kejadian telepon malam itu. Mataku panas, namun aku tidak mengijinkan setitik air pun jatuh. Tidak akan pernah di depannya.

"Nah! Udah! Puas sekarang?" Aku menatap langsung matanya sekilas, sebelum menghentakkan tanganku dari genggamannya. Begitu terbebas, aku langsung berlari menjauhinya.

Saka tidak menyusul. Aku tidak berani menoleh. Dia akan tau aku berharap dikejar lagi kalau sampai menoleh. Iya, kalau dia berniat mengejar. Kalau tidak? Aku hanya semakin mempermalukan diri.

Kuurungkan niat ke kantin begitu melewati perpus, dan berbelok ke sana. Suasana perpustakaan yang sepi lebih kubutuhkan daripada keramaian kantin. Aku mengisi buku tamu, sebelum mendekati rak sastra dan mengambil satu buku secara acak. Aku tidak benar-benar ingin membaca sebenarnya.

Ponselku bergetar, begitu aku baru membolak-balik buku yang kuambil. Mengira pesan dari Sara atau Anita, aku mengeluarkan benda mungil itu dari saku rok. Memang ada pesan singkat. Namun, bukan dari Sara atau Anita.

From: Saka
Kita perlu ngomong. Please? Di mana kamu?

Aku menghela napas pelan. Apalagi yang harus dibicarakan coba? Apa dia kurang puas melihatku mempermalukan diri di depannya?

Tanpa membalas SMS itu, aku mengembalikan ponsel ke dalam saku. Tentu saja setelah itu ponselku terus bergetar, menandakan ada panggilan masuk. Aku mengabaikan semuanya. Hingga bel istirahat selesai berbunyi, aku kembali ke kelas tanpa berniat mengecek ponsel.

Langkahku terhenti saat melihat Saka berdiri di dekat pintu kelasku. Dia masih menunduk, menghadapi ponsel. Aku baru akan kabur, begitu Anita dan Sara muncul dari belakang dan menyebut namaku cukup keras. Aku melihat Saka menoleh ke arah kami.

"Ke mana kamu? Ditungguin di kantin malah nggak muncul," ujar Anita.

"Ada pemandangan lucu lho tadi," Sara menambahkan. "Tau Dika, kan? Anak kelas sebelas yang imut banget itu? Dia ditembak Silvi!" Dia berkata dengan nada seolah itu berita penting yang wajib diketahui masyarakat sedunia. "Gila ya? Nekat juga si Silvi. Padahal dia cewek, kakak kelas pula."

"Gitu kalau udah cinta. Mana peduli batasan," komentar Anita.

Aku tidak terlalu mendengarkan mereka berdua begitu melihat Saka meninggalkan posisi bersandarnya, dan mulai berjalan ke arah kami.

Ocehan Anita dan Sara sontak berhenti ketika Saka sudah berdiri di depan kami. Tepat di depanku, sebenarnya. Tanpa aba-aba, kedua sahabatku itu menjauh, lebih dulu masuk kelas. Aku bergeser ke kiri, Saka ikut bergeser. Ketika aku ke kanan, Saka juga ke arah sana. Menghela napas, aku menatapnya.

"Apa lagi? Kan, udah aku jelasin tadi."

"Ya. Kamu yang belum ngasih kesempatan aku buat jelasin."

"Udah bel masuk. Nggak usah kayak anak kecil deh, bolos gara-gara masalah nggak jelas gini." Aku mendorong tubuhnya supaya memberiku jalan.

Saka membiarkanku melewatinya dan masuk ke kelas. Aku tahu, dia tidak melepaskanku sepenuhnya.

Benar saja. Saat bel pulang berbunyi, sebelum guru mempersilakan kami keluar, Saka sudah berderap masuk ke kelasku. Dia membungkuk sopan pada guru, sebelum menyambar tanganku dan menariknya keluar. Masih dalam posisi kaget, aku mengikutinya.

"Aku suka sama kamu," ucapnya, begitu kami berhenti di halaman parkir yang belum terlalu ramai. "Paham?"

"Nggak," jawabku, jujur. "Baru beberapa hari lalu kamu bilang kita nggak ada apa-apa. Kalo tujuan kamu bilang suka cuma karena nggak enak sama aku, nggak perlu. Aku nggak apa-apa."

"Siapa yang bilang kita nggak ada apa-apa?" Saka mulai mengomel. "Siapa yang bilang suka cuma karena nggak enak? Kamu salah paham dan ngambil kesimpulan seenaknya."

"Kepala kamu abis kejedot tembok apa gimana sih?" aku bertanya, sebal. "Pas aku tanya kita gimana, kamu sendiri yang jawab, 'kita kenapa', seolah emang nggak ada apa-apa. Yah, kita emang nggak ada apa-apa. Ya udah!"

"Aku beneran bingung waktu itu!" Saka berteriak, ikut kesal. "Kamu tiba-tiba nanya kita gimana, ya aku balik tanya kita kenapa. Terus tiba-tiba kamu mutusin teleponnya gitu aja, nggak bisa dihubungi lagi, ngejauh kayak aku sumber penyakit menjijikan ...."

Aku melongo, tidak tahu harus menjawab apa.

"Aku nggak ngerti bahasa cewek! Jangan pake kode-kodean gitu. Kalau emang mau tau perasaanku, ya tanya langsung!"

"Ya mana mungkin aku nanya gamblang gitu! Malu, tauk!"

Saka mendengus keras, membuatku yakin ada asap keluar dari lubang hidungnya. "Aku lupa cewek harus serba pasti," dumelnya. "Aku pikir kamu udah paham tanpa harus ngomong macam-macam. Aku pikir tanpa acara tembak-tembakan kayak anak SD, kita udah ...."

Aku melihat wajahnya memerah.

"Aku suka sama kamu, Fika," ujar Saka, pelan. "Maaf udah bikin kamu bingung."

Aku diam sejenak, menatap mata Saka, mencari kejujuran di sana. Wajah Saka masih kemerahan. Ekspresi kesalnya sedikit berkurang. "Aku juga suka sama kamu," balasku, pelan.

"Aku tau," gumam Saka. "Makanya kamu malu, nggak mau ketemu lagi pas ngira kalau aku nggak ada rasa apa-apa sama kamu. Iya, kan?"

Aku meninju bahunya sebagai balasan. Tepat setelah itu, sorak tepuk tangan bercampur ledekan 'ciyeee' meledak di sekitar kami. Entah sejak kapan, perang adu mulutku dan Saka jadi tontonan di tempat parkir. Wajahku otomatis memerah dan bersiap pergi dari sana.

Saka menahan tanganku. "Mau ke mana lagi sih?" omelnya. Wajahnya juga tampak merah, namun dia hanya mengusir orang-orang itu dengan lagak tidak peduli.

"Ya pulang. Ke mana emangnya?" balasku, dongkol.

"Tunggu di sini. Aku ambil motor dulu. Nggak usah ke mana-mana!"

Aku memutar bola mata. "Iyaa ...."

Motornya terparkir tidak jauh dari tempat kami adu mulut tadi. Begitu aku sudah berada di boncengannya, dia menjalankan motornya perlahan.

"Besok-besok, kalo ada apa-apa, tanya langsung. Nggak usah kasih-kasih kode." Aku mendengar Saka bersuara cukup keras, mengalahkan bunyi mesin kendaraan di sekitar kami.

Aku hanya tersenyum kecil, seraya melingkarkan tanganku di pinggangnya, dan membenamkan kepala di punggungnya.





to be continued…


1 comment:

Anonymous said...

kapan nih ceritanya dilanjutkan. ........???