Anggap kita tengah berada di salah satu adegan cerita TV,
kamu tengah asyik dengan ayam bakarmu saat aku melangkah masuk. Yang
membedakan, tidak ada backsound lagu
romantis atau blower yang tiba-tiba
berembus ke arah kita. Tidak ada juga adegan saling tatap beberapa saat yang
berakhir dengan saling buang muka atau saling lempar senyum malu.
Tidak.
Aku hanya melirikmu sekilas, melewatimu begitu saja untuk
menyebutkan pesananku kepada penjual makanan. Itu pertemuan pertama kita.
Yang ajaib, di pertemuan kedua, aku bisa mengenalimu.
Padahal aku tidak benar-benar memperhatikanmu saat kali pertama. Kamu melangkah
keluar, ketika aku berjalan masuk menuju mesin ATM. Alam membuat kita menjadi
nasabah bank yang sama. Saat itu pun aku tidak memperhatikanmu. Aku membiarkanmu
melewatiku, seperti kamu yang juga berlalu begitu saja.
Seperti roda yang selalu berputar kembali ke tempat asal,
pertemuan ketiga terjadi di tempat yang sama seperti pertemuan pertama. Kali
ini, aku yang datang lebih dulu. Rambut sebahumu kali itu tergerai. Kamu tahu,
aku menyukai pemandangan saat kedatanganmu itu. Aku menoleh tepat ketika kamu
mendongak. Membuat kita bertatapan sepersekian detik, ketika semilir angin juga
melewatimu. Memainkan riak rambutmu sejenak, sebelum kamu benar-benar masuk.
Aku membuang muka. Izinkan aku mengaku, saat itu kamu mulai menarik
perhatianku.
Kamu melewatiku untuk memesan makanan, kemudian duduk
tepat di depanku. Membelakangiku. Saat itulah aku mulai memutuskan untuk
benar-benar memperhatikanmu. Pemandangan yang kudapat hanya punggungmu. Dan itu
keuntunganku. Aku bisa mengamatimu sepuasnya, tanpa takut dipergoki olehmu.
Saat itu juga, alam membuatku tertarik. Pada figur punggungmu.
Selanjutnya, di lain waktu, aku melihatmu tengah berdiri
di depan lemari pendingin sebuah mini market. Punggungmu, yang membuatku
tertarik, kembali terpampang di depanku. Aku kembali lahap menikmatinya. Kamu
menguncir rambutmu lagi, makin membebaskan mataku menjelajahi tiap sudut bagian
belakang tubuhmu. Seperti kopi kesukaan, kamu mencanduku. Hanya dengan sebuah
punggung.
Entah sudah berapa pertemuan yang terjadi sampai hari
ini. Aku tidak pernah lagi menghitungnya. Kalau ini setting sebuah cerita,
tempat yang digunakan sebagai latar hanya warung makan, ATM, dan mini market.
Hanya di tiga tempat itulah kita bolak-balik bertemu. Mungkin kamu tidak
menyadari, tetapi aku selalu, sampai saat ini, menanti saat-saat pertemuan
singkat itu. Saat-saat aku bisa dengan puas menjatuhkan pandangan pada
punggungmu.
Satu hari, menjelang makan siang, aku kembali ke warung
biasa. Tidak terlintas sedikit pun kalau pertemuan kita kali itu akan berbeda.
Kita biasa bertemu di malam hari. Aku tidak berharap bertemu kali itu. Tetapi alam,
dengan sifat isengnya, membuat kita kembali bersinggungan.
Seperti yang kusebut, kali ini pertemuan kita berbeda.
Suasana warung makan yang ramai tidak memberi banyak pilihan tempat untuk
duduk. Kali itu, alam membuat kita duduk berhadapan. Bukan aku dengan
punggungmu, tapi langsung dengan matamu.
Tidak pernah ada
suara. Tidak pernah ada kata. Kita sibuk dengan makanan masing-masing, hingga
piring kosong dan saatnya pergi.
Aku memberanikan diri menatapmu sebelum keluar. Kamu
masih menunduk, asyik dengan apa pun yang ada di depanmu. Aku menghela napas.
Saat itu, aku menyadari, alam kembali menjahiliku. Dia membuatku jatuh. Padamu.
***