Saturday, September 28, 2013

Kepada Punggungmu, Aku Jatuh

Anggap kita tengah berada di salah satu adegan cerita TV, kamu tengah asyik dengan ayam bakarmu saat aku melangkah masuk. Yang membedakan, tidak ada backsound lagu romantis atau blower yang tiba-tiba berembus ke arah kita. Tidak ada juga adegan saling tatap beberapa saat yang berakhir dengan saling buang muka atau saling lempar senyum malu.

Tidak.

Aku hanya melirikmu sekilas, melewatimu begitu saja untuk menyebutkan pesananku kepada penjual makanan. Itu pertemuan pertama kita.

Yang ajaib, di pertemuan kedua, aku bisa mengenalimu. Padahal aku tidak benar-benar memperhatikanmu saat kali pertama. Kamu melangkah keluar, ketika aku berjalan masuk menuju mesin ATM. Alam membuat kita menjadi nasabah bank yang sama. Saat itu pun aku tidak memperhatikanmu. Aku membiarkanmu melewatiku, seperti kamu yang juga berlalu begitu saja.

Seperti roda yang selalu berputar kembali ke tempat asal, pertemuan ketiga terjadi di tempat yang sama seperti pertemuan pertama. Kali ini, aku yang datang lebih dulu. Rambut sebahumu kali itu tergerai. Kamu tahu, aku menyukai pemandangan saat kedatanganmu itu. Aku menoleh tepat ketika kamu mendongak. Membuat kita bertatapan sepersekian detik, ketika semilir angin juga melewatimu. Memainkan riak rambutmu sejenak, sebelum kamu benar-benar masuk. Aku membuang muka. Izinkan aku mengaku, saat itu kamu mulai menarik perhatianku.

Kamu melewatiku untuk memesan makanan, kemudian duduk tepat di depanku. Membelakangiku. Saat itulah aku mulai memutuskan untuk benar-benar memperhatikanmu. Pemandangan yang kudapat hanya punggungmu. Dan itu keuntunganku. Aku bisa mengamatimu sepuasnya, tanpa takut dipergoki olehmu. Saat itu juga, alam membuatku tertarik. Pada figur punggungmu.

Selanjutnya, di lain waktu, aku melihatmu tengah berdiri di depan lemari pendingin sebuah mini market. Punggungmu, yang membuatku tertarik, kembali terpampang di depanku. Aku kembali lahap menikmatinya. Kamu menguncir rambutmu lagi, makin membebaskan mataku menjelajahi tiap sudut bagian belakang tubuhmu. Seperti kopi kesukaan, kamu mencanduku. Hanya dengan sebuah punggung.

Entah sudah berapa pertemuan yang terjadi sampai hari ini. Aku tidak pernah lagi menghitungnya. Kalau ini setting sebuah cerita, tempat yang digunakan sebagai latar hanya warung makan, ATM, dan mini market. Hanya di tiga tempat itulah kita bolak-balik bertemu. Mungkin kamu tidak menyadari, tetapi aku selalu, sampai saat ini, menanti saat-saat pertemuan singkat itu. Saat-saat aku bisa dengan puas menjatuhkan pandangan pada punggungmu.

Satu hari, menjelang makan siang, aku kembali ke warung biasa. Tidak terlintas sedikit pun kalau pertemuan kita kali itu akan berbeda. Kita biasa bertemu di malam hari. Aku tidak berharap bertemu kali itu. Tetapi alam, dengan sifat isengnya, membuat kita kembali bersinggungan.

Seperti yang kusebut, kali ini pertemuan kita berbeda. Suasana warung makan yang ramai tidak memberi banyak pilihan tempat untuk duduk. Kali itu, alam membuat kita duduk berhadapan. Bukan aku dengan punggungmu, tapi langsung dengan matamu.

Tidak pernah  ada suara. Tidak pernah ada kata. Kita sibuk dengan makanan masing-masing, hingga piring kosong dan saatnya pergi.

Aku memberanikan diri menatapmu sebelum keluar. Kamu masih menunduk, asyik dengan apa pun yang ada di depanmu. Aku menghela napas. Saat itu, aku menyadari, alam kembali menjahiliku. Dia membuatku jatuh. Padamu.




***

Saturday, September 14, 2013

Perempuan & Pakaian

Apa keinginan yang terlintas di kepala perempuan ketika dilanda stres? Mayoritas menjawab ‘belanja’. Apa pun bentuk barang yang dibelanjakan. Tetapi, pakaian selalu menempati posisi istimewa dalam daftar belanja kaum perempuan. Mayoritasnya.

Aku tidak pernah memahami ikatan itu. Dahiku mengernyit tiap melihat gerombolan perempuan mengerumuni deretan pakaian dengan tulisan SALE besar di rak-raknya. Mulutku mengomel panjang, jika menemani teman perempuanku berkeliling dari satu toko ke toko lain, melihat-lihat bentuk pakaian yang semuanya tampak sama di mataku. Aku lebih senang melarikan diri ke tempat makan atau toko buku, ketika kelompokku sibuk mengobrak-abrik semua butik di mall.

Mereka menyebutku ‘setengah perempuan’. Perempuan yang proses penciptaannya belum selesai sempurna, sehingga tidak semua sifat wajar perempuan kumiliki. Aku benci alat make up. Lebih suka melempar heels ke keranjang basket daripada memakainya. Dan membeli pakaian adalah hal yang baru kulakukan jika lemariku sudah kosong melompong.

Satu kali, ketika menemani salah seorang teman perempuanku berkeliling mall, seperti biasa dia tersangkut di salah satu toko baju. Aku memilih menjauh, bersandar di kaca etalase toko lain sambil memainkan ponsel, membiarkan dia melakukan kegemarannya. Sesekali aku meliriknya. Sesaat, aku terpaku melihat ekspresinya. Selama ini aku terlalu sibuk mengeluh hingga tidak pernah menyadari ekspresi para perempuan itu saat melihat sebuah menekin berpakaian cantik.

Dia tersenyum. Tampak gembira. Padahal yang dilakukannya hanya melihat-lihat, belum membeli, apalagi sampai diberi secara gratis. Kemudian, aku teringat sendiri perasaanku ketika melihat satu stand makanan baru buka, atau novel yang sudah lama kuincar muncul di toko buku. Perasaan gembira yang sama. Kemudian, aku ikut tersenyum. Semua orang punya cara sendiri untuk menyenangkan diri. Buat sebagian besar perempuan, mungkin pakaian salah satu benda yang bisa bikin mereka tenang tinggal di dunia. Sepertinya, untuk sebagian besar perempuan, toko pakaian sudah menjadi semacam surga kecil di mana mereka bisa melupakan hal lain yang tidak ingin dipikirkan.




-elsa[puspita]-