Thursday, January 30, 2014

Menunggu giliran....

Ternyata, jatuh cinta itu ngangenin. Seenggaknya, aku ngerasa gitu. Berawal dari cerita seorang teman, tentang doanya ingin jatuh cinta, dan terkabul. Aku terdiam lama sebelum membalas pesannya.

Aku pernah memanjatkan doa yang sama. Ingin merasakan jatuh cinta lagi. Tapi, Semesta belum ngasih ijin. Mungkin aku masih disuruh menata hati. Mungkin aku belum dipercaya buat sembarang menjatuhkan cinta lagi. Mungkin seseorang itu belum datang.

Mungkin, aku masih disuruh menunggu giliran.

Giliran untuk merasa cinta lagi. Yang utuh. Tanpa cacat atau goresan apa pun.

Mungkin, ini teguran Semesta. Tentang sikap angkuhku pada kesendirian, seakan coba membantah kalau semua orang butuh berpasangan. Semesta yang kesal, membuatku merasa kangen seperti ini.

Oh, aku jatuh cinta setiap hari. Pada kehidupan yang kujalani sekarang. Jatuh cinta yang kurindukan merujuk pada rasa ke lawan jenis. Ngerti, kan? Begitulah.


Ini bukan keluhan. Aku percaya pada Semesta. Dia tidak akan membuatku jatuh pada sosok yang tidak akan menangkapku. Jadi, aku sama sekali tidak bermaksud protes.

Ini cuma cerita.



-ep-

Wednesday, January 29, 2014

Tentang lelaki yang menari di bawah hujan

Bukan. Dia bukan menari. Hanya berputar, entah untuk apa. Semakin deras rinai yang jatuh, semakin cepat dia berputar. Kepalanya menunduk, menghindari tetes menyentuh wajah. Apa yang dicarinya? Apa yang dipikirkannya? Berbagai pertanyaan lain bermunculan. Namun, yang paling ingin kutanyakan sebenarnya, apa yang dilakukannya?

Itu bukan tarian. Tangannya memang terentang, membiarkan telapaknya menampung air. Begitu saja. Putaran yang memelan, pertanda dia tahu hujan segera reda. Benar saja. begitu titik air berhenti jatuh, putarannya terhenti. Pakaiannya basah kuyup, menempel di badan tegapnya. Kepalanya tidak lagi menunduk begitu dia berjalan pergi. Meninggalkan sisa hujan.

*

Cappuccino-ku mulai mendingin. Isinya masih sama seperti ketika waiter meletakkannya di depanku. Aku masih belum mengalihkan pandangandari luar jendela, ke tempat lelaki itu tadi menari. Atau berputar. Atau … entahlah, melakukan apa pun yang dilakukannya. Itu bukan pemandangan pertama. Beberapa kali aku berteduh di sini, sambil menikmati cappuccino panas ketika hujan, dia pasti melakukan ritual yang sama.

Aku melihat lelaki itu melangkah memasuki kafe melalui pintu belakang. Kutunggu sosoknya muncul, namun, seperti biasa, dia seperti menghilang. Aku menyesap cappuccino, dan langsung kehilangan minat begitu mendapati minuman itu sudah  terlalu dingin. Mengambil tas kanvas berisi perlengkapan kerja yang kuletakkan di meja, aku meninggalkan kafe itu, setelah menyempatkan diri melempar lirikan terakhir ke arah pintu ruang belakang kafe. Dia tetap tidak muncul.

*

Dia bukan menari. Dia menyembunyikan sesuatu. Seperti menyembunyikan daun di tengah hutan, dia menyembunyikan air bersama air. Aku tahu sekarang. Aku berdiri di depannya, ketika dia baru akan berputar. Dia tidak memedulikan kehadiranku. Tetap berfokus pada ritual hujannya.

Aku mengeluarkan payung lipat. Melindungi tubuhnya dari serangan hujan. Dia berhenti bergerak, langsung menghadapku.

“Untuk apa?” akhirnya aku bertanya.

“Untuk jiwaku,” jawabnya, lirih. “Hujan mengambilnya. Aku ingin memintanya kembali.”

Aku tidak mendorongnya lebih jauh untuk bercerita. Kami berdiam di sana sampai hujan reda. Sampai dia kembali ke ruang belakang kafe, dan aku kembali ke mejaku, di dekat jendela.

*

Tidak ada sosok yang berputar di bawah hujan kali ini. Itu pertemuan pertama, sekaligus terakhir, dengannya. Dia tidak akan pernah muncul lagi.

Kenyataan itu sepertinya berpengaruh pada suasana kafe. Cappuccino kesukaanku terasa hambar. Tidak ada pahit-manis khas cappuccino yang biasa. Aura kelam memenuhi tempat itu, membuatku tidak betah dan akhirnya memutuskan keluar.

Saat melewati salah satu jendela di dekat pintu, aku baru memperhatikan sesuatu. Sebuah potongan koran, tentang kecelakaan tunggal sebuah motor yang rodanya selip karena jalanan licin saat hujan, hingga terjun ke dasar jurang. Berita itu dilengkapi dengan foto sebuah motor yang sudah tak berbentuk. Di samping potongan koran, tertempel ungkapan belasungkawa dari pihak kafe, atas meninggalnya salah satu barista mereka, seorang pembuat cappuccino terenak di sana. Foto si Lelaki Hujan tertempel di sana. Wajahnya tampak cerah. Dia tersenyum lebar.

Sekarang aku tahu asal rasa hambar itu. Tuannya sudah pergi. Segelas cappuccino pun tahu. Tetapi, aku juga tahu sang Tuan tidak bersedih. Doanya terjawab. Hujan tidak mengembalikan apa yang dipinta, melainkan langsung membuatnya kembali bertemu jiwanya. Di sana.


*

Malang, 29 Januari 2014
EP

Friday, January 10, 2014

Postingan Absurd Menuju Tengah Malam...

11.09 p.m
(backsound: Wrecking Ball - Miley Cyrus)

Scrolling-scrolling twitter. buka-buka TL sana sini. nothing special. bocen, mak.

blogwalking:
udah lama gak ngebaca blog-blog orang. pas liat @radityadika di TL, langsung meluncur ke TL dia dan iseng buka blognya lagi.
blog Dika sebenernya salah satu blog favoritku. dulu. aku bukan tipe orang yang doyan blogwalking. tapi, beberapa kali ngeklik link web yang muncul di TL.

balik ke blog Dika...
udah berubah. sejujurnya, kangen sama postingan absurd berisi cerita kehidupan sehari-hari dia. sekarang, tetap kehidupan sehari-hari, tapi lebih banyak tentang perkembangan proyek, bukan lagi dalam bentuk "cerita" yang dulu sempat jadi favoritku. sekarang jadi agak ngeboseni, menurutku. untunglah isi TL-nya masih asyik, jadi masih enak di follow...

bener-bener harus beli bukunya kalau mau dapet cerita lagi dari dia.
*waiting....*


11.14 p.m
(backsound: Need You Know - Lady Antebellum)

Sekarang, sebenernya aku lagi di tengah-tengah bikin naskah. proyek baru dan beda dari proyek sebelum-sebelumnya. tetap romance, cuma sasaran pasarnya beda. baru masuk pertengahan bab 3. masih ada banyak bab yang harus ditulis.

semoga sukses!!!


11.18 p.m
(Backsound: Titanium - David Gueta feat. Sia)

bengong.....

Scrolling-scrolling TL lagi....

btw, tadi aku baru kelar nonton ulang Harry Potter and The Half-Blood Prince. tetep aja bikin sedih bagian Dumbledore tewas. inget banget waktu awal baca bukunya sampe nangis dan ngerasa benci banget sama Snape.


11.21 p.m
(Backsound: Tear Drops on My Guitar - Taylor Swift)

Jadi inget....
dari SMP punya obsesi belajar gitar. sempet lancar main kunci, gegara jarang dilatih, lupa lagi. terakhir nyoba mainin gitar adek, jarinya gak nyampe (._. )
komentar kampretnya : "Main ukulele aja udah!"
sialan ...


11.24 p.m
(backsound: Time for Miracle - Adam Lambert)

Nyoba lanjut baca The Darkest Secret-nya Gena Showalter. kenapa harus sepanjang itu sih narasinya? lagi gak mood baca narasi panjang. pengin langsung lompat ke bagian Paris-William-Strider. tapi dosa baca lompat-lompat gitu. mending gak usah baca dari awal .... *iya. cuma omonganku*

oh, lihat sisi positifnya. abis ini giliran ceritanya Strider and then.......finally...... my PARISSSSS :*
*ps: Paris di situ nama orang ya, Ksatria kuno ganteng. bukan nama kota*


11.29 p.m
(backsound: Daylight - Maroon 5)

Tadi sore, menjelang malam gitu, di TL @bentangpustaka bahas tentang senja...
aku pribadi lebih tertarik sama sunrise daripada sunset. ntah kenapa. mungkin karena lebih jarang liat sunrise daripada sunset *kebiasaan abis subuhan lanjut tidur*

tapi sih, kalau bisa aku pengin dapet dua-duanya. awal hari yang indah, ditutup sesuatu yang indah pula.
sekancut apa pun hari, pasti bisa dilewati....


11.33 p.m
(backsound: Never Knew I Needed - Ne Yo)

Baca-baca goodreads. serem juga ya kalau dapet kritik pedas di tempat umum gitu. aku terbuka sama kritikan buat karya yang aku tulis. tapi, semua diomongin secara pribadi. ntah lewat email, SMS, DM twitter, atau BBM. jadi pecutan juga sih biar terus berusaha ngasih karya terbaik...

tapi, sebenernya, semua penulis pasti udah ngusahain yang terbaik selama proses bikin karyanya. ada baiknya dihargai dengan kritik pake cara yang baik. menurutku sih....


11.37 p.m
(backsound: Dangerous and Sweet - Lenka)

*bengong lagi*
*nyoba lanjutin naskah*


11.40 p.m
(backsound: Only Hope - Mandy Moore)

*masih lanjutin naskah*


11.44 p.m
(backsound: Make You Feel My Love - Adele)

Adegannya lagi pas!
*tetep lanjut*

ehm, lagi ngumpulin daftar pertanyaan...
kalau pasangan tanya, "kenapa kamu masih mau jalin hubungan sama aku", harus jawab apa?
apa arti komitmen?
mana yang lebih penting. cinta atau komitmen?
'perkembangan' yang biasanya ada dalam hubungan itu yang gimana aja?
de el el.....
*mikir sampe besok*


11.48 p.m
(backsound: Try - P!nk)

Iseng buka Twitter lagi. ada yang ngepost gambar horor.
damn you, Sir!
yeah.
damn you!!!

jadi pengin bahas fobia.
katanya, gak sembarang ketakutan itu bisa disebut fobia. aku sih belum pernah periksa, tapi cukup yakin kalau aku punya ketakutan berlebihan akan sesuatu.
....
....
....
kehilangan kamu, misalnya. *digampar* *garing lu, nyet!* *mati caja cana!!!*


11.52 p.m
(backsound: Nobody's Perfect - Jessie J)

Mau di bawa ke manaaaa si naskah iniiiiii.......

yang lucu dari proses nulis, kadang tokoh seolah punya keinginan sendiri. gak jarang cerita yang aku rencanain di awal, berubah pas proses nulis. kadang, apa yang dipengin si tokoh, lebih enak daripada rencanaku.

jadi, waktu stuck, biarin tokoh yang beraksi.
lemahnya, kadang mereka gak terkontrol dan tiba-tiba ceritanya udah melalang buana ke mana-mana ._.


11.56 p.m
(backsound: Before The Worst - The Script)

Global TV pilem apa sih ini?

btw, TVku masih pake antena dalam. kemaren siarannya lumayan. walaupun ada semut-semut di tipi, gak parah-parah banget.
pas Tante mau main ke kos, otomatis beres-beres kamar. termasuk antena yang debunya bisa masuk pabrik bedak, dibersihin semua.
yang terjadi selanjutnya......begitu debu pergi, antena cling, semua gambar tipi rusak parah! semutnya bukan cuma muncul dikit, tapi menuhin tipi sampe gambarnya nyaris gak keliatan lagi.

dosa apa.....


11.59 p.m
(backsound: Mr. Know It All - Kelly Clarkson)

*countdown.....*


12.00 a.m
(backsound: idem)

Selamat ulang bulan ketujuh, Bjorn Arjun.
kucing paling ganteng sejagat raya! :*



12.05 a.m
(backsound: If Life is So Short - The Moffatts)

Kelar milih-milih foto + upload foto Oyon...


Markiduuuurrrrr..... :*




Tuesday, January 7, 2014

I'm just a little bit afraid (#9)

Saka menahan tanganku. Aku sudah melihatnya mendekat tadi. Seperti yang biasa terjadi belakangan ini, semenjak kejadian konyol dan menyebalkan beberapa hari lalu, aku tidak berani  berhadapan dengannya. Terang saja aku menjauhinya. Mumpung harga diriku masih bisa diselamatkan.

“Kamu kenapa sih?”

Nada yang tidak pernah kudengar sebelumnya, kali ini keluar. Dia marah. Kenapa harus marah coba? Seharusnya aku yang marah dan mengutuknya sekarang. Bukan dia yang sudah mempermalukan diri dengan begitu bodohnya tempo hari.

“Aku nggak pengin main drama-dramaan sama kamu, Fik. Kalau aku ada salah, bilang sekarang. Jelasin. Jangan main kabur-kabur, lari-larian, kayak anak kecil gitu.”

“Kenapa kamu peduli?”

Dahi Saka berkerut. “Peduli apa? Peduli kamu ngejauhin aku?” tanyanya. “Ya jelas lah! Kamu tiba-tiba menghindar, aku nggak tau udah bikin salah apa. Gimana aku bisa nggak peduli?”

“Temen kamu banyak, kan? Aku jauh nggak ngaruh apa-apa seharusnya,” balasku, masih menghindari tatapannya. Aku berusaha melepaskan pegangan tangan Saka, tapi sia-sia. Dia masih menahan tanganku dengan erat. “Anita sama Sara udah nunggu. Lepasin,” pintaku.

"Nggak, sebelum kamu berenti bertingkah kekanakan gini!"

"Kekanakan?" Aku menatapnya, mulai kesal. "Oke. Kamu mau tau kenapa aku ngejauh? Karena aku malu!"

Kerutan di dahi Saka makin dalam. "Kenapa kamu harus malu?"

Aku menatapnya tidak percaya. Lelaki ini memang tidak tahu, atau pura-pura bodoh untuk memancing kekonyolanku selanjutnya?

Dengan tergagap, masih menahan kesal, aku mengulang kejadian telepon malam itu. Mataku panas, namun aku tidak mengijinkan setitik air pun jatuh. Tidak akan pernah di depannya.

"Nah! Udah! Puas sekarang?" Aku menatap langsung matanya sekilas, sebelum menghentakkan tanganku dari genggamannya. Begitu terbebas, aku langsung berlari menjauhinya.

Saka tidak menyusul. Aku tidak berani menoleh. Dia akan tau aku berharap dikejar lagi kalau sampai menoleh. Iya, kalau dia berniat mengejar. Kalau tidak? Aku hanya semakin mempermalukan diri.

Kuurungkan niat ke kantin begitu melewati perpus, dan berbelok ke sana. Suasana perpustakaan yang sepi lebih kubutuhkan daripada keramaian kantin. Aku mengisi buku tamu, sebelum mendekati rak sastra dan mengambil satu buku secara acak. Aku tidak benar-benar ingin membaca sebenarnya.

Ponselku bergetar, begitu aku baru membolak-balik buku yang kuambil. Mengira pesan dari Sara atau Anita, aku mengeluarkan benda mungil itu dari saku rok. Memang ada pesan singkat. Namun, bukan dari Sara atau Anita.

From: Saka
Kita perlu ngomong. Please? Di mana kamu?

Aku menghela napas pelan. Apalagi yang harus dibicarakan coba? Apa dia kurang puas melihatku mempermalukan diri di depannya?

Tanpa membalas SMS itu, aku mengembalikan ponsel ke dalam saku. Tentu saja setelah itu ponselku terus bergetar, menandakan ada panggilan masuk. Aku mengabaikan semuanya. Hingga bel istirahat selesai berbunyi, aku kembali ke kelas tanpa berniat mengecek ponsel.

Langkahku terhenti saat melihat Saka berdiri di dekat pintu kelasku. Dia masih menunduk, menghadapi ponsel. Aku baru akan kabur, begitu Anita dan Sara muncul dari belakang dan menyebut namaku cukup keras. Aku melihat Saka menoleh ke arah kami.

"Ke mana kamu? Ditungguin di kantin malah nggak muncul," ujar Anita.

"Ada pemandangan lucu lho tadi," Sara menambahkan. "Tau Dika, kan? Anak kelas sebelas yang imut banget itu? Dia ditembak Silvi!" Dia berkata dengan nada seolah itu berita penting yang wajib diketahui masyarakat sedunia. "Gila ya? Nekat juga si Silvi. Padahal dia cewek, kakak kelas pula."

"Gitu kalau udah cinta. Mana peduli batasan," komentar Anita.

Aku tidak terlalu mendengarkan mereka berdua begitu melihat Saka meninggalkan posisi bersandarnya, dan mulai berjalan ke arah kami.

Ocehan Anita dan Sara sontak berhenti ketika Saka sudah berdiri di depan kami. Tepat di depanku, sebenarnya. Tanpa aba-aba, kedua sahabatku itu menjauh, lebih dulu masuk kelas. Aku bergeser ke kiri, Saka ikut bergeser. Ketika aku ke kanan, Saka juga ke arah sana. Menghela napas, aku menatapnya.

"Apa lagi? Kan, udah aku jelasin tadi."

"Ya. Kamu yang belum ngasih kesempatan aku buat jelasin."

"Udah bel masuk. Nggak usah kayak anak kecil deh, bolos gara-gara masalah nggak jelas gini." Aku mendorong tubuhnya supaya memberiku jalan.

Saka membiarkanku melewatinya dan masuk ke kelas. Aku tahu, dia tidak melepaskanku sepenuhnya.

Benar saja. Saat bel pulang berbunyi, sebelum guru mempersilakan kami keluar, Saka sudah berderap masuk ke kelasku. Dia membungkuk sopan pada guru, sebelum menyambar tanganku dan menariknya keluar. Masih dalam posisi kaget, aku mengikutinya.

"Aku suka sama kamu," ucapnya, begitu kami berhenti di halaman parkir yang belum terlalu ramai. "Paham?"

"Nggak," jawabku, jujur. "Baru beberapa hari lalu kamu bilang kita nggak ada apa-apa. Kalo tujuan kamu bilang suka cuma karena nggak enak sama aku, nggak perlu. Aku nggak apa-apa."

"Siapa yang bilang kita nggak ada apa-apa?" Saka mulai mengomel. "Siapa yang bilang suka cuma karena nggak enak? Kamu salah paham dan ngambil kesimpulan seenaknya."

"Kepala kamu abis kejedot tembok apa gimana sih?" aku bertanya, sebal. "Pas aku tanya kita gimana, kamu sendiri yang jawab, 'kita kenapa', seolah emang nggak ada apa-apa. Yah, kita emang nggak ada apa-apa. Ya udah!"

"Aku beneran bingung waktu itu!" Saka berteriak, ikut kesal. "Kamu tiba-tiba nanya kita gimana, ya aku balik tanya kita kenapa. Terus tiba-tiba kamu mutusin teleponnya gitu aja, nggak bisa dihubungi lagi, ngejauh kayak aku sumber penyakit menjijikan ...."

Aku melongo, tidak tahu harus menjawab apa.

"Aku nggak ngerti bahasa cewek! Jangan pake kode-kodean gitu. Kalau emang mau tau perasaanku, ya tanya langsung!"

"Ya mana mungkin aku nanya gamblang gitu! Malu, tauk!"

Saka mendengus keras, membuatku yakin ada asap keluar dari lubang hidungnya. "Aku lupa cewek harus serba pasti," dumelnya. "Aku pikir kamu udah paham tanpa harus ngomong macam-macam. Aku pikir tanpa acara tembak-tembakan kayak anak SD, kita udah ...."

Aku melihat wajahnya memerah.

"Aku suka sama kamu, Fika," ujar Saka, pelan. "Maaf udah bikin kamu bingung."

Aku diam sejenak, menatap mata Saka, mencari kejujuran di sana. Wajah Saka masih kemerahan. Ekspresi kesalnya sedikit berkurang. "Aku juga suka sama kamu," balasku, pelan.

"Aku tau," gumam Saka. "Makanya kamu malu, nggak mau ketemu lagi pas ngira kalau aku nggak ada rasa apa-apa sama kamu. Iya, kan?"

Aku meninju bahunya sebagai balasan. Tepat setelah itu, sorak tepuk tangan bercampur ledekan 'ciyeee' meledak di sekitar kami. Entah sejak kapan, perang adu mulutku dan Saka jadi tontonan di tempat parkir. Wajahku otomatis memerah dan bersiap pergi dari sana.

Saka menahan tanganku. "Mau ke mana lagi sih?" omelnya. Wajahnya juga tampak merah, namun dia hanya mengusir orang-orang itu dengan lagak tidak peduli.

"Ya pulang. Ke mana emangnya?" balasku, dongkol.

"Tunggu di sini. Aku ambil motor dulu. Nggak usah ke mana-mana!"

Aku memutar bola mata. "Iyaa ...."

Motornya terparkir tidak jauh dari tempat kami adu mulut tadi. Begitu aku sudah berada di boncengannya, dia menjalankan motornya perlahan.

"Besok-besok, kalo ada apa-apa, tanya langsung. Nggak usah kasih-kasih kode." Aku mendengar Saka bersuara cukup keras, mengalahkan bunyi mesin kendaraan di sekitar kami.

Aku hanya tersenyum kecil, seraya melingkarkan tanganku di pinggangnya, dan membenamkan kepala di punggungnya.





to be continued…