Sunday, December 30, 2012

It’s Just a Feeling (#4)


Ada yang salah dengan diriku. Belakangan ini, aku selalu uring-uringan. Sara dan Anita sudah berkali-kali bertanya ada apa, tapi aku tidak bisa menjelaskannya. Jadi kujawab saja kalau aku makin stres karena kelas itu. Aku selalu meyakinkan diri ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan Saka dan Tasya yang terlihat semakin mesra di mataku. Sama sekali tidak ada. Mungkin, aku hanya mengalami pra-menstruasi sindrom atau semacamnya yang menyebabkan semakin banyak hormon bergejolak di tubuhku dan membuatku selalu ingin marah. PMS yang berlangsung sepanjang minggu.

Saka tampaknya juga mulai menyadari ada yang tidak beres denganku. Sesekali aku menangkapnya tengah memandangku dengan alis bertaut. Dahinya berkerut dengan sorot penasaran. Aku hanya mendelik galak padanya tanpa mengucapkan apa-apa. Pernah dia mencoba bertanya dan aku membentaknya. Setelah itu, dia tidak mencoba lagi. Mungkin, bentakkanku terlalu kasar, tapi aku tidak peduli. Sudah seharusnya dia menjauh. Toh, dia juga sudah punya pacar yang pintar dan cantik seperti Tasya.

Karena hubungan kami merenggang, suasana di kelas itu menjadi jauh lebih buruk buatku. Aku benar-benar ingin segera pergi dari sana, kembali ke kelasku yang normal. Meninggalkan segala tekanan menyebalkan ini. Dan menjauh dari Saka.

“Fika?”

Aku mengangkat wajah dari novel yang kubaca. Saka tengah menatapku dari bangkunya dengan tatapan ragu. “Apa?” balasku dengan nada datar.

“Aku bikin salah ya?”

Aku sedikit terkejut dengan pertanyaannya. Mengapa dia berpikir seperti itu? “Nggak,” jawabku. “Kenapa emangnya?”

Saka mengangkat bahu, seraya menyandarkan punggungnya. Jemarinya memutar-mutar pulpen sehingga menimbulkan bunyi ketukan dengan meja.  “Kamu aneh,” gumamnya. “Nggak cuma pendiem, tapi jadi dingin.”

“Aku baik-baik aja,” jawabku tak acuh, kembali pada novelku. Aku merasakan Saka masih menatapku dengan sorot penasaran dan benar-benar berharap lelaki itu tidak mendengar degup jantungku yang berantakan. Aku tidak tau apa yang terjadi. Mengapa tiba-tiba aku merasa gugup berada di sebelah lelaki ini?

“Beneran?”

Belum sempat aku menjawab, terdengar panggilan namanya dari depan kelas. Kami menoleh, dan melihat Tasya melambai pada Saka.

“Ikut ke kantin nggak?” tanya gadis itu.

“Oh,” Saka bangkit dari bangkunya. “Iya,” jawabnya, lalu berpaling padaku. “Kamu nggak pernah ikut kita makan di kantin,” ujarnya.

Aku tau itu bukan pertanyaan. Dia juga tidak mengajakku. Jadi aku hanya berkata, “Terus?”

Sekali lagi, Saka memandangku dengan heran, lalu berjalan menyusul Tasya. Kekasihnya. Aku berusaha memusatkan pikiran pada novel yang tengah kubaca. Tetapi, kali ini kata-kata di sana hanya berlalu, tanpa ada yang masuk ke otakku. Akhirnya aku menutup novel itu sambil mendesah.

Ada apa ini? Mengapa perasaanku jadi sangat kacau? Ada semacam perasaan kehilangan. Aku baru menyadari kalau selama di kelas ini, aku sangat bergantung pada Saka. Selain tingkah santainya yang kadang membuatku makin tertekan, lelaki itu tidak pernah keberatan membantuku memahami pelajaran yang sulit kumengerti. Dia mengajariku dengan sangat sabar. Memaklumi otakku yang kadang sedikit susah menangkap penjelasan atau mengingat sesuatu. Tanpa terasa, aku merasa dekat dengannya. Dan memang dia yang paling dekat denganku di kelas ini.

Sampai aku mengetahui kalau ternyata dia berpacaran dengan Tasya. Seharusnya hal itu sama sekali tidak menggangguku. Untuk apa aku merasa terganggu? Saka memang sangat baik padaku, juga pada orang lain, dan tidak ada apa-apa di antara kami. Awalnya, kupikir aku hanya kecewa karena mendengar berita itu dari orang lain, bukan dari Saka langsung. Tapi, sekarang alasan itu terasa tidak masuk akal. Saka tidak memiliki kewajiban untuk memberitahuku. Mengapa aku harus seperti ini?

Menghela napas, aku membenamkan wajah di meja, bertumpu pada lenganku yang terlipat. Beberapa saat kemudian, terdengar suara tawa-tawa dan langkah-langkah kaki memasuki kelas. Aku tidak mengangkat kepala. Saat menyadari ada yang duduk di sebelahku pun aku tetap bergeming. Aku tau itu Saka. Entah sejak kapan, aku sudah mengenali aroma tubuhnya. Semakin membuatku kacau balau.

Tiba-tiba, aku merasa sesuatu yang dingin menyentuh lenganku. Aku mengangkat kepala dan melihat Saka menyodorkan sekaleng softdrink padaku.

“Aku nggak tau apa yang salah, sebenernya juga aku nggak ngerasa bikin salah apa-apa. Tapi, kayaknya kamu emang lagi marah atau kesel sama aku. Aku pengen minta maaf, tapi nggak tau minta maaf buat apa. Jadi…” dia meletakkan kaleng itu di mejaku. “Anggep aja itu sogokkan supaya kamu nggak marah lagi.”

Aku menatap kaleng minuman di depanku dan sosok Saka bergantian. Mataku tiba-tiba terasa panas. Oh, Tuhan. Ini benar-benar konyol. Aku berdiri, mengembalikan minuman itu pada Saka. “Kamu mau tau apa yang salah?” tanyaku dengan nada sedatar yang kumampu, sementara suaraku sedikit bergetar. “Kamu selalu baik, dan aku nggak bisa nerima kebaikan itu. Jadi, berhenti bersikap baik sama aku.” Lalu aku berjalan meninggalkan kelas, persis adegan sinetron yang sering kutonton.

Ini terasa semakin menyebalkan. Aku membiarkan kakiku melangkah ke mana saja, menjauh dari kelas sialan itu dan lelaki sialan di dalamnya. Aku menoleh ke belakang, entah untuk apa. Mungkin berharap Saka mengejarku dan meminta penjelasan atas sikap konyolku. Bukankah di sinetron biasanya seperti itu?

Tunggu dulu…. Sejak kapan aku ingin hidupku seperti di sinetron? Dan demi Tuhan! Mengapa aku harus sampai seperti ini hanya gara-gara seorang lelaki? Selama ini, aku selalu bangga tidak pernah membiarkan otakku rusak hanya karena memikirkan seorang laki-laki. Aku mengumpat dalam hati, seraya berbalik kembali ke kelas. Aku akan menjalani sisa waktu sebulan ini sebiasa mungkin. Mengontrol nilaiku hingga bisa kembali ke kelas Central. Dan menjauhi Saka.

Ya. Tinggal satu bulan. Setelah itu, aku kembali ke kehidupan normalku lagi.



-to be continued…

 #3 - #5

What the …. (#3)


Aku berhasil melalui bulan pertama di kelas ‘neraka’ itu dengan damai.

Ralat.

Tidak sepenuhnya damai. Aku tertekan! Nyaris gila! Mereka semua seperti bukan manusia. Entah apa yang mereka makan hingga bisa mempunyai otak seperti itu. Dan aku benar-benar tidak tau apa dosa yang telah kuperbuat hingga harus menerima siksaan batin seperti ini. Aku sudah terbiasa mengikuti pelajaran dengan santai, tanpa harus menerima tekanan apa pun.

Sara dan Anita tampak kasihan padaku setelah aku menumpahkan semua keluhan pada mereka. Sara mengusulkan agar aku pindah kelas saja, yang langsung di bantah oleh Anita dengan mengatakan aku tidak boleh menyerah.

“Tinggal dua bulan,” kata Anita, menyemangati.

“Serasa dua tahun,” sungutku.

“Emang anak-anaknya parah banget ya?”

Aku menyeruput pop ice coklatku. “Yah, nggak sih. Mereka baik. Awalnya emang agak kaku, tapi sekarang udah lebih enak. Tapi, yah mereka itu terlalu serius. Tiap belajar, bawaannya tegang terus. Aku jadi stres sendiri. Coba kalo ada yang rileks, satu orang aja, mungkin aku juga bisa sedikit rileks.” Lalu aku terdiam, teringat cowok yang duduk di sebelahku. “Ada sih yang sebenernya yang bisa santai di sana. Tapi,” aku menghela napas. “Sikap santainya malah bikin aku makin stres.”

“Siapa?” tanya Sara dan Anita bersamaan.

“Saka,” jawabku pelan. Lalu aku berbisik. “Gila ya, tuh anak di kelas kelewat santai.”

“Nggak merhatiin guru?” tanya Anita.

“Yah, merhatiin sih. Tapi, gak serius kayak anak-anak lain. Kalo bosen dengerin guru ngomong, dia tiduran, coret-coret meja. Trus, tiap ditanya, pasti bisa jawab. Nyaris sempurna terus pula jawaban dia. Bikin makin tertekan.”

“Bagus dong. Kamu minta satu yang santai, tuh dia santai,” kata Anita.

“Dia santai gitu aja bisa jadi juara umum, gimana kalo dia beneran belajar?”

“Dia belajar kok,” ujar Sara. “Gitu cara dia belajar. Santai, tapi masuk. Kalo dia terlalu serius, jadinya tertekan, malah berantakan.”

Aku dan Anita kompak menatapnya.

“Kok tau?” tanyaku. “Emang kamu kenal sama dia?”

“Dia pacarnya Tasya. Aku, kan, sering ikut mereka jalan kalo lagi iseng. Kencan mereka itu ya nyambi belajar. Kata Tasya, Saka lebih suka belajar di luar ruangan. Pikirannya bisa lebih seger. Nggak sumpek kayak di kelas. Di kelas, dia cuma dengerin aja omongan guru, kalo belajar benerannya ya waktu bareng Tasya itu,” jelas Sara panjang.

“Ih, nyeremin ah. Di mana-mana kencan itu ya buat pacaran, cinta-cintaan gitu. Masa nyambi belajar sih? Nggak normal tuh mereka,” cibir Anita.

“Saka pacaran sama Tasya?” tanyaku, seakan tidak mendengar penjelasan Sara yang lain. “Kok di kelas biasa aja?”

“Kamu maunya gimana?” tanya Sara. “Peluk-pelukan di kelas?”

“Yah, nggak gitu juga,” ujarku. “Tapi, biasanya kan kalo orang pacaran itu keliatan. Mereka kok kayak temenan biasa aja. Saka malah lebih sering jahilin Tasya daripada romantis-romantisan.”

“Iya, emang dua-duanya kurang waras. Tapi, mungkin karena itu mereka awet. Udah jalan tiga tahun lho. Keren ya?” Sara menyeruput minumannya.

Aku ikut menyeruput minumanku tanpa suara. Sibuk bermain dengan pikiranku sendiri. Jadi, Saka sudah mempunyai pacar. Informasi itu cukup mengejutkanku. Di mataku, Saka sosok yang menyenangkan sebagai seorang teman. Aku tidak pernah membayangkannya memiliki pacar. Bukannya hubungan kami dekat atau apa. Hanya saja, yah… begitulah. Aku tidak bisa menjelaskannya.

Selesai memuaskan perut masing-masing, kami kembali ke kelas. Aku menangkap pemandangan kelas yang sudah akrab. Sekelompok murid yang duduk di barisan tengah berkumpul sambil berdiskusi. Aku tidak pernah ikut dalam diskusi mereka. Bukan hanya karena aku merasa bukan bagian kelompok, tapi karena kepiawaianku yang payah dalam bergaul. Mereka beberapa kali mengajakku bergabung, terutama Saka yang sepertinya memahami penderitaanku di kelas itu. Dia seperti berusaha membuatku betah di sana. Benar-benar lelaki yang baik.

Tanpa sadar, aku bertumpu dagu sambil menatap Saka yang tengah duduk di sebelah Tasya sambil menghadap sebuah buku yang terbuka. Mungkin karena informasi yang baru kudapat tadi, kali ini aku bisa melihat perbedaannya. Saka memang dekat dengan semua penghuni kelas. Tetapi, Tasya mendapat perlakuan nerbeda. Caranya menggoda Tasya, tidak sama dengan caranya menggoda penghuni lain. Cara mereka saling melempar ledekan juga berbeda. Memang tidak terlihat mesra atau menggelikan seperti pasangan umumnya. Hanya saja, jika orang sudah mengetahui hubungan mereka, pasti bisa merasakannya. Bagaimana mungkin aku tidak menyadarinya sebelum ini?

Saat bel masuk berbunyi, Saka kembali ke bangkunya, di sebelahku. Dia melempar senyum kecil padaku, seperti biasa. Namun, kali ini aku tidak berminat membalas senyumnya, entah mengapa. Jadi, aku hanya mengangguk kecil, lalu pura-pura sibuk mengeluarkan buku. Saka tampaknya tidak merasakan keanehanku, karena dia juga sudah sibuk dengan bukunya. Aku mendesah, tiba-tiba merasa kesal pada Saka dan pada diriku sendiri.



-to be continued…


#2 - #4

Friday, December 7, 2012

We Meet Again... (#2)


Salah satu sistem di sekolah yang membuatku ketar-ketir adalah peraturan me-rolling siswa secara teratur. Setiap pertengahan dan akhir semester, akan diadakan ujian bagi semua siswa. Para siswa yang prestasinya meningkat, pindah ke kelas atas, sementara yang turun, siap-siap mendapat kelas bawah. Masing-masing tingkatan, ada 3 bagian. Kelas Plus, Kelas Central, dan Kelas Minus. Anak-anak kelas X memiliki masing-masing dua kelas di tiap bagian. Sementara kelas XI dan XII yang sudah penjurusan IPA dan IPS dibagi masing-masing satu kelas. Bisa dibayangkan betapa pusingnya harus berpindah kelas tiga bulan sekali?

Untunglah aku tidak perlu mengalaminya. Sebagai siswa yang memiliki otak rata-rata, aku nyaris tidak pernah pindah kelas. Aku suka kelasku sekarang. Kelas Central. Tidak dipenuhi persaingan ketat tentang nilai, namun tidak juga dipenuhi berandalan yang suka mengacau atau tidak mengerjakan pe-er. Aku tidak berani membayangkan bagaimana nasibku kalau harus masuk ke Kelas Plus yang dipenuhi siswa-siswa jenius. Tidak butuh waktu lama sampai aku didepak keluar lagi. Dan tentu saja aku juga tidak mau masuk ke Kelas Minus yang dipenuhi dengan orang-orang yang… yah, begitulah. Singkatnya, para berandal sekolah. Aku benar-benar sudah senang di kelasku sekarang dan sama sekali tidak ingin pindah.

Sayang, doaku tidak terjawab. Semester selanjutnya, aku dilempar masuk ke Kelas Plus. Aku tidak tau apa yang terjadi. Yah, memang di ujian pertengahan semester kemarin aku sedikit lebih serius, tidak masa bodoh seperti biasa. Tapi, tentunya tidak akan naik sedrastis itu, kan, sampai bisa membuatku masuk ke kelas kaum jenius? Aku tidak mau memercayai tulisan di papan pengumuman. Tapi, namaku benar-benar masuk ke daftar ‘Siswa Kelas XII IPS Plus’. Bagaimana mungkin aku, yang memiliki otak sekadarnya, bisa mendapat peringkat dua puluh lima teratas di ujian tengah semester? Namaku berada di urutan dua puluh besar pula. Aku melirik Sara dan Anita, dua teman dekatku yang sama-sama di Kelas Central. Mereka berdua tampak lega. Aku kembali ke papan pengumuman. Tentu saja. Mereka tetap berada di kelas yang sama. Sial. Benar-benar sialan.

“Yah, Fika pisah deh dari kita,” gumam Anita saat kami berjalan menuju kantin.

Aku diam. Masih terlalu syok atas nasib sial beruntungku.

“Siap-siap aja kamu dibantai para master berotak besar itu,” tambah Sara sambil terkikik. “Otakmu, kan, ukurannya cuma hampir medium,” tambahnya. Sama sekali tidak membantu.

Aku menatapnya sebal. “Bukannya prihatin, malah ngeledek,” gerutuku.

Kami duduk di sebuah meja panjang yang masih ada tempat kosong, bergabung dengan siswa lain. Anita dan Sara memesan mie ayam, sementara aku hanya sanggup menikmati teh botol.

“Nggak usah syok gitu juga kali, Fik. Ambil hikmahnya. Kamu jadi kumpul sama orang-orang pinter. Kali aja ntar ketularan pinter,” Anita mencoba menghibur.

Aku mendengus. “Yah, kalo mereka bukan kumpulan jenius sombong. Gimana kalo aku dikacangin? Mana nggak ada yang aku kenal pula.”

“Ada temenku kok di sana. Namanya Tasya. Yang sering ngobrol sama aku itu lho. Anaknya baik kok. Kamu duduk sama dia aja. Ntar aku bilangin deh,” kata Sara.

Anita tiba-tiba menoyor kepala Sara. “Bangku mereka, kan, bentuk huruf U. Nggak pake temen sebangku, bego,” dia mengingatkan.

Sara balas menoyor kepala Anita dengan kesal. “Ya nggak usah pake noyor juga,” dumelnya.

Aku tersenyum geli melihat mereka. Lalu, senyumku berubah muram. “Nggak bakal bisa ngobrol di kelas lagi deh.”

“Kasian….” Ucap Anita dan Sara bersamaan dengan nada sungguh-sungguh prihatin.

Aku mengibaskan tangan. “Ya udahlah. Toh cuma tiga bulan ini. Abis ujian semester ntar aku bakal balik ke kelas kita lagi.”

“Asal jangan kebablasan aja, Fik. Ntar saking merosotnya, kamu malah masuk Kelas Minus,” pesan Sara.
“Jangan sampe deh,” cetusku langsung.

Begitu selesai makan, aku dan kedua temanku berpisah menuju kelas baru masing-masing. Hari ini hanya pembagian kelas, belum mulai belajar. Dengan malas, aku menyeret kakiku menuju deretan Kelas Plus yang berada di lantai 2. Mulai dari Kelas X Plus 1, Kelas X Plus 2, Kelas XI IPA Plus, Kelas XI IPS Plus, Kelas XII IPA Plus, dan, akhirnya aku membaca tulisan Kelas XII IPS Plus di bagian atas pintu.

Kegugupanku mulai terasa ketika aku melangkah masuk. Entah hanya perasaanku, atau semua mata tiba-tiba memandangku? Tengkukku merinding. Cepat-cepat aku mengambil kursi belakang paling sudut. 

Kekurangan formasi bentuk U adalah, di mana pun kamu duduk, tidak akan menyenangkan. Di sudut, kamu tetap akan dikelilingi orang-orang. Sementara di bagian ujung, posisinya tepat di depan. Menghela napas, aku mencoba mengabaikan suasana sunyi mencekam itu dan mengeluarkan sebuah novel.

Aku menikmati cerita novelku, setidaknya sampai seseorang melemparkan tas ke bangku sebelahku. Aku mengangkat kepala dan terpaku beberapa saat. Dia, si juara umum, duduk di sebelahku dan melempar senyum ramah.

“Hai, penghuni baru ya?” tanyanya.

Aku mengangguk. Tentu saja itu pertanyaan yang sangat wajar. Aku berani bertaruh, sejak awal masuk dia sudah berada di Kelas Plus. Wajar jika dia merasa sebagai ‘penghuni lama’, dan menganggapku penghuni baru.

“Saka,” dia mengulurkan tangan.

“Fika,” balasku.

“Dari kelas mana? Central?”

Aku kembali mengangguk.

Saka menatapku beberapa saat, mungkin menyadari kecanggunganku, lalu menepuk bahuku pelan dengan sikap bersahabat. “Tenang, Kita semua manusia, kok. Nggak ada yang akan gigit kamu.”

Aku tersenyum kikuk. “Yah, ini pertama kalinya aku masuk di kelas di mana nggak ada orang yang aku kenal deket.”

“Ntar juga biasa,” Saka berdiri. “Ehm, ngomong-ngomong, bangku yang kamu duduki itu biasanya tempatku. Tapi, nggak apa-apa deh aku kasih ke kamu. Selamat menikmati kelas baru,” ucapnya. Kemudian dia bergabung dengan orang-orang yang berkumpul di bangku tengah.

Aku kembali menunduk untuk melanjutkan membaca novel, ketika melihat tulisan yang ada di meja. Inisial ‘S’. Selain itu, ada banyak tulisan-tulisan yang berisi keluhan dan selalu diakhiri dengan tulisan “by: S”. Aku melirik Saka sejenak, mengangkat bahu, lalu kembali membaca.


-to be continue…

#1 - #3

Wednesday, December 5, 2012

Cinta atau Butuh ?

barusan nonton pelem drama, karya negeri kita. udah beberapa taun terakhir, aku gak terlalu exited lagi sama cerita-cerita drama cinta yang menye-menye gitu. alesan pertama, bikin ngiri. alesan kedua, karena aku cengeng dan males nangis-nangisan. alesan ketiga, buat bangun 'tembok'. banyak lah alesan lain. tapi, ya udahlah. bukan itu yang mau dibahas.

judul pelemnya 'Test Pack'. pelemnya diadaptasi dari novel best seller karya Ninit Yunita. aku belum pernah baca sih. sama kayak alesan di atas, aku juga ngindarin novel drama penuh cinta belakangan ini. aku gak ngebahas tentang isi pelemnya secara keseluruhan sih. cuma pengen ngambil inti sarinya. buat yang belum nonton, nonton deh. ceritanya bagus.

jadi gini, di bagian belakang-belakang pelemnya ada percakapan gini :

Rahmat (R) : "Maafin saya."
Shinta (S) : "Aku butuh kamu, Mas."
R : "Bukan kamu. Tata."
S : "Dia gak bisa ngertiin Mas. Aku yang bisa."
R : "Aku juga mau bisa sayang sama kamu. Saya tau cuma kamu yang bisa ngertiin saya. (diem bentar, trus ngeluarin cincin Tata dari saku bajunya). Tapi ini masih terus saya bawa, ke mana pun saya pergi. Sampai kapan pun, saya gak akan pernah bisa punya hubungan sama siapa-siapa, termasuk sama kamu, karena saya sangat sayang sama Tata."
S : "Meski dia ninggalin Mas?"
R : "Iya."
S : "Kalo Mas gak sama aku, Mas sama siapa? Aku sama siapa, Mas?"
R : (peluk Sinta, cium jidatnya, trus pergi)


buat yang bingung sama percakapan itu, makanya nonton dulu gih. buat yang udah nonton, aku mau sharing pikiran dikit. campur kesotoyan juga sih biar asik.

selama ini, aku sering banget denger kalimat yang intinya bilang kalo kita gak harus dapetin orang yang kita mau, tapi kita bisa dapetin orang yang kita butuh. kalo pas liat pelem itu, aku pikir Rahmat butuh Sinta yang ngerti kondisi dia dan nerima dia karena mereka ada di posisi yang sama. tapi, Rahmat tetep milih Tata, karena dia sayang sama Tata, padahal Tata udah ninggalin dia. Atau karena sebenernya Rahmat lebih butuh Tata yang ada di samping dia, bukan Sinta.

aku jadi mikir, istilah 'orang yang kita butuh' kalo udah menyangkut urusan hati itu fleksibel banget ya. bukan cuma butuh dalam hal dimengerti, kayak yang Sinta pikir dibutuhin Rahmat dari dia, tapi juga hal lain. apa hal lain itu? yup. butuh cinta.

ini mungkin bisa jadi alasan, kenapa orang yang keliatan cocok, saling ngerti satu sama lain, saling perhatian, dan saling blabla sebagainya, tapi gak bisa nyatu juga. mungkin, mereka udah saling memenuhi kebutuhan lain-lain itu, tapi ternyata kebutuhan dalam hal cinta belum terpenuhi.

balik lagi ke pelemnya. Rahmat akhirnya milih ngejer Tata, berusaha nyelamatin pernikahan mereka. padahal dia tau dia gak bisa ngasih apa yang Tata pengen. bentuk keluarga yang lengkap. kalo dipikir pake logika, Tata gak akan nerima dia semudah Sinta. tapi, mereka tetep bisa nyatu pada akhirnya. kenapa? karena mereka saling cinta. sementara Sinta ngejer Rahmat cuma karena Rahmat bisa ngerti kondisi dia.

dari sini, aku ngambil kesimpulan sotoy. gimana pun sebuah pasangan ngerasa saling melengkapi kebutuhan satu sama lain, mereka gak akan penah bener-bener lengkap kalo gak ada cinta yang nyata. cuma saling butuh dimengerti aja gak cukup. ngerti beda jauh sama cinta. saat kamu merasa ngerti seseorang, belum tentu kamu cinta sama dia. tapi, kalo kamu cinta sama seseorang, kamu pasti selalu berusaha buat ngerti dia. dan menurut aku, orang yang paling kamu butuhin itu adalah orang yang kamu cintai.


yah, demikianlah ulasan singkat dan sotoy saya. sebelum penutupan, ada lagi nih kutipan bagus dari pelem ini:

- "apa adanya kamu, sudah melengkapi saya." - Rahmat

- "gak ada alasan untuk kita rujuk. karena sebenernya gak ada alasan juga untuk kita pisah." - Tata

The First Time I Saw You (#1)


Aku menduduki meja kayu di bagian depan kelas, di sebelah jendela. Jam istirahat baru dimulai beberapa menit yang lalu. Suasana kelas sudah nyaris kosong. Namun, aku enggan ikut keluar, apalagi ke kantin yang pasti penuh sesak oleh orang-orang yang kelaparan. Lagi pula, ada jam istirahat kedua yang bisa kugunakan untuk makan siang. Pandanganku terpaku ke luar jendela. Sara, salah satu teman sekelasku, tengah duduk di koridor kelas sambil membaca buku Sejarah. Seorang siswi dari kelas lain yang sering kulihat bersama Sara duduk di sebelahnya. Aku tau siswi itu, tetapi tidak tau siapa namanya. Yah, tidak perlu kusebut kalau menghapal nama orang bukanlah salah satu kelebihanku. Kedua orang itu sepertinya terlibat percakapan seru, entah membicarakan apa. Sara masih memegang buku Sejarahnya. Menurutku, apa pun yang mereka bicarakan tidak akan seseru itu kalau menyangkut pelajaran Sejarah. Bagiku, itu pelajaran paling membosankan selain Sosiologi.

Seorang anak laki-laki bergabung bersama mereka. Aku juga mengenal siswa itu. Dia juga berasal dari kelas lain, sepertinya kelas yang sama dengan siswi yang sedang berbincang dengan Sara. Dia cukup terkenal, sebenarnya. Yah, kalian tidak mungkin tidak mengenal sang juara umum, kan? Nah. Itulah dia. Tapi, sejujurnya, aku juga tidak tau namanya. Aku hanya tau wajah dan kenyataan kalau dia juara umum semester lalu.

Secara fisik, anak lelaki itu biasa saja. Bukan kategori ‘prettiest boy in this school’ atau tipe cowok boyband idola. Tapi, dia pintar. Itu yang penting. Menurutku. Cowok ganteng tapi tidak berotak sudah lama keluar dari daftarku. Bukan berarti aku mengincar si juara umum itu! Tidak sama sekali! Hanya saja, kalau harus memilih cowok seperti dia atau tipe boyband ganteng berotak kosong, aku pasti memilih dia.
Si juara umum, siapa pun lah namanya, duduk di sebelah Sara. Namun, sepertinya dia tidak terlalu tertarik dengan pembicaraan kedua gadis itu, karena tiba-tiba saja dia kembali berdiri. Aku setengah mengira dia akan pergi. Tetapi, ternyata dia malah menunduk untuk mengambil sebelah sepatu teman Sara yang dilepas, lalu membawanya kabur. Teman Sara itu menjerit, sementara si lelaki juara umum itu tertawa keras dan melempar sebelah sepatu itu ke atap.

Aku ternganga. Dia benar-benar melempar sepatu itu ke atap. Apa itu kelakuan wajar seorang juara umum? Jujur saja, selama ini aku mengira dia tipe kutu buku yang serius dan introvert. Siapa yang mengira kalau dia memiliki sisi gila?

Kulihat teman Sara melepas sepatunya yang lain dan melemparnya ke arah si juara umum dengan kesal. Si juara umum menangkap sepatu itu, menjulurkan lidahnya, lalu kembali melemparnya ke atap. Lengkap sudah. Kedua sepatu itu sekarang bertengger di atap.

Aku menahan tawa, setengah kasihan pada teman Sara yang sekarang sibuk memukul si juara umum.

“SAKA SINTING!!!” jerit teman Sara dengan marah.

Saka hanya tertawa, sama sekali tidak merasa bersalah melihat temannya hanya memakai kaus kaki tanpa sepatu. Setelah melihat wajah temannya itu nyaris menangis, dia baru mengambil sepatu itu dari atap. Masih dengan wajah geli, Saka mengembalikan sepatu cewek itu. Tepat setelah itu, bel masuk berbunyi.

Aku melompat turun dari meja, siap kembali ke bangkuku sendiri.


-to be continue…


#2

cuplikan Wonderfully Stupid...

Lagi iseng nih, gak ada kerjaan. Pengen promo lagi ahh...

Buat yang penasaran gimana isi novel Wonderfully Stupid, nih aku bikin cuplikan cerita yang paling sering aku baca (as reader and writer). cekidot mamasnya mbaknya. monggo pinarak. yuk mari ~


Bab 1

..........

Lanna mengangkat kepala dan melihat seorang cowok berwajah manis dengan sedikit sorot jahil di matanya. Rambutnya pendek kaku, berwarna oranye terang. Arsen, anak kelas XI IPA 3. Sejak pertama bertemu, sekitar satu tahun lalu, dia selalu menggoda Lanna dan memproklamirkan diri bahwa dia amat menyukai kakak kelasnya itu. Arsen sudah melakukan ribuan cara untuk menarik perhatian gadis itu agar menerima cintanya. Tetapi, Lanna selalu menolaknya.
“Kali ini oranye,” kata Lola geli. “Temuin gih,” sambungnya.
“Bikin sakit mata,” kata Lanna, kembali pada handycam-nya. Ega cs sudah meninggalkan koridor. Lanna menghentikan rekamannya, lalu menyimpan handycam-nya dengan hati-hati ke dalam tas. “Males banget ngeladenin dia.” Dengan sigap dia mengeluarkan sebuah novel roman-fantasi dari dalam tasnya, mengabaikan Arsen.
“Kasian, Na. Liat tuh, mukanya mupeng banget.”
Lanna melirik sekilas hanya untuk melihat Arsen sudah menempelkan dahi di jendela kelasnya. “Norak,” katanya sambil mengernyit.
“Kak Aza!” panggil Arsen dengan suara keras.
Lanna mengabaikannya. Dia lebih tertarik melanjutkan membaca cerita tentang seorang ksatria Yunani Kuno yang dikutuk daripada meladeni orang yang dianggapnya sinting itu.
“Kak Aza!” Arsen berteriak semangat, menempelkan wajahnya di kaca. Beberapa teman sekelas Lanna mulai terkikik melihatnya.
Lola menahan agar tawanya tidak meledak. “Feeling gue bilang, kalo lo nggak mau ke sana, dia bakal bertingkah lebih konyol lagi.”
Lanna melempar pandang penuh ancaman pada Arsen. Dia tidak meragukan ucapan Lola. Arsen memang sinting. “Nggak bisa ya gue sehari aja bebas dari gangguan dia?”
Arsen mulai menghembuskan napas di kaca jendela, lalu menggambar bentuk hati dengan kata “AZA” di tengahnya.
Lola mulai tertawa. “Apa gue bilang. Temuin gih,” kata Lola.
Lanna mengerang. “Oh, GodSomeone must shoot me and take me away from here!” geramnya. “Ormay I kill him?”
Lola tertawa keras, membuat Lanna makin kesal.
“Kak Aza! Kak Aza! Sini, dong!” panggil Arsen lagi, lebih keras dan bersemangat. “Apa aku aja yang ke sana?” tanyanya dengan wajah tanpa dosa.
“Ingetin gue buat ngasih racun arsenik ke mulutnya,” kata Lanna sebal seraya bangkit dari kursinya untuk menghampiri Arsen. “Apa?” semprotnya.
Arsen tersenyum manis, memamerkan lesung pipinya. “Jangan marah-marah terus dong, Kak. Aku cuma mau ngajak pulang bareng. Kali ini mau, kan?” rayu Arsen.
“Pertama, nama panggilan gue LANNA. Bukan AZA. Udah berapa kali gue bilang?” serang Lanna galak.
“Nama lengkap Kakak, Alanza Quianna, kan?”
“Ya. Dan lo nggak punya hak apa pun buat ngasih-ngasih gue panggilan baru,” kata Lanna dongkol. “Kedua, gue nggak mau, dan nggak akan pernah mau, pulang sama lo. Emang nggak ada ya cewek seangkatan lo yang bisa lo gangguin sampe lo gangguin gue terus?”
“Yah … namanya juga cinta. Mana bisa ditolak kalo udah dateng.”
“Cinta?” Lanna mendengus. “Udah ribuan kali gue bilang sama lo, gue nggak tertarik. Lo lebih muda dari gue. Kapan sih lo ngerti?”
“Beda umur kita nggak sampe satu tahun. Kita cuma beda lima bulan.”
“Beda satu hari pun, kalo lo lebih muda dari gue dan berstatus sebagai adik kelas gue, gue nggak tertarik.”
Tepat saat itu, bel masuk berdering.
Tanpa merasa tersinggung sedikit pun pada kata-kata kasar Lanna, Arsen memasukkan kedua tangan di saku celananya dengan santai. “Tunggu aja nanti. Aku pasti bisa bikin Kakak nerima cinta aku.”


..........


Bab 5
..........

Arsen mengulum senyum. Dia bukan cowok bodoh. Juga bukan anak sebelas tahun yang masih polos. Arsen tahu kalau Lanna tidak, atau belum, mempunyai perasaan apa pun padanya. Kenyataan itu masih mengusiknya. Dia bertekad akan membuat Lanna membalas cintanya. Namun, untuk saat ini, menikmati waktu luang bersama gadis yang disayanginya sudah cukup untuk Arsen, meskipun gadis itu belum memberikan hati untuknya. “Siapa, Na?” tanyanya.
“Siapa apa?” tanya Lanna, berusaha tidak peduli.
“Hmm ….” Arsen menatap Lanna. “Aku penasaran sama sosok cowok yang udah seenaknya tebar pesona di depan pacarku.”
“Satu yang perlu lo tahu,” ucap Lanna. “Gue suka sama dia justru karena dia nggak pernah tebar pesona.”
Arsen terdiam. Lanna ikut diam sambil terus berjalan. Tiba-tiba Arsen duduk di pasir, lalu menarik tangan Lanna hingga gadis itu terjatuh di sebelahnya.
“Ngapain sih?” omel Lanna.
Arsen tersenyum sambil menggali-gali pasir. Lanna berdiri sambil membersihkan bagian belakang dress-nya. Saat dia akan berjalan, Arsen kembali menahan tangannya. Lanna menatap Arsen kesal, lalu kembali duduk. Dia hanya diam, merekam kegiatan cowok itu saat bermain dengan pasir. Berkali-kali Arsen bolak-balik ke laut untuk mengambil segala macam benda. Tak lama kemudian, Arsen menyelesaikan pekerjaannya. Sebuah istana pasir yang dikelilingi batu-batu kecil, rumput laut, dan kulit kerang. Lanna melihatnya sebagai istana pasir paling aneh yang pernah ada. Arsen membuat istana itu memanjang dan meliuk-liuk tidak jelas.
“Berdiri,” kata Arsen, menarik Lanna.
“Tadi disuruh duduk. Sekarang berdiri. Ntar nyebur laut. Abis itu gue mutilasi lo,” sungut Lanna geram. Dia berdiri.
Arsen tidak menanggapi. Dia menarik Lanna berdiri di depan salah satu sisi istana pasir itu. Lanna mengamatinya. Istana itu bukan liukan aneh yang tidak jelas. Tetapi, susunan huruf yang membentuk namanya, Alanza, yang sangat cantik jika dilihat dari sudut pandang mereka sekarang. Lanna tidak melewatkan hal indah itu dari bidikan rekamannya.
“Cantik,” puji Lanna.
“Nggak secantik kamu,” balas Arsen. “Makasih udah mau masuk ke hidupku,” ucapnya pelan.
“Udah gue bilang nggak usah ngegombal,” semprot Lanna.
Arsen tertawa kecil, lalu berdiri di depan Lanna, menghadapkan punggungnya ke gadis itu.
“Ngapain?” tanya Lanna.
“Bayar utang. Aku harus gendong kamu bolak-balik.”
Lanna tertawa. Dia langsung loncat ke punggung Arsen, merangkulkan lengannya di bahu cowok itu. “Ayo jalan!” perintahnya.
..........


Bab 14 (Surat Arsen)
..........

..........



Wonderfully Stupid - Elsa Puspita - Bentang Belia