Monday, March 25, 2013

My newborn : Lovhobia :)

Please welcome to my second baby "LOVHOBIA" :D

Sebelum mulai panjang lebar cerita tentang novel kedua ini, aku mau kasih lihat penampakannya dulu. Ini dia....

cantik ya? :')


Nah, mari mulai cerita sekarang. Mulai dari mana? Judul? Oke.
Judulnya Lovhobia. Pasti udah ada yang bisa nebak darimana judul itu. Love dan Phobia. Ketakutan cinta. Atau lebih tepatnya takut jatuh cinta.

Kenapa bisa dikasih judul itu? Mari kita lihat sinopsisnya. cekidot!

Aku benar-benar nggak ngerti ada orang yang menolak kenyataan. Fakta kalau memang sedang dilanda cinta. Sebegitu takutnya jatuh cinta? Atau mungkin aku yang ge-er, ya? Tapi, aku yakin kok, Gefan, cowok kaku-dingin-serem itu sebenarnya juga ada rasa sama aku.

Jadi muncul banyak pertanyaan di benakku. Mungkin masa lalunya yang kelam membuatnya selalu menolak hangatnya persahabatan, menghindari perasaan yang muncul setelah itu? Cinta mungkin? Eh, lama-lama aku ngelantur.

Jadi, aku harus gimana, nih? Tetap memperjuangkan dia? Atau menunggunya tanpa kepastian?

Lagi dan lagi, pertanyaan tanpa jawaban ….




Udah bisa nangkep ceritanya? Bisalah ya. Tapi belom tertarik juga? Hmm.... minta dikasih bocoran ya? Oke, aku cerita dikit yaaa....

Tokoh utama di sini seorang cowok bernama Geofan Asklav Pandagri, alias Gefan. Penderita Lovhobia di sini ya si Gefan ini. Kenapa dia bisa takut jatuh cinta? Bukan! Bukan karena dia pernah cinta setengah mati sama seorang cewek trus cewek itu ninggalin dia dan kawin lari sama cowok lain sampe dia patah hati dan nyaris bunuh diri. Bukan sama sekali. Lovhobia-nya lebih karena hasil pengamatan dia ke rumah tangga orangtuanya yang berantakan. Di mata Gefan, ayahnya adalah sosok lelaki kejam, nggak punya perasaan, yang tega menelantarkan mamanya sampe mamanya tertekan dan jiwanya terganggu. Melihat itu, Gefan jadi gak percaya kalau cinta sejati, belahan jiwa, dan bahagia selamanya itu eksis di dunia ini. Itu cuma bagian dari dongeng. Cuma orang bodoh yang mau percaya sama hal semacam itu buat dia. Hal itu juga yang akhirnya bikin Gefan narik diri dari kehidupan sosial dan nyaris gak mau bergaul sama siapa pun. Dia takut, begitu dia buka hati, dia bakal ngalamin nasib sama kayak mamanya. Satu-satunya cewek yang bisa deket sama Gefan cuma Lanna, temennya yang sama-sama kuliah Jurusan Penyutradaraan di Sekolah Tinggi Kesenian.

Ada yang familiar sama nama Lanna? Cieee... udah baca Wonderfully Stupid yaa? :D
Iya, tokoh Lanna di sini sama kayak Lanna di Wonderfully Stupid, Alanza Quianna. Tapi, bukan. Lanna bukan cewek yang bakal jadian sama Gefan. Lanna juga bukan malaikat penyelamat yang bikin Gefan mau percaya sama cinta. Tapi, Lanna adalah perantara yang bikin Gefan ketemu sama pembawa cahayanya *eaaa*

Siapa si Penyelamat itu? Baca dong bukunya!
Di sana terjawab tuntas gimana perjuangan si Penyelamat supaya Gefan gak terus ngebiarin perasaannya mati. Gimana akhirnya si Gefan lepas dari Lovhobia-nya. Beneran lepas, atau gak, semuanya ada di novel keduaku ini.


Pesan yang aku coba sampein di novel ini sih gak ribet kok. Simpel banget malah.
Di dunia ini, bahagia selamanya itu gak ada. Kamu cuma bakal kecewa kalau seumur hidup terus ngarepin happily ever after karena itu cuma ada di lembar terakhir dongeng. Kenapa happily ever after? Karena Pendongeng gak nyeritain gimana kehidupan pangeran dan putri setelah mereka bersatu. Kita gak tau setelah nikah mereka ribut masalah uang belanja, nama anak mereka, atau bahkan mungkin mereka malah pisah. Kita taunya cuma yah udah, mereka bahagia selamanya. Tapi, gak ada buktinya, kan?

Trus, kenapa aku berani bilang kalau bahagia selamanya itu gak ada di dunia? Karena kita sendiri pun gak akan hidup selamanya, kan? Mungkin kita akan ngalamin fase happily ever after di lembar kehidupan lain, tapi gak di dunia yang kita tinggali sekarang.

Terus?
Kita cukup bahagia untuk saat ini. Gak perlu cari bahagia selamanya. Cukup mencintai untuk saat ini. Gak perlu menjanjikan cinta selamanya.

Karena, kamu gak akan tau seperti apa rasanya bahagia kalau gak pernah ngerasain sedih.
Hukum keseimbangan :)



Soooo..... Happy Reading, my beloved reader.
Semoga menyukai ceritanya sebagaimana rasa sukaku waktu menulisnya :)


-Elsa Puspita-


Judul buku : Lovhobia
Penerbit : Bentang Belia
Penulis : Elsa Puspita
ISBN : 9786029397932
Terbit : Maret, 2013
Harga : Rp 34.000
Bahasa : Indonesia

Thursday, March 7, 2013

Destiny, maybe (#7)


Aku melirik Saka yang tengah asik membaca buku di sebelahku. Kami tengah duduk-duduk di depan kelasku, masih kelas terkutuk itu, menunggu jam istirahat habis. Bukan hanya duduk-duduk sebenarnya. Saka tengah membantuku mengerjakan tugas Geografi.

Sejak insiden dia mengajar di kelas waktu itu, hubungan kami membaik. Saat istirahat, kami mengobrol banyak. Saka bertanya ada apa denganku sampai bisa masuk ke kelas itu. Ternyata, yang membuatnya tidak kaget melihatku berada di kelas itu bukan karena dia menganggapku bodoh hingga pantas di sana, tetapi karena dia membaca namaku dalam daftar murid kelas ini saat pembagian kelas kemarin. Tentu saja aku juga tidak mengatakan alasan sebenarnya. Aku hanya berkata sedang banyak masalah pribadi. Dia menganggapnya sebagai masalah keluarga dan memintaku bercerita kalau tidak keberatan, tetapi dia tidak memaksa. Setelah itu, dia memberikan banyak motivasi agar aku bertahan. Dia juga berjanji akan membantuku belajar supaya saat pembagian kelas nanti, aku tidak di kelas sialan itu lagi. Sesudahnya, kami jadi sering menghabiskan waktu bersama.

Saat aku bertanya bagaimana dia bisa mengajar, dia berkata sering disuruh menggantikan guru yang tidak masuk untuk mengajar di kelas minus. Awalnya, dia dijadikan bahan ledekan oleh anak-anak di kelas itu. Tidak ada yang menghiraukannya. Aku penasaran apa yang dilakukannya hingga akhirnya para berandal itu menghargainya.

“Ikutin mau mereka,” jawab Saka. “Mereka lebih suka ngobrol daripada dengerin penjelasan guru. Pas mereka ngobrol, aku ikut. Pas mereka udah nerima aku di sana, baru aku selipin pelajaran-pelajaran di setiap obrolan. Lama-lama, mereka mau merhatiin kalau aku jelasin. Kata mereka, cara aku ngajar lebih asik daripada guru-guru itu.”

“Karena kamu bisa ikut ngobrol kalau mereka bosen, sedangkan guru-guru nggak akan ngebolehin gitu.”

Dia menyeringai. “Bisa jadi,” ucapnya, sebelum kembali ke tugas Geografiku.

Aku ikut tersenyum kecil. Benar-benar menikmati saat-saat seperti ini. Hanya saja, berdekatan dengannya sekarang sedikit memberikan semacam beban bagiku. Bukan tidak nyaman. Tetapi, setiap kali kami menghabiskan waktu, seperti sekarang, aku terus teringat Tasya. Bagaimana perasaan Tasya melihat kami? Apa dia tidak marah atau sekadar cemburu? Meskipun Saka memiliki banyak teman perempuan, tetapi dia nyaris tidak pernah terlihat berduaan saja, selain dengan Tasya. Dan sekarang denganku. Saka sendiri masih belum menceritakan tentang hubungan mereka. Dia sepertinya menganggap aku tidak tau apa-apa.

“Ngerti nggak, Fik?”

Aku mendongak, setengah linglung. Apa tadi yang dikatakannya?

“Pasti nggak,” omelnya. “Ngelamunin apa sih?”

“Tasya apa kabar?” kata-kata itu meluncur sebelum bisa kucegah.

Kulihat, Saka sedikit kaget. “Er, baik sih, kelihatannya. Kenapa emang? Kok tiba-tiba nanyain dia?”

Aku mengambil buku Geografi dari tangannya, membuka-buka halaman dengan asal, berusaha menyembunyikan salah tingkahku. “Yah, kamu, kan, ehm… pacarnya. Trus, sering berdua sama aku. Apa dia nggak marah, atau… yah, apa gitu?”

Saka terdiam lama. Sedikit terlalu lama, hingga aku harus menatapnya langsung untuk melihat bagaimana reaksinya. Suatu kesalahan. Dia juga sedang memandangiku. Bukan tatapan tajam menusuk. Tetapi, pandangan penasaran dan meneliti, seakan sedang mencoba membaca isi otakku.

“Kamu tau kalau aku sama Tasya pernah pacaran?”

“Sara cerita,” jawabku jujur. “Kalau nggak gitu, sampe sekarang mungkin aku nggak tau kalau kalian pacaran.” Dan mungkin aku juga tidak akan terjebak di kelas ini, tambahku dalam hati.

“Pernah pacaran,” ralat Saka. “Kami putus awal kelas tiga kemarin.”

Nah, ini berita baru yang benar-benar membuatku syok. Sara tidak pernah cerita kalau Saka dan Tasya sudah putus! Kenapa Sara tidak cerita?

“Sara nggak tau. Nggak ada yang tau,” jawab Saka, seakan mendengar jeritan hatiku. “Aku sama Tasya nggak pernah ngumbar apa pun. Nggak penting. Waktu jadian juga nggak bikin pengumuman. Cuma karena ada temen yang mergokin kami jalan berdua, nanya punya hubungan apa, dijawab pacaran, trus nyebar di antara anak-anak kelas.” Saka kembali mengambil buku Geografiku. “Pas putus kemarin juga gitu. Kayaknya anak-anak nggak ada yang nyadar karena sikap kami nggak berubah.”

“Kenapa putus?” tanyaku, penasaran. Kalau dia berkata karena tidak ada lagi kecocokan, aku akan meninjunya. Itu kalimat yang kugunakan saat mendepak pacar terakhirku di SMP kemarin. Kalimat klise yang menggelikan.

Saka menarik napas panjang. “Apa sih yang ada di otak anak kelas 1 SMA waktu pacaran? Cuma seneng-seneng, kan? Masih sekedar aku naksir kamu, kamu naksir aku, yuk kita pacaran, selesai. Aku nggak kepikiran mau ke mana hubungan itu nanti. Tasya juga gitu. Pokoknya, sekarang kita saling suka, sama-sama, titik.” Dia diam sejenak, sebelum melanjutkan. “Satu-satunya masa depan yang pernah kami bahas cuma mau kuliah di mana. Tasya ngincer Psikologi UGM. Aku juga mau ke sana, UGM, tapi jurusan lain. Semuanya keliatan bakal lancar. Sampe aku berubah pikiran.” Saka menyunggingkan senyum kecil. “Aku pengin lanjut ke luar.”

“Luar? Luar negeri?”

Saka mengangguk.

Aku ingin bertanya di mana, tetapi sepertinya Saka tidak mau membahas yang itu. Dia malah kembali pada cerita tentang hubungannya dan Tasya.

“Tasya dukung rencana itu. Dia malah sering ikut bantu nyari-nyari beasiswa di luar.”

“Dia nggak pengin ke luar juga?”

Saka menggeleng. “Dia bilang, di sini masih banyak sekolah bagus. Dan juga, UGM udah jadi cita-cita dia dari SD.”

“Bukan cita-cita kamu juga?”

“Bukan,” jawabnya sambil menyeringai. “Awalnya, semua damai, sampe obrolan tentang masa depan hubungan kami dibahas. Kalau aku ke luar, Tasya tetep di UGM, berarti kami harus jalin hubungan jarak jauh. Tasya nggak mau. Katanya, itu cuma hubungan yang dipaksa. Nggak akan berhasil. Daripada maksa jalan ujung-ujungnya malah rusak, mending udahan aja sebelum kami jadi saling benci. Jadi, ya udah. Selesai.”

Aku tidak pernah mengerti kenapa jarak bisa berdampak sangat besar dalam suatu hubungan. Apalagi di masa teknologi seperti sekarang. Kalau kita hidup di jaman di mana masih mengirim surat lewat burung merpati, mungkin akan jadi bencana. Tapi sekarang? putus karena jarak sepertinya alasan yang sangat bodoh, menurutku. Bukan berarti aku pernah menjalin hubungan jarak jauh atau semacamnya. “Nggak pengin nyoba dulu?” tanyaku. “Kamu masih sayang dia, kan?”

“Sayang itu… absurd,” jawabnya. “Aku nggak bisa jawab nggak. Tapi, kalau aku jawab iya, ya nggak juga. Kalau ada yang nanya pengin balik sama dia nggak, aku bakal jawab nggak. Bukan karena nggak sayang. Aku sama dia udah sepakat kalau masa kami sama-sama sebagai pacar udah selesai.” Dia mendesah. “Ribet ya?”

“Banget,” ujarku.

Dia tertawa kecil. Renyah. Tangannya memainkan buku Geografiku. “Kamu percaya kebetulan?” tanyanya tiba-tiba.

“Nggak,” jawabku. “Aku percaya Tuhan. Nggak ada kebetulan. Yang ada cuma takdir.”

“Bener juga,” cetusnya sepakat. “Jadi, anggep aja semuanya itu takdir. Aku sama Tasya pisah, trus ketemu kamu.”

Aku menatapnya dengan alis menyatu. “Maksudnya?”

Senyum simpul tersungging di sudut bibirnya, tepat ketika bel masuk terdengar. Dia mengembalikan bukuku, lalu berdiri. Tanpa menjawab pertanyaanku, dia pamit untuk kembali ke kelasnya.

Aku masih diam di tempatku selama beberapa saat. Menatap sosoknya yang menjauh. Mengingat senyum simpulnya yang barusan tersungging di depanku. Dan aku merasakannya. Debar jantungku yang seakan bersiap melompat keluar, ketika memahami maksud ucapan terakhirnya tadi.



To be continued…


#6 - #8

Review : Warm Bodies (Antara Buku dan Film)


Judul : Warm Bodies
Genre : Horor, Drama
Pemain : Nicholas Hoult (R), Teresa Palmer (Julie)
Sutradara dan Skenario : Jonathan Levine
Penulis : Isaac Marion

Sejujurnya, aku gak terlalu excited sama film-film yang diangkat dari novel. Setiap denger desas-desus ada novel yang akan dijadiin film, aku lebih milih berburu novelnya. Urusan bakal nonton filmnya apa gak, tergantung cerita novel itu apakah bakal menarik dibikin film, atau cuma bakal maksa. Sama liat siapa yang main (hehe). Sejauh ini, dari beberapa film adaptasi yang aku tonton, sebagian besar aku tetep lebih suka versi novel.

Film Warm Bodies ini salah satu film adaptasi novel yang menurutku cukup sukses. Terlepas dari tokoh cowoknya yang bikin aku jatuh cinta, filmnya gak ngecewain sama sekali. Menurutku, Jonathan Levine lumayan berhasil 'menghidupkan' novel yang ditulis Isaac Marion ini.

Dari beberapa film zombi yang pernah aku lihat, Warm Bodies jadi juara. Biasanya, zombi di film horor/thriller yang pernah aku tonton cuma dijadikan mesin pembunuh, momok mengerikan, yang memburu semua pemain sampai mati. Kehidupan si zombi sendiri gak terlalu diekspos. Ceritanya cuma fokus ke para manusia yang jadi pemeran utama dan cara mereka bertahan hidup dari kejaran si zombi.

Tapi, di sini beda. Diceritakan seorang zombi bernama R, yang tinggal di sebuah lahan bekas bandara bareng zombi-zombi lainnya. Adegan pembuka awal, cukup menarik. Memperlihatkan kegiatan-kegiatan para zombi di tempat tinggal mereka itu. Yang jadi tokoh utama di sini, bisa dibilang, para zombi. Garis besarnya menceritakan tentang R yang jatuh cinta sama manusia, namanya Julie. Mereka pertama ketemu waktu para zombi nyerang manusia buat makan. Si penulis ngatur kalau R kebagian makan pacarnya Julie. Setiap kali seorang zombi makan otak manusia, akan muncul kilasan-kilasan kenangan si manusia itu di pikirannya. Itu juga yang terjadi waktu R makan otak Perry, pacarnya Julie. R jadi tau tentang Julie dari sudut pandang si Perry.

Aku selalu lebih suka cerita cinta yang dikemas dengan gaya cerita gini. Cerita yang di luar nalar kadang ngasih pelajaran lebih tentang perasaan manusia satu itu. Bisa dilihat dari hubungan R dan Julie. R tertarik sama Julie karena waktu kali pertama mereka ketemu, jantungnya yang udah mati tiba-tiba berdetak lagi. Karena itu R selalu berusaha melindungi Julie dari para zombi. Keajaiban cinta yang gitu lebih bikin ngiri. Selalu. Para penulis fantasi atau sci-fi selalu berhasil meyakinkanku kalau cinta itu memang punya kekuatan yang hebat. Terbukti di cerita ini, di mana R berhasil kembali jadi manusia gara-gara cinta.

Sedikit kekurangan filmnya menurutku, ada beberapa adegan di novel yang gak masuk. Hal biasa, sebenernya. Setiap film yang diangkat dari novel, gak semua adegan persis sama. Cuma, kadang, adegan yang 'dibuang' itu justru adegan yang sebenernya ditunggu. Misalnya aja, salah satu adegan novel yang gak ada di filmnya, waktu R ketemu sama istrinya, sesama zombi. Baru pertama ketemu, mereka langsung nikah. Cara nikahnya lucu. Pernikahan ala zombi. Menurutku, itu salah satu adegan menarik. Pas nonton, aku nunggu-nunggu adegan itu, ternyata gak ada. Itu seharusnya jadi adegan sebelum R ketemu Julie. Tapi, di filmnya, R langsung dibikin ketemu Julie.

Over all, I really love this story.
Terlepas dari tokoh utamanya yang emang ganteng, banyak pelajaran yang ada di cerita ini. Salah satu yang bisa aku petik dan paling berkesan buatku, "cinta selalu bisa memanusiakan siapa pun, termasuk seorang zombi". Jadi, jatuh cintalah. Supaya kamu bisa jadi manusia. Yang utuh...




~ Elsa Puspita Hoult ~