Hal pertama yang kutangkap saat memasuki kelas baru
adalah suasana bar mengerikan yang sering kulihat di film-film koboi.
Sekelompok siswa bergerombol di sudut kelas, beberapa di antara mereka tampak
menjepit rokok di sela jari telunjuk dan jari tengah. Kalau ketahuan guru,
mereka pasti habis. Aku sudah sering mendengar betapa buruknya kelas ‘terbuang’
ini. Tetapi, tidak pernah terlalu memedulikan mereka. Tentu saja aku juga tidak
pernah sekali pun berpikir akan menjadi bagian dari kelas terkutuk ini. Jika suasana
di kelas plus kemarin sudah kuanggap
neraka, kelas ini menimbulkan kesan beratuskali lipat lebih buruk.
Ya Tuhan! Betapa aku berharap bisa memutar ulang semuanya
dan meletakkan otakku di tempat yang benar!
Sara dan Anita berbaik hati menemaniku masuk ke kelas ini
untuk kali pertama. Mereka juga membantuku memilih tempat duduk. Bukan hal
sulit. Bangku kosong hanya ada di bagian depan, sementara bangku-bangku di
belakang sudah terisi penuh. Aku memilih bangku yang berada tepat di depan meja
guru. Bukan apa-apa, orang-orang di sini benar-benar membuatku takut. Aku
seperti masuk ke kandang srigala gunung yang dipaksa puasa setahun penuh lalu
tiba-tiba mendapat daging domba segar. Bisa dibayangkan bagaimana ganasnya
mereka?
Aku baru meletakkan tas, ketika Anita mulai bergerak
tidak nyaman. Dia menarik-narik tangan Sara, lalu membisikkan sesuatu. Sara
melihat ke arah sudut, tempat para siswa bergerombol, lalu ikut cemas.
“Fik, kamu yakin mau di sini?” Sara berbisik padaku.
Aku menatapnya nelangsa. Apa aku punya pilihan di sini?
Tidak pernah ada dalam sejarah SMA-ku, murid bisa pindah dari kelas yang sudah
ditetapkan. Apalagi yang sudah diputuskan masuk ke kelas mengerikan ini.
“Kamu kok bisa di sini sih, Fik?” sambung Anita, seakan
kami tidak pernah membahasnya.
Selama liburan kemarin, aku sudah menghabiskan banyak
waktu dengan mereka untuk menceritakan mengapa aku bisa masuk kelas ini. Tentu
saja aku tidak menyebut nama Saka sedikit pun. Bukan karena tidak percaya pada
mereka. Aku hanya tidak enak karena Sara berteman baik dengan Tasya. Dan Tasya
adalah pacar Saka. Aku tidak yakin bagaimana Sara akan menanggapi ceritaku
kalau aku mengatakan yang sebenarnya. Lagi pula, mengaku kalau aku sudah
melakukan hal konyol karena Saka akan sangat memalukan. Aku tidak akan mau
melakukannya.
“Aku nggak apa-apa, kok,” kataku. “Kalian balik ke kelas
aja.”
Kedua sahabatku itu masih tampak tidak yakin. Tetapi, bel
yang kemudian berbunyi memberi mereka pilihan untuk segera meninggalkanku.
“Kalau ada apa-apa, langsung teriak ya, Fik,” bisik
Anita, sebelum menarik Sara keluar.
Aku mendesah pelan sambil menatap punggung mereka yang
menjauh. Kemudian, aku mengeluarkan buku, siap memulai pelajaran, ketika
menyadari sesuatu.
Para siswa masih berada di sudut kelas, tampak tidak
menyadari, atau tidak peduli, dengan bel yang sudah berbunyi. Selain aku, hanya
ada tiga murid perempuan. Mereka membentuk kelompok sendiri di barisan bangku
dekat jendela. Tidak seorang pun memedulikan kehadiranku. Tanpa sadar, aku
mengingat hari pertamaku saat masuk di kelas plus. Saka adalah orang pertama yang menyapaku, lengkap dengan
senyum manisnya. Setidaknya, senyum yang kuanggap manis sampai aku mengetahui
kalau dia sudah punya pacar. Bukan berarti senyumnya berubah. Hanya saja,
jangan harap aku mau menyebutnya manis lagi.
Sembari menunggu guru masuk, aku mulai membuat
coretan-coretan tidak jelas di buku tulis. Kemudian aku menyadari kalau buku
yang sedang kucoret adalah catatan matematika-ku. Ada tulisan Saka di sana,
saat dia mengajariku mengerjakan soal. Aku melingkari tulisan-tulisan itu dan
membuat lambang hati di sekelilingnya.
Yang lebih menyedihkan dari cinta bertepuk sebelah tangan
adalah jatuh cinta dengan pacar orang lain.
Yah, selama libur kemarin, selain meratapi nasib sialku,
aku juga memikirkan alasan logis mengapa aku sampai berjuang keras menghindari
Saka hanya karena dia sudah punya pacar. Orang bodoh pun tau apa yang terjadi. Rasa
kesal yang mendadak muncul saat kali pertama mengetahui hal itu. rasa sedih
ketika melihat dia dan pacarnya bedua. Sikap ketusku karena hal itu. meskipun
awalnya sempat membantah, hati tidak pernah bisa berbohong. Hanya dalam tiga
bulan kedekatan kami, dia berhasil membuatku jatuh cinta.
Sejujurnya, aku tidak terlalu suka menggunakan istilah
itu. Menggelikan. Tetapi, aku tidak bisa menemukan istilah lain. Tertarik? Jelas
lebih dari itu. suka? Sedikit kurang pas. Kagum? Yang benar saja. memangnya
siapa dia? Andrew Garfield?
Jadi kuputuskan saja menggunakan istilah itu meskipun aku
tidak mengerti apa maksudnya. Bukan berarti aku tidak pernah pacaran. Fase cinta
monyet jelas sudah kulalui selama masa SMP kemarin. Tetapi, selama SMA, minatku
pada hal semacam itu sudah berkurang. Tidak ada gunanya menurutku. Apalagi kalau
sampai mendapatkan cowok yang salah. Seperti cowok bodoh, jorok, dan
semacamnya. Benar-benar … eww!
Aku belum pernah mendapatkan cowok pintar. Selama ini,
pacarku adalah cowok-cowok yang hanya memiliki otak setengah. Bukan bermaksud
kasar. Tapi, mereka memang seperti itu. Atau sebenarnya aku yang dungu karena
mau pacaran dengan mereka. Mungkin karena itu aku tidak tertarik pacaran dulu
selama SMA. Jadi, kalian tentu paham, kan, kenapa aku bisa naksir Saka?
Oh, naksir sepertinya lebih enak diucapkan daripada jatuh
cinta. Kalau begitu, aku ganti saja istilahnya.
Setengah jam sudah berlalu. Gambar hati sudah bertebaran
di buku tulisku, melingkari semua tulisan Saka yang ada. Tidak ada tanda-tanda
akan ada guru yang masuk kelas. Para berandal di belakang sudah mulai
bernyanyi-nyanyi, entah lagu apa. Ruangan ini lebih pantas disebut arena konser
death metal daripada kelas. Mereka sangat
berisik. Menyanyi dengan volume keras, tertawa lantang, sangat mengganggu.
Aku melirik ke belakang, hanya untuk memastikan apa yang
mereka lakukan. Beberapa mata balas menatapku dengan senyum iblis. Semacam senyum
singa saat menemukan mangsa. Bulu kudukku meremang. Cepat-cepat aku menghadap
ke depan lagi. Aku merasakan mata-mata jahat itu masih menatap punggungku. Dengan
suara berisik kelas ini, kalau sampai terjadi apa-apa dan aku berteriak, tidak
akan ada yang mendengar. Guru-guru sudah lama belajar untuk berhenti mengurusi
kelas ini. Percuma. Saat ditegur, mereka semua diam. Begitu yang menegur pergi,
konser kembali dimulai. Aku sangat tau karena kelas central selalu bersebelahan dengan kelas busuk ini.
Suara gedoran keras di pintu membuatku terlonjak. Kelas mendadak
hening. Mungkin mereka mengira guru yang datang. Aku juga berpikir begitu,
sampai melihatnya berdiri di ambang kelas.
Mulutku sedikit ternganga. Saka berjalan memasuki kelas
dengan wajah santai.
“Pak Tomo nggak masuk,” kata Saka.
“Kamu lagi yang ngajar? Asik dong!” sahut salah satu
berandal.
Dahiku mengernyit. Saka yang mengajar? Bagaimana bisa?
Kulihat, para berandal kembali ke bangku mereka
masing-masing. Aku melongo. Saka bahkan tidak perlu menyuruh mereka. Kemudian,
layaknya guru, Saka mulai berceloteh. Jadwal hari itu Sejarah. Saka memberi
penjelasan tentang Masa Orde Lama layaknya pendongeng handal. Di tengah-tengah penjelasannya, Saka duduk di
salah satu bangku belakang. Semua penghuni kelas, kecuali aku, menggeser kursi
mereka hingga mengelilinginya. Saka terlihat seperti guru TK yang sedang
menceritakan dongeng pada murid-muridnya. Apa-apaan ini?
Saka tengah menjelaskan tentang 28 Kabinet pada Masa Orde
Lama, ketika bel berbunyi. Tanpa terasa, dua jam pelajaran sudah berakhir. Saka
berdiri. “Pe-er buat kalian. Tadi, kan, aku baru jelasin sampe Kabinet Republik
Indonesia Serikat. Masih ada 18 Kabinet lagi yang belum dijelasin. Kalian jelasin
ya? Kalau minggu depan Pak Tomo nggak masuk lagi, kita bahas bareng.”
Mereka semua menyahut setuju. Aku benar-benar terpana. Darimana
Saka bisa mempunyai pengaruh begitu besar pada mereka?
Saat melewati mejaku, dia melirikku sejenak. Itu kali
pertama kami bertatapan semenjak dia masuk kelas. Tidak ada ekspresi kaget
sedikit pun di wajahnya. Aku membuang muka. Dia pasti berpikir kalau hal yang
wajar aku masuk ke kelas ini. Dia pernah menjadi guru privat tidak resmi-ku
kemarin. Tentu dia sedikit banyak menangkap kemampuan otakku. Menyebalkan.
“Istirahat ntar aku mau ngomong,” bisiknya, membuatku tersentak
kaget.
Sebelum aku memastikan kalau Saka benar-benar mengatakan
hal itu, dia sudah berjalan keluar kelas.
To be continued …
No comments:
Post a Comment