Abil masih terdiam di kamarnya. Matahari sudah tinggi, namun tidak ada sedikitpun tanda-tanda yang menunjukan gelagat kalau dia berniat keluar kamar. Tadi pagi, sebelum berangkat kerja, Bunda sudah berkali-kali menyuruhnya turun. Tapi, tetap saja gadis itu bergeming pada posisinya. Kejadian semalam cukup membuatnya terkena shock ringan. Masih sulit bagi otaknya untuk mencerna apa yang telah terjadi. Semuanya terasa seperti mimpi buruk yang tiba-tiba menjadi kenyataan di saat Abil belum siap menerimanya.
Butir-butir airmata kembali mengalir di kedua pipi gadis itu. Setelah semalam suntuk menangis, ternyata belum cukup membuat airmatanya kering. Kata-kata Bintang telah dengan sukses mengubahnya menjadi gadis cengeng. Padahal selama ini Abil termasuk gadis yang jarang menangis. Dan Bintang telah berhasil menghancurkan pertahanannya.
Tiga tahun bukan waktu yang singkat dalam menjalin sebuah hubungan. Abil tidak bisa menyalahkan Bintang jika rasa bosan muncul setelah tiga tahun berlalu. Tidak ada yang salah pada hubungan mereka. Semua berjalan dengan wajar, tanpa pernah ada halangan yang berarti. Tidak pernah ada pertengkaran besar yang terjadi. Tapi, itu bukan jaminan untuk membuat sebuah hubungan terus bertahan. Semua yang berjalan lurus dan wajar itu pada akhirnya malah terasa datar, hambar, dan terkesan tanpa perkembangan. Hingga akhirnya, kisah tiga tahun itu pun harus hancur, kalah oleh rasa bosan.
Tidak dipungkiri, Abil juga merasakan hal serupa. Jenuh dengan kondisi hubungan mereka. Seperti tidak ada lagi hal yang bisa dilakukan untuk mencerahkan kembali hubungan itu. Semuanya terasa suram. Ketika kata perpisahan itu meluncur dari mulut Bintang, Abil hanya bisa menerima. Dia kehilangan kekuatan untuk mempertahankan bintangnya. Bukan karena rasa sayangnya telah hilang. Tapi, karena bintangnya sendiri yang ingin pergi. Keinginan Bintang yang kuat, seakan tidak bisa lagi ditawar, telah melemahkan Abil. Tidak ada pilihan lain baginya selain melepaskan Bintang. Meskipun egonya ingin Bintang tetap di sampingnya, Abil sadar, dia tidak mungkin bisa bertahan sendirian sementara Bintang tidak ingin bertahan lagi. Sebuah hubungan tidak mungkin hanya dijalani oleh satu pihak. Abil berusaha menerima. Tapi, tetap saja kejadian itu terasa berat baginya. Hanya menangis satu-satunya hal yang bisa dilakukan untuk lepas dari rasa sakit yang perlahan mulai menggerogotinya.
***
“Abil!”
Abil menoleh. Ica berlari kecil ke arahnya. Kuncir kuda gadis itu memantul di pundak mungilnya. Begitu berhasil menyamai langkah Abil, Ica menahan lengan sahabatnya itu hingga langkahnya terhenti.
“Kamu sama Bintang kenapa?” tanya Ica langsung tanpa basa-basi.
Abil sudah menduga topik apa yang dibawa Ica. Jujur saja, dia belum siap membahas masalah itu pada siapapun. Termasuk pada Ica, sahabatnya dari kecil.
Melihat Abil tidak bersuara, Ica menghela nafas kecil. “Kenapa sih, Bil? Tiga tahun kalian sama-sama. Kok tiba-tiba kayak gini? Kamu nggak cerita kalo kalian lagi ada masalah. Nggak ada angin, nggak ada ujan, kok putus?”
“So complicated, Ca…”
“Explain to me! Aku punya banyak waktu buat dengerin curhatan kamu.”
Abil mencoba tersenyum. Tapi, yang terjadi malah matanya kembali berkaca-kaca. Sebelum sepatah katapun keluar dari mulutnya, isakan lebih dulu terdengar. Seketika Ica merasa bersalah. Pasti masih berat bagi Abil untuk menceritakan semuanya.
“Ya udah. Nanti aja ceritanya. Maaf ya udah maksa…”
Abil tidak bersuara. Ica mengerti. Dirangkulnya gadis itu hingga Abil bisa menangis di pundaknya.
***
“Pagi Bilqis!”
Abil menoleh. Refan mengambil posisi duduk di sebelahnya. Sebatang coklat terulur dari cowok itu ke arah Abil. Abil hanya menatap coklat itu tanpa berniat mengambilnya.
“Tanpa racun kok, Bil. Suer dehh…”
Abil membuang muka.
“Bil, aku punya cerita. Mau denger nggak?” tawar Refan sambil membuka bungkus coklat yang dibawanya.
Abil tetap tidak bersuara.
Refan menganggap diamnya Abil sebagai ‘Iya’. Dia mengambil posisi untuk mulai cerita. “Satu matahari mampu ngasih sinar kehidupan buat kita. Tapi, Tuhan udah menghadirkan bulan buat muncul gantiin matahari waktu malam dateng. Jadi, saat matahari ilang, kita nggak kehilangan sinar karena ada bulan. Walaupun nggak seterang dan segahar matahari, tapi bulan juga sanggup ngasih keindahan di langit malam. Bikin kita nggak merasa kesepian walaupun gelap. Apalagi kalo bintang juga ikut muncul. Makin indah kan jadinya?”
Meskipun tidak mengerti maksud cerita Refan, mau tak mau Abil mulai tertarik. Ekspresinya tidak secuek sebelumnya. Meski dengan porsi yang sangat sedikit, Abil mulai memberi perhatiannya pada cerita Refan.
“Gitu juga sama hidup, Bil. Nggak usah takut satu cahaya pergi. Yakinlah pasti bakal ada cahaya lain yang dikirim buat gantiin cahaya kamu. Walaupun mungkin nanti cahaya itu nggak seterang cahaya kamu sebelumnya, tapi pasti nggak kalah menyenangkan. Sama kayak bulan pas gantiin matahari. Dan jujur aja deh, kamu pasti lebih seneng ngeliat bulan kan daripada matahari? Matahari tuh bikin silau, bikin kulit gosong juga. Enakan nikmatin bulan. Iya kan, Bil?”
Abil terdiam. Tapi, diamnya kali ini karena mencerna cerita Refan.
“Hidup kamu masih panjang, Bil. Sayang kalo kamu buang buat meratapi nasib. Aku tau berat buat jalani semuanya. Tapi, bukan berarti kamu jadi terus-menerus terlarut. Kamu berhak buat dapet yang lebih baik. Udah cukup sedihnya…”
Masih tidak ada reaksi dari Abil. Tapi, Refan tau kalau Abil mendengar ceritanya. Dan untuk saat ini, itu sudah cukup baginya.
“Nih, makan,” Refan menyerahkan coklat yang telah dibukanya pada Abil. “Coklat bisa bantu ngilangin stress…” sambungnya. Kemudian dia berdiri, bersiap keluar kelas.
“Makasih…” ucap Abil akhirnya.
Refan tersenyum kecil. Lalu dia melangkah meninggalkan Abil.
***
Abil menatap Bintang yang duduk di hadapannya. Sudah sebulan sejak kejadian malam itu. Ini pertama kalinya mereka kembali bertatap muka. Keduanya hanya diam. Tidak tau percakapan apa yang harus dibentuk saat ini. Abil mengaduk-aduk coffee-latte miliknya.
“Bil…”
“Bin…”
Keduanya saling pandang. Sapaan serempak itu sedikit mencairkan suasana. Keduanya tersenyum kecil.
“Kamu duluan,” ucap Bintang.
“Kamu aja…”
Bintang menurut. Tiga tahun bukan waktu yang singkat untuk tau kalau Abil adalah tipe gadis yang cukup keras kepala.
“Aku cuma mau minta maaf. Aku harap kamu mau maafin aku…”
“Aku juga minta maaf ya. Udah bikin hubungan kita jadi nggak enak.”
“Semoga setelah ini kita bener-bener bisa balik jadi temen. Nggak enak juga diem-dieman sama kamu.”
Abil menghela nafas kecil. “Sulit bagi aku buat nerima kondisi sekarang. Aku masih nggak percaya sama yang udah terjadi. Tiga tahun kita bertahan, hancur cuma karena rasa bosen. Itu kayak penyebab paling konyol yang pernah aku tau.”
Bintang terdiam.
“Tapi, setelah aku pikir, bukan cuma bosen yang bikin kita gini. Banyak masalah pendukung lain yang bikin kita nggak bisa sama-sama lagi. Dan itu bikin aku mulai bisa ngerelain kamu…”
“Aku juga selama ini belajar buat ngerelain kamu, ngerelain hubungan kita. Berat juga bagi aku pada awalnya. Tapi, aku yakin semua yang terjadi sekarang pasti yang terbaik buat kita.”
Abil kembali tersenyum. Setelah berbasa-basi sesaat, dia pamit pulang.
“Boleh aku anter?”
“Nggak usah. Ica sama Refan nunggu aku di depan,” tolak Abil halus.
“Oh… ya udah. Salam aja ya buat mereka…”
Abil mengangguk. “Siap-siap jadi obat nyamuk deh aku…” candanya.
Bintang ikut tersenyum. Abil berdiri, lalu berjalan meninggalkan Bintang, meninggalkan café yang penuh kenangan mereka di belakangnya. Kali ini Abil meninggalkannya dengan hati yang lebih ringan.
***
Abil, Ica, dan Refan menikmati suasana senja di tepi pantai. Ketiganya asik bercanda, saling ejek, dan saling lempar pasir. Mereka sudah dekat sejak duduk di bangku SD hingga sekarang, saat status mereka sudah menjadi mahasiswa. Meskipun saat akhir SMA status Ica dan Refan naik sebagai sepasang kekasih, persahabatan mereka tidak berubah. Saat kumpul bertiga, Refan dan Ica tetap mampu bersikap sebagai sahabat.
“Sunset tuh, Bil,” tegur Refan.
Abil menatap hamparan laut di hadapannya. Langit berubah menjadi jingga. Senja akan segera berubah menjadi malam. Matahari mulai terbenam di ufuk barat. Abil tersenyum kecil. Meskipun matahari tenggelam, bulan akan datang menggantikannya. Dan saat hari esok tiba, matahari baru akan muncul, menjadi awal dari perjalanan hidup yang baru, dengan cahaya baru yang mungkin bisa lebih terang.
“Makasih, Bintang. Makasih udah mau mampir di hidup aku. Aku nggak pernah nyesel sama semua yang udah kita jalani sama-sama. Aku tetap bersyukur udah dikasih kesempatan jalani kisah sama kamu. Makasih juga atas pelajaran yang udah kamu kasih ke aku. Makasih…”
Refan dan Ica merangkul Abil. Abil menatap sahabatnya bergantian. Senyumnya makin lebar. Walaupun cahayanya pergi, dunianya tidak gelap. Ada cahaya lain yang tetap setia menemaninya. Cahaya yang mungkin bersinar lebih terang dari cahaya lain. Cahaya indah yang bernama persahabatan.
***