Wednesday, February 20, 2013

cinta daur ulang (?)

Tiba-tiba pengin bahas tentang move on (lagi), abis mantengin TL dan nemu kalimat : "Kok lo cepet banget jatuh cinta lagi?" pertanyaan yang ga bisa dijawab sampe dia sendiri yang ngalamin langsung.
Aku gak kenal sama yang ngetwit. Tapi aku kenal sama yang ngeritwit. si @GitaRahmi, temen jaman muda, waktu masih pake putih-abu2.

Baca kalimat itu, aku jadi inget sama beberapa temen yang move on-nya bisa dibilang gesit. Sebut aja yang baru ini kemarin, temen kosku yang udah pacaran 3 taun, awal tahun kemaren putus, trus bisa cepet gebet yang lain. Sejujurnya, aku suka takjub sendiri sama orang yang gitu. Beneran takjub, bukan berkonotasi negatif, nyindir, atau semacamnya.

Rekorku pribadi, paling cepet move on 6 bulan. Paling lama 2 taon lebih. Udah. Gak akan bahas yang itu. Bosen.

Aku pengen bahas kalimat itu tadi aja. Pertanyaan itu persis sama yang aku tanya ke temen kosku itu. Gimana bisa, tiga taun ilang dalam waktu gak nyampe satu bulan? Segitu gak berhargakah hubungan yang kemarin? Atau kesalahan putusnya udah bener-bener fatal sampe bisa dengan mudah dilupakan gitu aja?

Otak sotoyku pun bekerja *lalalala*

Terlintas satu alasan yang menurut nalar sotoyku masuk akal. Temen kosku itu mungkin bukan cepet jatuh cinta lagi, tapi mungkin cinta sebelumnya emang udah lama abis, mungkin malah jauh sebelum mereka putus, cuma dia gak nyadar. Waktu cintanya abis itu, secara gak sadar hatinya udah 'mendaur ulang' bibit cinta baru, tapi belum nemu tempat buat ngelemparnya, sedangkan mau dilempar lagi ke pacarnya kayaknya udah gak pas. Makanya, pas nemu sosok baru yang dianggap klop, dilempar deh tuh bibit.

Kenapa bisa gitu?

Ibarat kita nanem bunga di sepetak tanah, awalnya bunga itu keliatan bakal tumbuh subur. Tapi, perlahan bunganya malah mati. Kita pasti bertanya apa yang salah? Mungkin bunganya udah terlalu lama dibiarin tumbuh liar, tanpa repot di kasih pupuk atau sengaja disiram, cuma ngandelin air hujan. Atau juga, karena tanahnya yang bermasalah. Dalam kasus ini, kita anggep aja kalau tanahnya yang bermasalah. Saat kamu tau kalau tanah yang kamu tanemin bunga bermasalah, apa kamu masih mau nanem di tempat yang sama?

Apa pun jawaban kamu, di sini aku anggep kalau temen kosku itu jawab gak. Dia lebih milih nanem di tempat baru, daripada harus nyoba dan ngeliat bunganya mati lagi.


Mungkin, gitu juga dengan cinta. Sebagian orang yang dianggap 'mudah jatuh cinta' mungkin cuma gak mau jatuh ke lubang yang sama dua kali, macam keledai.


Sekali lagi, ini cuma bentuk kesotoyan saya. Makanya banyak pake kata 'mungkin' karena belom penelitian langsung ~


Mungkin cukup sekian, dan terima kasih ~



Sotoy itu indah kawan!
Maka, sotoylah ~

wassalam,

-EP-

#FF2in1 Secret Admirer

Aku menemukannya lagi. Sebuah botol bekas parfum berisi surat yang dimasukan ke balon yang belum ditiup. Ini sudah yang keempat kalinya. Isi suratnya selalu sama. Tetapi, aroma parfum dan warna balon yang digunakan si pengirim berganti. Dan selalu serasi. Hari pertama, dia mengirimkan botol parfum beraroma lavender, dengan balon berwarna ungu. Selanjutnya, parfum bunga sakura dengan balon pink. Yang ketiga, aroma melati dan balon putih. Sekarang, aroma jeruk dan balon oranye. Aku benar-benar penasaran siapa pelaku iseng ini. Dikiranya laci mejaku semacam tempat penampungan sampah atau apa?

Menarik keluar balon dari mulut botol bukan perkara mudah. Karetnya sering menempel di dinding botol yang masih basah sehingga jariku kesulitan meraihnya. Si pelaku ini benar-benar menyusahkanku. Juga mengganggu, pada awalnya. Sekarang, aku malah selalu menantikan keisengannya ini, meskipun sampai sekarang aku tidak tau apa artinya.

Begitu berhasil mengeluarkan balon sial itu, aku kembali berjuang mengeluarkan surat di dalamnya. Meskipun tahu kalau isinya akan sama, tetap saja aku ingin membukanya untuk membuktikan langsung.

Dahiku berkerut saat membaca suratnya. Isinya kali ini berbeda.

"Jam bermain selesai."

Saat itu aku menyadari. Selain isi surat, aroma dari botol parfum yang digunakannya juga berubah. Biasanya dia menggunakan botol parfum beraroma bunga, kali ini jeruk.

"Lavy? Kenapa kamu? Kok bengong?"

Aku tersentak, lalu menoleh ke arah Bagas, teman sebangkuku. "Kenapa kamu panggil aku Lavy?"

Dahi bagas mengernyit. "Dulu, kan, aku pernah bilang. Arona kamu kayak Lavender. Bisa buat ngusir nyamuk."

"Lavender. Pengin lihat sakura asli. Lebih suka melati daripada mawar. Pecinta jeruk." Aku menatap Bagas tajam.

Bagas terdiam sesaat. Aku mengacungkan botol parfum di tanganku. Dia tersenyum kecil, namun tidak berkata apa-apa.

Aku juga tidak berkata apa-apa lagi. Hanya mengingat surat pertamanya.

"Kenapa selalu melihat kejauhan?"

Welcome to the Hell (#6)


Hal pertama yang kutangkap saat memasuki kelas baru adalah suasana bar mengerikan yang sering kulihat di film-film koboi. Sekelompok siswa bergerombol di sudut kelas, beberapa di antara mereka tampak menjepit rokok di sela jari telunjuk dan jari tengah. Kalau ketahuan guru, mereka pasti habis. Aku sudah sering mendengar betapa buruknya kelas ‘terbuang’ ini. Tetapi, tidak pernah terlalu memedulikan mereka. Tentu saja aku juga tidak pernah sekali pun berpikir akan menjadi bagian dari kelas terkutuk ini. Jika suasana di kelas plus kemarin sudah kuanggap neraka, kelas ini menimbulkan kesan beratuskali lipat lebih buruk.

Ya Tuhan! Betapa aku berharap bisa memutar ulang semuanya dan meletakkan otakku di tempat yang benar!

Sara dan Anita berbaik hati menemaniku masuk ke kelas ini untuk kali pertama. Mereka juga membantuku memilih tempat duduk. Bukan hal sulit. Bangku kosong hanya ada di bagian depan, sementara bangku-bangku di belakang sudah terisi penuh. Aku memilih bangku yang berada tepat di depan meja guru. Bukan apa-apa, orang-orang di sini benar-benar membuatku takut. Aku seperti masuk ke kandang srigala gunung yang dipaksa puasa setahun penuh lalu tiba-tiba mendapat daging domba segar. Bisa dibayangkan bagaimana ganasnya mereka?

Aku baru meletakkan tas, ketika Anita mulai bergerak tidak nyaman. Dia menarik-narik tangan Sara, lalu membisikkan sesuatu. Sara melihat ke arah sudut, tempat para siswa bergerombol, lalu ikut cemas.

“Fik, kamu yakin mau di sini?” Sara berbisik padaku.

Aku menatapnya nelangsa. Apa aku punya pilihan di sini? Tidak pernah ada dalam sejarah SMA-ku, murid bisa pindah dari kelas yang sudah ditetapkan. Apalagi yang sudah diputuskan masuk ke kelas mengerikan ini.

“Kamu kok bisa di sini sih, Fik?” sambung Anita, seakan kami tidak pernah membahasnya.

Selama liburan kemarin, aku sudah menghabiskan banyak waktu dengan mereka untuk menceritakan mengapa aku bisa masuk kelas ini. Tentu saja aku tidak menyebut nama Saka sedikit pun. Bukan karena tidak percaya pada mereka. Aku hanya tidak enak karena Sara berteman baik dengan Tasya. Dan Tasya adalah pacar Saka. Aku tidak yakin bagaimana Sara akan menanggapi ceritaku kalau aku mengatakan yang sebenarnya. Lagi pula, mengaku kalau aku sudah melakukan hal konyol karena Saka akan sangat memalukan. Aku tidak akan mau melakukannya.

“Aku nggak apa-apa, kok,” kataku. “Kalian balik ke kelas aja.”

Kedua sahabatku itu masih tampak tidak yakin. Tetapi, bel yang kemudian berbunyi memberi mereka pilihan untuk segera meninggalkanku.

“Kalau ada apa-apa, langsung teriak ya, Fik,” bisik Anita, sebelum menarik Sara keluar.

Aku mendesah pelan sambil menatap punggung mereka yang menjauh. Kemudian, aku mengeluarkan buku, siap memulai pelajaran, ketika menyadari sesuatu.

Para siswa masih berada di sudut kelas, tampak tidak menyadari, atau tidak peduli, dengan bel yang sudah berbunyi. Selain aku, hanya ada tiga murid perempuan. Mereka membentuk kelompok sendiri di barisan bangku dekat jendela. Tidak seorang pun memedulikan kehadiranku. Tanpa sadar, aku mengingat hari pertamaku saat masuk di kelas plus. Saka adalah orang pertama yang menyapaku, lengkap dengan senyum manisnya. Setidaknya, senyum yang kuanggap manis sampai aku mengetahui kalau dia sudah punya pacar. Bukan berarti senyumnya berubah. Hanya saja, jangan harap aku mau menyebutnya manis lagi.

Sembari menunggu guru masuk, aku mulai membuat coretan-coretan tidak jelas di buku tulis. Kemudian aku menyadari kalau buku yang sedang kucoret adalah catatan matematika-ku. Ada tulisan Saka di sana, saat dia mengajariku mengerjakan soal. Aku melingkari tulisan-tulisan itu dan membuat lambang hati di sekelilingnya.

Yang lebih menyedihkan dari cinta bertepuk sebelah tangan adalah jatuh cinta dengan pacar orang lain.

Yah, selama libur kemarin, selain meratapi nasib sialku, aku juga memikirkan alasan logis mengapa aku sampai berjuang keras menghindari Saka hanya karena dia sudah punya pacar. Orang bodoh pun tau apa yang terjadi. Rasa kesal yang mendadak muncul saat kali pertama mengetahui hal itu. rasa sedih ketika melihat dia dan pacarnya bedua. Sikap ketusku karena hal itu. meskipun awalnya sempat membantah, hati tidak pernah bisa berbohong. Hanya dalam tiga bulan kedekatan kami, dia berhasil membuatku jatuh cinta.

Sejujurnya, aku tidak terlalu suka menggunakan istilah itu. Menggelikan. Tetapi, aku tidak bisa menemukan istilah lain. Tertarik? Jelas lebih dari itu. suka? Sedikit kurang pas. Kagum? Yang benar saja. memangnya siapa dia? Andrew Garfield?

Jadi kuputuskan saja menggunakan istilah itu meskipun aku tidak mengerti apa maksudnya. Bukan berarti aku tidak pernah pacaran. Fase cinta monyet jelas sudah kulalui selama masa SMP kemarin. Tetapi, selama SMA, minatku pada hal semacam itu sudah berkurang. Tidak ada gunanya menurutku. Apalagi kalau sampai mendapatkan cowok yang salah. Seperti cowok bodoh, jorok, dan semacamnya. Benar-benar … eww!

Aku belum pernah mendapatkan cowok pintar. Selama ini, pacarku adalah cowok-cowok yang hanya memiliki otak setengah. Bukan bermaksud kasar. Tapi, mereka memang seperti itu. Atau sebenarnya aku yang dungu karena mau pacaran dengan mereka. Mungkin karena itu aku tidak tertarik pacaran dulu selama SMA. Jadi, kalian tentu paham, kan, kenapa aku bisa naksir Saka?

Oh, naksir sepertinya lebih enak diucapkan daripada jatuh cinta. Kalau begitu, aku ganti saja istilahnya.

Setengah jam sudah berlalu. Gambar hati sudah bertebaran di buku tulisku, melingkari semua tulisan Saka yang ada. Tidak ada tanda-tanda akan ada guru yang masuk kelas. Para berandal di belakang sudah mulai bernyanyi-nyanyi, entah lagu apa. Ruangan ini lebih pantas disebut arena konser death metal daripada kelas. Mereka sangat berisik. Menyanyi dengan volume keras, tertawa lantang, sangat mengganggu.

Aku melirik ke belakang, hanya untuk memastikan apa yang mereka lakukan. Beberapa mata balas menatapku dengan senyum iblis. Semacam senyum singa saat menemukan mangsa. Bulu kudukku meremang. Cepat-cepat aku menghadap ke depan lagi. Aku merasakan mata-mata jahat itu masih menatap punggungku. Dengan suara berisik kelas ini, kalau sampai terjadi apa-apa dan aku berteriak, tidak akan ada yang mendengar. Guru-guru sudah lama belajar untuk berhenti mengurusi kelas ini. Percuma. Saat ditegur, mereka semua diam. Begitu yang menegur pergi, konser kembali dimulai. Aku sangat tau karena kelas central selalu bersebelahan dengan kelas busuk ini.

Suara gedoran keras di pintu membuatku terlonjak. Kelas mendadak hening. Mungkin mereka mengira guru yang datang. Aku juga berpikir begitu, sampai melihatnya berdiri di ambang kelas.

Mulutku sedikit ternganga. Saka berjalan memasuki kelas dengan wajah santai.

“Pak Tomo nggak masuk,” kata Saka.

“Kamu lagi yang ngajar? Asik dong!” sahut salah satu berandal.

Dahiku mengernyit. Saka yang mengajar? Bagaimana bisa?

Kulihat, para berandal kembali ke bangku mereka masing-masing. Aku melongo. Saka bahkan tidak perlu menyuruh mereka. Kemudian, layaknya guru, Saka mulai berceloteh. Jadwal hari itu Sejarah. Saka memberi penjelasan tentang Masa Orde Lama layaknya pendongeng handal.  Di tengah-tengah penjelasannya, Saka duduk di salah satu bangku belakang. Semua penghuni kelas, kecuali aku, menggeser kursi mereka hingga mengelilinginya. Saka terlihat seperti guru TK yang sedang menceritakan dongeng pada murid-muridnya. Apa-apaan ini?

Saka tengah menjelaskan tentang 28 Kabinet pada Masa Orde Lama, ketika bel berbunyi. Tanpa terasa, dua jam pelajaran sudah berakhir. Saka berdiri. “Pe-er buat kalian. Tadi, kan, aku baru jelasin sampe Kabinet Republik Indonesia Serikat. Masih ada 18 Kabinet lagi yang belum dijelasin. Kalian jelasin ya? Kalau minggu depan Pak Tomo nggak masuk lagi, kita bahas bareng.”

Mereka semua menyahut setuju. Aku benar-benar terpana. Darimana Saka bisa mempunyai pengaruh begitu besar pada mereka?

Saat melewati mejaku, dia melirikku sejenak. Itu kali pertama kami bertatapan semenjak dia masuk kelas. Tidak ada ekspresi kaget sedikit pun di wajahnya. Aku membuang muka. Dia pasti berpikir kalau hal yang wajar aku masuk ke kelas ini. Dia pernah menjadi guru privat tidak resmi-ku kemarin. Tentu dia sedikit banyak menangkap kemampuan otakku. Menyebalkan.

“Istirahat ntar aku mau ngomong,” bisiknya, membuatku tersentak kaget.

Sebelum aku memastikan kalau Saka benar-benar mengatakan hal itu, dia sudah berjalan keluar kelas.



To be continued …


#5 - #7