Thursday, March 7, 2013

Destiny, maybe (#7)


Aku melirik Saka yang tengah asik membaca buku di sebelahku. Kami tengah duduk-duduk di depan kelasku, masih kelas terkutuk itu, menunggu jam istirahat habis. Bukan hanya duduk-duduk sebenarnya. Saka tengah membantuku mengerjakan tugas Geografi.

Sejak insiden dia mengajar di kelas waktu itu, hubungan kami membaik. Saat istirahat, kami mengobrol banyak. Saka bertanya ada apa denganku sampai bisa masuk ke kelas itu. Ternyata, yang membuatnya tidak kaget melihatku berada di kelas itu bukan karena dia menganggapku bodoh hingga pantas di sana, tetapi karena dia membaca namaku dalam daftar murid kelas ini saat pembagian kelas kemarin. Tentu saja aku juga tidak mengatakan alasan sebenarnya. Aku hanya berkata sedang banyak masalah pribadi. Dia menganggapnya sebagai masalah keluarga dan memintaku bercerita kalau tidak keberatan, tetapi dia tidak memaksa. Setelah itu, dia memberikan banyak motivasi agar aku bertahan. Dia juga berjanji akan membantuku belajar supaya saat pembagian kelas nanti, aku tidak di kelas sialan itu lagi. Sesudahnya, kami jadi sering menghabiskan waktu bersama.

Saat aku bertanya bagaimana dia bisa mengajar, dia berkata sering disuruh menggantikan guru yang tidak masuk untuk mengajar di kelas minus. Awalnya, dia dijadikan bahan ledekan oleh anak-anak di kelas itu. Tidak ada yang menghiraukannya. Aku penasaran apa yang dilakukannya hingga akhirnya para berandal itu menghargainya.

“Ikutin mau mereka,” jawab Saka. “Mereka lebih suka ngobrol daripada dengerin penjelasan guru. Pas mereka ngobrol, aku ikut. Pas mereka udah nerima aku di sana, baru aku selipin pelajaran-pelajaran di setiap obrolan. Lama-lama, mereka mau merhatiin kalau aku jelasin. Kata mereka, cara aku ngajar lebih asik daripada guru-guru itu.”

“Karena kamu bisa ikut ngobrol kalau mereka bosen, sedangkan guru-guru nggak akan ngebolehin gitu.”

Dia menyeringai. “Bisa jadi,” ucapnya, sebelum kembali ke tugas Geografiku.

Aku ikut tersenyum kecil. Benar-benar menikmati saat-saat seperti ini. Hanya saja, berdekatan dengannya sekarang sedikit memberikan semacam beban bagiku. Bukan tidak nyaman. Tetapi, setiap kali kami menghabiskan waktu, seperti sekarang, aku terus teringat Tasya. Bagaimana perasaan Tasya melihat kami? Apa dia tidak marah atau sekadar cemburu? Meskipun Saka memiliki banyak teman perempuan, tetapi dia nyaris tidak pernah terlihat berduaan saja, selain dengan Tasya. Dan sekarang denganku. Saka sendiri masih belum menceritakan tentang hubungan mereka. Dia sepertinya menganggap aku tidak tau apa-apa.

“Ngerti nggak, Fik?”

Aku mendongak, setengah linglung. Apa tadi yang dikatakannya?

“Pasti nggak,” omelnya. “Ngelamunin apa sih?”

“Tasya apa kabar?” kata-kata itu meluncur sebelum bisa kucegah.

Kulihat, Saka sedikit kaget. “Er, baik sih, kelihatannya. Kenapa emang? Kok tiba-tiba nanyain dia?”

Aku mengambil buku Geografi dari tangannya, membuka-buka halaman dengan asal, berusaha menyembunyikan salah tingkahku. “Yah, kamu, kan, ehm… pacarnya. Trus, sering berdua sama aku. Apa dia nggak marah, atau… yah, apa gitu?”

Saka terdiam lama. Sedikit terlalu lama, hingga aku harus menatapnya langsung untuk melihat bagaimana reaksinya. Suatu kesalahan. Dia juga sedang memandangiku. Bukan tatapan tajam menusuk. Tetapi, pandangan penasaran dan meneliti, seakan sedang mencoba membaca isi otakku.

“Kamu tau kalau aku sama Tasya pernah pacaran?”

“Sara cerita,” jawabku jujur. “Kalau nggak gitu, sampe sekarang mungkin aku nggak tau kalau kalian pacaran.” Dan mungkin aku juga tidak akan terjebak di kelas ini, tambahku dalam hati.

“Pernah pacaran,” ralat Saka. “Kami putus awal kelas tiga kemarin.”

Nah, ini berita baru yang benar-benar membuatku syok. Sara tidak pernah cerita kalau Saka dan Tasya sudah putus! Kenapa Sara tidak cerita?

“Sara nggak tau. Nggak ada yang tau,” jawab Saka, seakan mendengar jeritan hatiku. “Aku sama Tasya nggak pernah ngumbar apa pun. Nggak penting. Waktu jadian juga nggak bikin pengumuman. Cuma karena ada temen yang mergokin kami jalan berdua, nanya punya hubungan apa, dijawab pacaran, trus nyebar di antara anak-anak kelas.” Saka kembali mengambil buku Geografiku. “Pas putus kemarin juga gitu. Kayaknya anak-anak nggak ada yang nyadar karena sikap kami nggak berubah.”

“Kenapa putus?” tanyaku, penasaran. Kalau dia berkata karena tidak ada lagi kecocokan, aku akan meninjunya. Itu kalimat yang kugunakan saat mendepak pacar terakhirku di SMP kemarin. Kalimat klise yang menggelikan.

Saka menarik napas panjang. “Apa sih yang ada di otak anak kelas 1 SMA waktu pacaran? Cuma seneng-seneng, kan? Masih sekedar aku naksir kamu, kamu naksir aku, yuk kita pacaran, selesai. Aku nggak kepikiran mau ke mana hubungan itu nanti. Tasya juga gitu. Pokoknya, sekarang kita saling suka, sama-sama, titik.” Dia diam sejenak, sebelum melanjutkan. “Satu-satunya masa depan yang pernah kami bahas cuma mau kuliah di mana. Tasya ngincer Psikologi UGM. Aku juga mau ke sana, UGM, tapi jurusan lain. Semuanya keliatan bakal lancar. Sampe aku berubah pikiran.” Saka menyunggingkan senyum kecil. “Aku pengin lanjut ke luar.”

“Luar? Luar negeri?”

Saka mengangguk.

Aku ingin bertanya di mana, tetapi sepertinya Saka tidak mau membahas yang itu. Dia malah kembali pada cerita tentang hubungannya dan Tasya.

“Tasya dukung rencana itu. Dia malah sering ikut bantu nyari-nyari beasiswa di luar.”

“Dia nggak pengin ke luar juga?”

Saka menggeleng. “Dia bilang, di sini masih banyak sekolah bagus. Dan juga, UGM udah jadi cita-cita dia dari SD.”

“Bukan cita-cita kamu juga?”

“Bukan,” jawabnya sambil menyeringai. “Awalnya, semua damai, sampe obrolan tentang masa depan hubungan kami dibahas. Kalau aku ke luar, Tasya tetep di UGM, berarti kami harus jalin hubungan jarak jauh. Tasya nggak mau. Katanya, itu cuma hubungan yang dipaksa. Nggak akan berhasil. Daripada maksa jalan ujung-ujungnya malah rusak, mending udahan aja sebelum kami jadi saling benci. Jadi, ya udah. Selesai.”

Aku tidak pernah mengerti kenapa jarak bisa berdampak sangat besar dalam suatu hubungan. Apalagi di masa teknologi seperti sekarang. Kalau kita hidup di jaman di mana masih mengirim surat lewat burung merpati, mungkin akan jadi bencana. Tapi sekarang? putus karena jarak sepertinya alasan yang sangat bodoh, menurutku. Bukan berarti aku pernah menjalin hubungan jarak jauh atau semacamnya. “Nggak pengin nyoba dulu?” tanyaku. “Kamu masih sayang dia, kan?”

“Sayang itu… absurd,” jawabnya. “Aku nggak bisa jawab nggak. Tapi, kalau aku jawab iya, ya nggak juga. Kalau ada yang nanya pengin balik sama dia nggak, aku bakal jawab nggak. Bukan karena nggak sayang. Aku sama dia udah sepakat kalau masa kami sama-sama sebagai pacar udah selesai.” Dia mendesah. “Ribet ya?”

“Banget,” ujarku.

Dia tertawa kecil. Renyah. Tangannya memainkan buku Geografiku. “Kamu percaya kebetulan?” tanyanya tiba-tiba.

“Nggak,” jawabku. “Aku percaya Tuhan. Nggak ada kebetulan. Yang ada cuma takdir.”

“Bener juga,” cetusnya sepakat. “Jadi, anggep aja semuanya itu takdir. Aku sama Tasya pisah, trus ketemu kamu.”

Aku menatapnya dengan alis menyatu. “Maksudnya?”

Senyum simpul tersungging di sudut bibirnya, tepat ketika bel masuk terdengar. Dia mengembalikan bukuku, lalu berdiri. Tanpa menjawab pertanyaanku, dia pamit untuk kembali ke kelasnya.

Aku masih diam di tempatku selama beberapa saat. Menatap sosoknya yang menjauh. Mengingat senyum simpulnya yang barusan tersungging di depanku. Dan aku merasakannya. Debar jantungku yang seakan bersiap melompat keluar, ketika memahami maksud ucapan terakhirnya tadi.



To be continued…


#6 - #8

No comments: