Aku pernah mendengar, “Kalau ada pertemuan,
pasti ada perpisahan.”
Ada yang menyahut, “Apa guna pertemuan,
kalau akhirnya harus pisah?”
Ada lagi, “Nggak usah ngomong ‘halo’, kalau
buntutnya bakal ada ‘dadah’.”
Seperti hari yang memiliki sunrise, dan pada akhirnya akan ditutup
dengan sunset.
Aku benci perpisahan. Dalam bentuk apa pun.
Singkat atau panjang. Sementara atau selamanya. Pilihan atau takdir. Aku tidak
ingin kata ‘hai’ yang diikuti dengan ‘bye’. Daripada harus memiliki akhir,
lebih baik tidak pernah berawal, bukan?
Kamu tertawa mendengar gerutuanku itu.
Tawamu menyebalkan. Apa kamu tidak menyadari getar takut dalam suaraku? Aku
selalu menyukai tawamu. Tapi tidak malam
itu. Aku tau, kamu tau begitu tawamu berhenti. Lalu, kamu bertanya, apa aku
menyesali pertemuan kita, dengan ancaman perpisahan di baliknya? Aku bungkam.
“Ada pintu kecil di antara dua hal yang
berlawanan,” katamu, memulai. Aku diam, mendengarkan. “Termasuk ‘hai’, dan
‘bye’.”
Aku tidak perlu membuka pintu kecil itu
kalau tidak ingin mempertemukan ‘hai’ dan ‘bye’, pikirku. Aku tinggal mengunci
pintu itu, membuang kuncinya sejauh mungkin, berharap tidak pernah ditemukan.
Sederhana.
Sayangnya, tidak sesederhana itu. Aku lupa,
kunci serep selalu ada. Siapa pun bisa mendapatkannya. Ketika si kunci ternyata
jatuh ke tangan semesta, aku bisa apa? Aku menutup rapat pintu kecil itu.
Menguncinya. Kemudian, semesta mengambil alih, membuka pintu itu selebar
mungkin. Membuat ‘bye’ bertemu ‘hai’, lalu bertukar tempat.
Sekarang katakan padaku, Sayang. Apa yang
bisa kulakukan? ‘Hai’ kita sudah berubah menjadi ‘bye’. Pintu kecilnya sudah
terbuka lebar. Aku takut.
Tidak ada tawa menyebalkanmu yang menjawab
takutku. Hanya sunyi. Terlalu senyap. Semua yang berawal, memang memiliki
akhir.
Aku benci pertemuan. Di baliknya ada
perpisahan. Sesuatu yang sangat kubenci.
Seandainya malam ini kamu ada dan kembali
bertanya apakah aku menyesali pertemuan kita, kali ini aku akan menjawab.
Iya. Aku menyesali ‘hai’ kita. ‘Bye’ yang
hadir setelahnya mengacaukan hidupku. Aku lupa bagaimana aku sebelum kita
bertemu. Aku lupa bagaimana berjalan kembali menjadi aku, tanpa ada kita. Aku
terbiasa mengucap ‘hai’ dan mengakhirnya dengan ‘sampai nanti’, bukan ‘bye’.
Sayang, ijinkan aku bertanya sekali lagi.
Mengapa harus ada ‘bye’ di balik ‘hai’?
***
No comments:
Post a Comment