Wednesday, October 9, 2013

Pintu kecil di antara “Hai” dan “Bye”

Aku pernah mendengar, “Kalau ada pertemuan, pasti ada perpisahan.”
Ada yang menyahut, “Apa guna pertemuan, kalau akhirnya harus pisah?”
Ada lagi, “Nggak usah ngomong ‘halo’, kalau buntutnya bakal ada ‘dadah’.”

Seperti hari yang memiliki sunrise, dan pada akhirnya akan ditutup dengan sunset.

Aku benci perpisahan. Dalam bentuk apa pun. Singkat atau panjang. Sementara atau selamanya. Pilihan atau takdir. Aku tidak ingin kata ‘hai’ yang diikuti dengan ‘bye’. Daripada harus memiliki akhir, lebih baik tidak pernah berawal, bukan?

Kamu tertawa mendengar gerutuanku itu. Tawamu menyebalkan. Apa kamu tidak menyadari getar takut dalam suaraku? Aku selalu menyukai  tawamu. Tapi tidak malam itu. Aku tau, kamu tau begitu tawamu berhenti. Lalu, kamu bertanya, apa aku menyesali pertemuan kita, dengan ancaman perpisahan di baliknya? Aku bungkam.

“Ada pintu kecil di antara dua hal yang berlawanan,” katamu, memulai. Aku diam, mendengarkan. “Termasuk ‘hai’, dan ‘bye’.”

Aku tidak perlu membuka pintu kecil itu kalau tidak ingin mempertemukan ‘hai’ dan ‘bye’, pikirku. Aku tinggal mengunci pintu itu, membuang kuncinya sejauh mungkin, berharap tidak pernah ditemukan. Sederhana.

Sayangnya, tidak sesederhana itu. Aku lupa, kunci serep selalu ada. Siapa pun bisa mendapatkannya. Ketika si kunci ternyata jatuh ke tangan semesta, aku bisa apa? Aku menutup rapat pintu kecil itu. Menguncinya. Kemudian, semesta mengambil alih, membuka pintu itu selebar mungkin. Membuat ‘bye’ bertemu ‘hai’, lalu bertukar tempat.

Sekarang katakan padaku, Sayang. Apa yang bisa kulakukan? ‘Hai’ kita sudah berubah menjadi ‘bye’. Pintu kecilnya sudah terbuka lebar. Aku takut.

Tidak ada tawa menyebalkanmu yang menjawab takutku. Hanya sunyi. Terlalu senyap. Semua yang berawal, memang memiliki akhir.

Aku benci pertemuan. Di baliknya ada perpisahan. Sesuatu yang sangat kubenci.

Seandainya malam ini kamu ada dan kembali bertanya apakah aku menyesali pertemuan kita, kali ini aku akan menjawab.

Iya. Aku menyesali ‘hai’ kita. ‘Bye’ yang hadir setelahnya mengacaukan hidupku. Aku lupa bagaimana aku sebelum kita bertemu. Aku lupa bagaimana berjalan kembali menjadi aku, tanpa ada kita. Aku terbiasa mengucap ‘hai’ dan mengakhirnya dengan ‘sampai nanti’, bukan ‘bye’.

Sayang, ijinkan aku bertanya sekali lagi. Mengapa harus ada ‘bye’ di balik ‘hai’?


***

No comments: