Tuesday, April 30, 2013

You’re Mine (or not) (#8)


Semesta selalu menyimpan kejutan pada semua peristiwa yang telah diaturNya. Hal itu juga berlaku untukku. Di balik semua kejadian buruk yang terjadi kemarin, ada hadiah hadiah yang telah dipersiapkan.

Hasil mid semester genap kali ini menyatakan aku kembali ke Kelas Central. Aku tidak bisa menahan diri untuk ikut bersorak bersama Sara dan Anita. Akhirnya, aku keluar dari kelas terkutuk itu.

Well, kelas itu tidak sepenuhnya buruk. Menurutku, mereka bertingkah demikian karena para guru juga sudah memilih mengabaikan mereka. Itu juga yang dikatakan Saka. Padahal, jika saja para guru bisa dan tau cara mendekati mereka, suasana tidak akan sekacau itu. Memang butuh usaha lebih keras dibanding menghadapi siswa Kelas Plus dan Central, tetapi tidak terlalu sulit juga. Buktinya, Saka bisa membuat murid-murid di sana mau diajak belajar.

Saka. Senyumku selalu melebar tiap mengingat sosok itu. Entah bagaimana semuanya berawal, yang kutau sudah ada semacam hubungan yang terjalin di antara kami. Pacarankah? Entahlah. Tidak pernah ada pernyataan khusus darinya atau dariku. Tanpa pernyataan, aku seperti sudah merasakannya.

Tidak ada yang tau tentang hal itu. Bukan karena ingin bersembunyi, tetapi karena aku juga tidak ingin mengumbar semuanya. Tidak ada yang bisa diumbar, mengingat bentuk hubungan seperti apa yang terjadi pun aku belum tau. Beberapa teman Saka  sepertinya sudah menebak ada sesuatu, mengingat kami nyaris selalu menghabiskan waktu berdua saat istirahat. Tidak setiap istirahat, memang. Saka masih berkumpul dan makan di kantin dengan teman-temannya. Tetapi, dia selalu menyempatkan waktu untuk menemuiku, sekadar ngobrol lima sampai sepuluh menit, dari dua puluh menit waktu istirahat.

Sara dan Anita juga mulai mencurigaiku. Aku memang belum cerita apa-apa dengan mereka. Beberapa waktu lalu, Sara cerita tentang hubungan Saka dan Tasya yang ternyata sudah selesai sejak awal kelas tiga kemarin, persis seperti yang dikatakan Saka. Darimana Sara tau, aku tidak bertanya.

“Kamu sama Saka pacaran, Fik?” tanya Sara akhirnya, setelah beberapa minggu berlalu tanpa ada laporan sedikit pun dariku. Saat itu, kami sedang berkumpul di kamarku untuk mengerjakan pe-er Ekonomi.

Aku hanya mengangkat bahu. Bukan sok misterius, tapi karena aku benar-benar tidak tau harus menjawab apa. Seperti yang kukatakan sebelumnya, tidak ada pernyataan yang menegaskan kalau hubungan kami adalah pacaran.

“Nggak usah sok misterius ah,” sungut Anita. “Aku sama Sara tau kok. Kamu akhir-akhir ini sering banget ngabisin waktu sama dia.”

“Kamu juga nggak keliatan kaget waktu aku cerita masalah dia sama Tasya,” sambung Sara. “Jadi?”

“Nggak tau,” jawabku tanpa berpaling dari bukuku.

Sara menarik bukuku dengan kesal. “Serius, Fikaa!” omelnya.

“Lah, aku juga serius, Sar,” kataku, mencoba mengambil kembali buku di tangan Sara. “Nggak ada pernyataan apa-apa. Dia nggak nembak, aku juga nggak. Yah udah, aku jawab apa?”

“Kamu suka sama dia?” tembak Sara.

Wajahku bersemu. Dengan canggung, aku mengambil bukuku kembali dan langsung sibuk pada pe-erku. “Iya,” jawabku, tanpa menatapnya.

“Dan dia juga kayaknya suka sama kamu,” tambah Anita, bukan dalam bentuk pertanyaan. “Kenapa nggak jadian aja?”

Pertanyaan itu membuatku diam untuk beberapa saat. Benarkah harus ada pernyataan hingga sebuah hubungan bisa disebut ‘jadian’? Berdasarkan pengalaman pacaranku sebelumnya, memang selalu ada adegan tembak-menembak. Tapi dengan Saka, aku merasa hal itu tidak perlu.

“Tentu aja perlu!” sosor Sara, saat aku mengungkapkan pikiranku. “Cewek itu butuh penegasan, Fik. Bisa aja sekarang kamu bilang kalian sama-sama jalanin hubungan. Tapi, kan, tetep nggak jelas. Ntar, dia bisa lho ninggalin kamu gitu aja. Ngelesnya ya bilang, ‘Kan, kita nggak pernah bikin kesepakatan apa-apa’. Patah hati deh kamu. Gawat, kan?”

Anita mengangguk setuju. “Bener tuh Sara. Saranku sih, mending kamu ngomong sama Saka. Tegasin semuanya. Kalau emang pacaran, ya pacaran, kalau nggak, ya nggak. Jangan mau diajak jalin hubungan tanpa status. Ntar stres kayak Sara kemarin lho. Udah ngarep, ternyata cuma jadi korban PHP!”

Sebuah bantal dari Sara mendarat mulus di kepala Anita, membuatku dan Anita terbahak. “Inget aja terus!” omel Sara. Kemudian dia kembali padaku. “Tapi, dia bener, Fik. Jaman sekarang, pelaku PHP makin banyak. Jangan mau jadi korban!”

Aku menghela napas pelan. “Udah ah, kerjain aja pe-ernya dulu. Ntar aja ngurusin itu.”

Kedua temanku menurut.

Saat mereka pulang, aku memikirkan percakapan kami. Semakin kupikirkan, aku semakin gelisah. Tadinya, aku yakin adegan tembak-menembak dan pernyataan cinta tidak diperlukan untuk memastikan hubunganku dan Saka. Sekarang, aku ragu. Bagaimana kalau ucapan Sara dan Anita benar? Saka tidak pernah secara gamblang menyatakan kalau dia menyukaiku. Semuanya jadi terasa samar. Sepertinya, aku benar-benar butuh kepastian.

Kuputuskan untuk menghubunginya malam ini juga. Daripada aku tidak bisa tidur karena otakku penuh, lebih baik diselesaikan secepatnya. Karena tidak berani menelepon dan mendengar suaranya langsung, aku memilih mengirim pesan singkat.

“Kita sekarang gimana sih?”

Message Send to Saka.

Setelah muncul tulisan Delivered di layar ponselku, aku meremas benda itu dengan gugup, memikirkan apa jawaban Saka.

Dering ponsel yang tiba-tiba mengangetkanku, membuatnya nyaris terlepas dari genggaman. Telepon, dari Saka. Jantungku makin berdetak tidak karuan. Aku menarik napas beberapa kali sebelum menjawab panggilannya.

“Gimana apanya?” tanya Saka, setelah aku menyapanya.

“Yah, gimana,” jawabku, sambil menggaruk leher.

“Emang kita kenapa?”

DEG! Kata-kata itu membuatku terdiam. Apa aku salah menangkap sinyal? Apa aku hanya kege-eran menanggapi sifat baiknya? Bagaimana kalau ‘jalinan’ itu hanya imajinasiku? Sialan! Tiba-tiba, aku ingin segera menutup telepon ini.

“Fika?” panggilnya.

Aku tidak tau harus menjawab apa. Jadi aku hanya diam. Ya ampun! Kalau memang semua itu hanya perasaanku, aku tidak tau harus bersikap bagaimana di depannya nanti. Ini benar-benar memalukan! Seharusnya aku tidak perlu mengirim SMS konyol itu! seharusnya aku tidak usah mengikuti omongan Sara dan Anita! Seharusnya kubiarkan saja semuanya mengalir, bagaimana pun jadinya. Semua itu jauh lebih baik daripada harus mempermalukan diri seperti ini.

“Hei? Rafika? Kamu masih di sana?” Suaranya terdengar cemas. Hanya perasaanku?

“I… iya,” jawabku, tergagap. Tiba-tiba aku ingin menangis.

Saka diam. Aku juga diam. Sambungan telepon masih terhubung. Setelah menunggu beberapa saat dan tidak juga ada suara darinya, jemariku refleks menekan tombol ‘end’. Mataku panas. Perasaanku kacau. Semuanya berantakan, justru saat kukira akan baik-baik saja.

Aku melemparkan ponsel ke kasur, lalu menarik kaki dan memeluk kedua lututku. Aku merasa sangat bodoh. Bagaimana mungkin aku bisa salah menangkap sinyal darinya? Seharusnya aku tau. Hanya karena dia pernah mengatakan pesan samar tentang takdir itu, bukan berarti itu merupakan pernyataan cinta.

Aku butuh menenangkan diri dari mimpi buruk ini. Setelah mematikan ponsel, aku mengubur diri di bawah selimut. Dalam hati, aku sudah bertekad tidak akan mau menemuinya lagi.




to be continued…


#7 - #9

Friday, April 5, 2013

Antara Wonderfully Stupid & Lovhobia

*ngetik postingan ini dengan mata segaris. maap buat segala kekurangan. nanti kalau ada waktu dan mata lebih seger, yang kurang bakal dibenahi*

Mari kita mulai.

Beberapa waktu yang lalu, sepupu yang ada di Jambi ngirim BBM, bilang kalau dia udah baca Lovhobia dan ceritanya bikin dia nangis. Beberapa hari sebelumnya, ada juga temen yang cerita lewat DM bilang hal yang sama, ceritanya bikin nangis. Setelah itu, ada lagi yang mention di twitter dan ngasih tanggapan sama.

Reaksiku atas semua tanggapan itu rata-rata sama. Nanya, bagian mana yang bikin nangis? Dan jawaban mereka pun rata-rata sama (gak mau spoiler. Baca sendiri ya :p)


Sebelum mulai ngoceh panjang lebar, aku mau ngucapin makasih banget banget buat Mbak Ikhdah sama Mbak Dila, editor kece, yang ikut mengurusi anak keduaku itu. Tanpa campur tangan mereka, khususnya Mbak Ikhdah, mungkin air mata yang baca gak sampe keluar. Ya, editor itu pahlawan tanpa tanda jasa buat penulis :')


Lanjut.

Karena cerita Wonderfully Stupid dan Lovhobia ini, bisa dibilang, berhubungan, banding-membandingkan pun gak luput. Dari hasil laporan dan kepo dikit-dikit, ada yang lebih suka Wonderfully Stupid, ada juga yang lebih suka cerita Lovhobia. Karena itu, aku mau coba mengupas sedikit tentang dua novel unyu-ku itu dan apa perbedaan serta kelebihan masing-masing dari mereka. Cekidot!


1. Wonderfully Stupid

Naskah awal novel ini, kayak yang udah pernah aku bilang, kali pertama aku tulis waktu masih kelas 2 SMA. Atau kelas XI. Terserahlah, samimawon. Kala itu, pikiranku masih dipenuhi berbagai hal indah seputar cinta masa remaja, dengan iming-iming masa SMA sebagai masa paling indah, dan semacamnya. Masa SMAku pas kelas itu, biasa aja. Gak kayak cerita di pilem-pilem yang kayaknya huwaw banget.

Flat. Datar. Karena gak bisa dapet kehidupan seru yang nyata, aku milih buat kabur ke dunia lain. Dunia tulis. Saat itulah Wonderfully Stupid lahir.

Konflik yang aku angkat di sini, konflik yang kemungkinan besar pernah di alami abege mana pun. Seorang cewek yang naksir sahabatnya, tapi bertepuk sebelah tangan, sementara ada cowok lain yang naksir dia, tapi diabaikan. Simpel. Terus, apa bedanya sama cerita sejenis yang lain?

Sadar dengan temaku yang biasa, aku harus cari cara biar novel ini menarik dan beda dari cerita yang udah ada. Buat yang baca, pasti kenal dengan sosok Arsen, karakter utama yang, bisa aku bilang, berperan penting di novel ini. Bukan cuma di cerita, tapi juga 'lihai' merebut hati pembaca. Kalian tau, gak ada yang lebih membahagiakan bagi penulis dibanding saat dia tau kalau karyanya dihargai dan disukai. Di sini kayaknya aku wajib, kudu, mesti, berterima kasih sama semua temen-temen pembaca, yang rela meluangkan waktunya buat baca tulisanku. Aku selalu senyum sendiri tiap ada temen-temen yang mention, bilang dia udah baca novelnya dan suka sama Arsen. Banyak juga yang nanya, Arsen itu beneran ada atau gak. Bahkan, pernah ada yang laporan kalau ada yang bikin akun twitter si Arsen itu (lupa akunnya apa. Cari ajalah "Andersen Jade Calvin", kalo berminat :p). Dan itu, bener-bener bikin seneng *selain pas royalti cair* hahaha.

Selain itu, Wonderfully Stupid juga menyuguhkan ending yang mengejutkan dan manis. Apakah itu? Baca dong makanya :D


2. Lovhobia

Beda sama Wonderfully Stupid yang aku tulis waktu, yah anggap saja, masih abege, Lovhobia kali pertama aku tulis di tahun kedua kuliah, sekitar semester 4 atau 5. Di sini, pola pikirnya sudah lebih beda. Aku gak cuma mikirin tentang cinta anak muda *eaaa, bahasamu*, tapi juga tertantang buat mengusung konflik yang sedikit lebih serius.

Yang pertama, cari tema besar. Apa masalah yang mau diambil? Tentang cowok yang takut jatuh cinta. Kenapa dia bisa takut jatuh cinta? Kalau dibikin karena dia pernah patah hati, menurutku jatuhnya gak beda dengan konflik di Wonderfully Stupid, berkisar antara kisah cinta sejoli yang masih muda. Supaya lebih cetar menggelegar badai, aku coba usung masalah yang lebih serius. Apa itu? Masalah keluarga. Gak ada hal traumatis yang lebih ditakutin anak-anak dibanding lihat hubungan orangtuanya yang gak harmonis. Dan inilah yang dialami sosok Gefan, tokoh utama di novel ini.

Terus? Gak ada cinta-cintaannya dong? Tentu ada. Aku spesialis cerita romance (ngasih julukan buat diri sendiri, biarin aje), jadi bakal ngerasa ada yang kurang kalau gak ada cinta-cintanya. Cuma, kisah cintanya gak seunyu Arsen-Lanna. Tapi, maknanya lebih dalam. Tentang gimana caranya seorang cewek meluluhkan hati seorang cowok yang udah terlanjur gak percaya dan takut sama cinta.

Berarti, cerita cinta di Wonderfully Stupid gak bermakna dong? Lovhobia yang lebih bermakna gitu?

Kata siapa? Semuanya bermakna, cuma dengan cara yang beda. Semuanya tentang perjuangan cinta, tapi dengan penyajian yang gak sama.



Di Wonderfully Stupid, aku menyajikan cerita cinta sederhana lewat kegigihan Arsen memperjuangkan apa yang menurutnya layak diperjuangkan. Gak peduli itu bikin dia jadi bodoh, gak peduli apa aja yang harus dia lakuin, yang ada di kepalanya, terus berjuang buat dapetin Lanna. Juga kegigihan Lanna buat setia sama kebodohannya buat nunggu Ega, padahal cowok itu sudah ngasih pertanda jelas kalau dia gak ada rasa apa-apa. Tentang gimana akhirnya mereka luluh dan ngalah sama ego masing-masing, terus bisa jalan di satu jalur, beriringan. Happy Ending....

Di Lovhobia, aku menyajikan cerita cinta sederhana lewat kegigihan Aura narik Gefan supaya keluar dari dunia suramnya, supaya bisa percaya kalau semua manusia berhak jatuh cinta, berhak dicintai, gak peduli apa pun yang terjadi nanti, yang penting apa yang bisa mereka jalani sekarang. Tentang Gefan yang gigih sama prinsip dan pikirannya tentang cinta yang kejam. Tentang gimana akhirnya kekeras-kepalaan mereka mencair dan mau coba buat jalan bergandengan, bersisian. Happy Ending....



Ada satu saran dari aku buat temen-temen pembaca. Sebelum mulai baca Lovhobia, tutup Wonderfully Stupid. Buat sejenak, fokus ke Lovhobia. Karena kedua buku ini punya alur cerita yang cukup kontras. Meskipun berhubungan, mereka beda. Layaknya dua saudara yang punya kelebihan dan ciri khas masing-masing, gak peduli meskipun mereka dikandung oleh orang yang sama. Simpelnya, sebelum mulai baca Lovhobia, move on lah dari Wonderfully Stupid :))




Ps: Kalau ada yang nanya apa Lovhobia lanjutan Wonderfully Stupid, jawabannya iya dan gak. Cerita di Lovhobia emang lanjutan kehidupan para tokoh Wonderfully Stupid, tapi kalian gak harus baca berurutan karena gak bener-bener nyambung. Bukan model sekuel kayak Harry Potter atau Twilight Saga yang mesti dibaca urutan. Kalian bisa baca dari Lovhobia dulu, tapi akan lebih baik kalau baca Wonderfully Stupid yang pertama *teteup promosi*


Selamat Membaca :))


-Elsa Puspita-