Tidak ada yang berbeda dengan malam Minggu kali ini. Memangnya,
seistimewa apa malam Minggu yang bisa didapat seorang jomblo? Sebahagia apa pun
sebagai jomblo, tetap saja malam Minggu sendirian. Yah, beberapa jomblo
beruntung mungkin bisa menghabiskan waktu dengan teman-temannya. Tapi, aku
tidak.
Balkon kosan tampak lebih menarik malam ini, dibanding
duduk-duduk di café berjam-jam hanya dengan secangkir kopi yang harganya bisa
untuk tiga kali makan. Aku menyulut rokok, berusaha mengusir semilir angin yang
berembus. Tidak ada pemandangan istimewa dari balkon belakang kosanku ini. Hanya
perkampungan dengan pohon-pohon besar, dan sungai. Saat-saat seperti ini, arus
sungai sedang tidak terlalu deras hingga suaranya pun tidak kencang. Suara tokek
dan jangkrik yang seolah saling bersahutan menjadi latar musik lamunanku.
Jangan bertanya apa yang kulamunkan. Aku membiarkan saja
pikiranku melalang buana ke mana pun yang dia mau.
Sampai aku menyadari satu hal yang berbeda. Sebuah jendela
yang berasal dari bangunan di sebelah kosanku terbuka. Aku baru kali ini
melihatnya terbuka selama beberapa bulan tinggal di sini. Jendela itu tidak
sendirian. Sesosok makhluk tampak termenung di tepinya.
Makhluk itu berwujud perempuan. Dengan rambut berpotongan layer pendek, memperlihatkan sedikit
lehernya. Pandangan si wanita mengarah ke bawah jendela, tampak melamun. Mungkin
sama sepertiku, dia tidak sedang memikirkan apa-apa, hanya sekadar membiarkan
pikirannya berkeliaran sesuka hari.
Semilir angin kembali berembus pelan. Kali ini aku melihat
rambutnya bertiup, menerpa wajahnya yang masih belum terlihat jelas. Jemarinya bergerak
menepis rambut-rambut nakal itu. Tanpa sengaja, dia menoleh.
Sepersekian detik, kami bertatapan. Aku melempar senyum. Dia
tampak kaget, lalu buru-buru masuk dan menutup jendela.
Aku mengisap rokok dalam-dalam, belum mengalihkan pandangan
dari jendela itu. Hingga malam semakin larut dan aku memutuskan masuk.
***
Beginilah malam Mingguku berikutnya. Masih di balkon yang
sama, pemandangan belakang yang sama, semilir angin yang sama. Sesosok wajah di
celah jendela itu tidak kembali. Jendelanya tertutup rapat, tidak pernah dibuka
lagi.
Pernah beberapa kali aku iseng melempar kerikil ke jendela
itu, berharap sosok itu terganggu dan keluar. Semua kerikilku diabaikan, atau
dia memang tidak mendengar.
Malam ini aku mencoba tidak berharap lagi. Kubiarkan jendela
itu tertutup semaunya. Ada satu kerikil
lagi, namun kali ini hanya kulempar-tangkap di tanganku, tidak ke arah jendela
itu. Aku menahan diri.
Di penghujung malam, sebelum memutuskan masuk, aku ingin
mencoba peruntungan terakhir. Menatap jendela itu beberapa saat, kemudian, aku
mengambil ancang-ancang melempar si kerikil. Kerikil sudah terlempar, jendela
bergerak terbuka. Sosok yang kunanti melongokan kepala, membuat si kerikil
kurang ajar itu mendarat di pelipisnya.
Aku mendengar suara mengaduh pelan. Bukannya berlari masuk,
aku malah diam di sana, setengah tidak percaya kalau aku baru saja melempari
gadis itu dengan kerikil. Dia menoleh, menatapku dengan raut kesal. Aku melempar
senyum salah tingkah, sedikit merasa bersalah, namun terselip rasa senang.
Aku mengangkat tangan. “Hai,” sapaku.
Dia menatapku beberapa saat. Rautnya masih tampak kesal. Namun,
kemudian dia membalas sapaanku.
Dari sana semuanya bermula. Aku pindah ke sudut balkon yang
paling dekat dengan jendelanya. Seakan tidak peduli ada yang mendengar, kami
berbincang banyak. Membicarakan apa pun.
Yah. Beginilah malam Minggu berlalu seharusnya …
***
No comments:
Post a Comment