Sunday, October 27, 2013

Wajah di Celah Jendela

Tidak ada yang berbeda dengan malam Minggu kali ini. Memangnya, seistimewa apa malam Minggu yang bisa didapat seorang jomblo? Sebahagia apa pun sebagai jomblo, tetap saja malam Minggu sendirian. Yah, beberapa jomblo beruntung mungkin bisa menghabiskan waktu dengan teman-temannya. Tapi, aku tidak.

Balkon kosan tampak lebih menarik malam ini, dibanding duduk-duduk di café berjam-jam hanya dengan secangkir kopi yang harganya bisa untuk tiga kali makan. Aku menyulut rokok, berusaha mengusir semilir angin yang berembus. Tidak ada pemandangan istimewa dari balkon belakang kosanku ini. Hanya perkampungan dengan pohon-pohon besar, dan sungai. Saat-saat seperti ini, arus sungai sedang tidak terlalu deras hingga suaranya pun tidak kencang. Suara tokek dan jangkrik yang seolah saling bersahutan menjadi latar musik lamunanku.

Jangan bertanya apa yang kulamunkan. Aku membiarkan saja pikiranku melalang buana ke mana pun yang dia mau.

Sampai aku menyadari satu hal yang berbeda. Sebuah jendela yang berasal dari bangunan di sebelah kosanku terbuka. Aku baru kali ini melihatnya terbuka selama beberapa bulan tinggal di sini. Jendela itu tidak sendirian. Sesosok makhluk tampak termenung di tepinya.

Makhluk itu berwujud perempuan. Dengan rambut berpotongan layer pendek, memperlihatkan sedikit lehernya. Pandangan si wanita mengarah ke bawah jendela, tampak melamun. Mungkin sama sepertiku, dia tidak sedang memikirkan apa-apa, hanya sekadar membiarkan pikirannya berkeliaran sesuka hari.

Semilir angin kembali berembus pelan. Kali ini aku melihat rambutnya bertiup, menerpa wajahnya yang masih belum terlihat jelas. Jemarinya bergerak menepis rambut-rambut nakal itu. Tanpa sengaja, dia menoleh.

Sepersekian detik, kami bertatapan. Aku melempar senyum. Dia tampak kaget, lalu buru-buru masuk dan menutup jendela.

Aku mengisap rokok dalam-dalam, belum mengalihkan pandangan dari jendela itu. Hingga malam semakin larut dan aku memutuskan masuk.

***

Beginilah malam Mingguku berikutnya. Masih di balkon yang sama, pemandangan belakang yang sama, semilir angin yang sama. Sesosok wajah di celah jendela itu tidak kembali. Jendelanya tertutup rapat, tidak pernah dibuka lagi.

Pernah beberapa kali aku iseng melempar kerikil ke jendela itu, berharap sosok itu terganggu dan keluar. Semua kerikilku diabaikan, atau dia memang tidak mendengar.

Malam ini aku mencoba tidak berharap lagi. Kubiarkan jendela  itu tertutup semaunya. Ada satu kerikil lagi, namun kali ini hanya kulempar-tangkap di tanganku, tidak ke arah jendela itu. Aku menahan diri.

Di penghujung malam, sebelum memutuskan masuk, aku ingin mencoba peruntungan terakhir. Menatap jendela itu beberapa saat, kemudian, aku mengambil ancang-ancang melempar si kerikil. Kerikil sudah terlempar, jendela bergerak terbuka. Sosok yang kunanti melongokan kepala, membuat si kerikil kurang ajar itu mendarat di pelipisnya.

Aku mendengar suara mengaduh pelan. Bukannya berlari masuk, aku malah diam di sana, setengah tidak percaya kalau aku baru saja melempari gadis itu dengan kerikil. Dia menoleh, menatapku dengan raut kesal. Aku melempar senyum salah tingkah, sedikit merasa bersalah, namun terselip rasa senang.

Aku mengangkat tangan. “Hai,” sapaku.

Dia menatapku beberapa saat. Rautnya masih tampak kesal. Namun, kemudian dia membalas sapaanku.

Dari sana semuanya bermula. Aku pindah ke sudut balkon yang paling dekat dengan jendelanya. Seakan tidak peduli ada yang mendengar, kami berbincang banyak. Membicarakan apa pun.

Yah. Beginilah malam Minggu berlalu seharusnya …


***

Wednesday, October 9, 2013

Pintu kecil di antara “Hai” dan “Bye”

Aku pernah mendengar, “Kalau ada pertemuan, pasti ada perpisahan.”
Ada yang menyahut, “Apa guna pertemuan, kalau akhirnya harus pisah?”
Ada lagi, “Nggak usah ngomong ‘halo’, kalau buntutnya bakal ada ‘dadah’.”

Seperti hari yang memiliki sunrise, dan pada akhirnya akan ditutup dengan sunset.

Aku benci perpisahan. Dalam bentuk apa pun. Singkat atau panjang. Sementara atau selamanya. Pilihan atau takdir. Aku tidak ingin kata ‘hai’ yang diikuti dengan ‘bye’. Daripada harus memiliki akhir, lebih baik tidak pernah berawal, bukan?

Kamu tertawa mendengar gerutuanku itu. Tawamu menyebalkan. Apa kamu tidak menyadari getar takut dalam suaraku? Aku selalu menyukai  tawamu. Tapi tidak malam itu. Aku tau, kamu tau begitu tawamu berhenti. Lalu, kamu bertanya, apa aku menyesali pertemuan kita, dengan ancaman perpisahan di baliknya? Aku bungkam.

“Ada pintu kecil di antara dua hal yang berlawanan,” katamu, memulai. Aku diam, mendengarkan. “Termasuk ‘hai’, dan ‘bye’.”

Aku tidak perlu membuka pintu kecil itu kalau tidak ingin mempertemukan ‘hai’ dan ‘bye’, pikirku. Aku tinggal mengunci pintu itu, membuang kuncinya sejauh mungkin, berharap tidak pernah ditemukan. Sederhana.

Sayangnya, tidak sesederhana itu. Aku lupa, kunci serep selalu ada. Siapa pun bisa mendapatkannya. Ketika si kunci ternyata jatuh ke tangan semesta, aku bisa apa? Aku menutup rapat pintu kecil itu. Menguncinya. Kemudian, semesta mengambil alih, membuka pintu itu selebar mungkin. Membuat ‘bye’ bertemu ‘hai’, lalu bertukar tempat.

Sekarang katakan padaku, Sayang. Apa yang bisa kulakukan? ‘Hai’ kita sudah berubah menjadi ‘bye’. Pintu kecilnya sudah terbuka lebar. Aku takut.

Tidak ada tawa menyebalkanmu yang menjawab takutku. Hanya sunyi. Terlalu senyap. Semua yang berawal, memang memiliki akhir.

Aku benci pertemuan. Di baliknya ada perpisahan. Sesuatu yang sangat kubenci.

Seandainya malam ini kamu ada dan kembali bertanya apakah aku menyesali pertemuan kita, kali ini aku akan menjawab.

Iya. Aku menyesali ‘hai’ kita. ‘Bye’ yang hadir setelahnya mengacaukan hidupku. Aku lupa bagaimana aku sebelum kita bertemu. Aku lupa bagaimana berjalan kembali menjadi aku, tanpa ada kita. Aku terbiasa mengucap ‘hai’ dan mengakhirnya dengan ‘sampai nanti’, bukan ‘bye’.

Sayang, ijinkan aku bertanya sekali lagi. Mengapa harus ada ‘bye’ di balik ‘hai’?


***