Sunday, December 30, 2012

It’s Just a Feeling (#4)


Ada yang salah dengan diriku. Belakangan ini, aku selalu uring-uringan. Sara dan Anita sudah berkali-kali bertanya ada apa, tapi aku tidak bisa menjelaskannya. Jadi kujawab saja kalau aku makin stres karena kelas itu. Aku selalu meyakinkan diri ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan Saka dan Tasya yang terlihat semakin mesra di mataku. Sama sekali tidak ada. Mungkin, aku hanya mengalami pra-menstruasi sindrom atau semacamnya yang menyebabkan semakin banyak hormon bergejolak di tubuhku dan membuatku selalu ingin marah. PMS yang berlangsung sepanjang minggu.

Saka tampaknya juga mulai menyadari ada yang tidak beres denganku. Sesekali aku menangkapnya tengah memandangku dengan alis bertaut. Dahinya berkerut dengan sorot penasaran. Aku hanya mendelik galak padanya tanpa mengucapkan apa-apa. Pernah dia mencoba bertanya dan aku membentaknya. Setelah itu, dia tidak mencoba lagi. Mungkin, bentakkanku terlalu kasar, tapi aku tidak peduli. Sudah seharusnya dia menjauh. Toh, dia juga sudah punya pacar yang pintar dan cantik seperti Tasya.

Karena hubungan kami merenggang, suasana di kelas itu menjadi jauh lebih buruk buatku. Aku benar-benar ingin segera pergi dari sana, kembali ke kelasku yang normal. Meninggalkan segala tekanan menyebalkan ini. Dan menjauh dari Saka.

“Fika?”

Aku mengangkat wajah dari novel yang kubaca. Saka tengah menatapku dari bangkunya dengan tatapan ragu. “Apa?” balasku dengan nada datar.

“Aku bikin salah ya?”

Aku sedikit terkejut dengan pertanyaannya. Mengapa dia berpikir seperti itu? “Nggak,” jawabku. “Kenapa emangnya?”

Saka mengangkat bahu, seraya menyandarkan punggungnya. Jemarinya memutar-mutar pulpen sehingga menimbulkan bunyi ketukan dengan meja.  “Kamu aneh,” gumamnya. “Nggak cuma pendiem, tapi jadi dingin.”

“Aku baik-baik aja,” jawabku tak acuh, kembali pada novelku. Aku merasakan Saka masih menatapku dengan sorot penasaran dan benar-benar berharap lelaki itu tidak mendengar degup jantungku yang berantakan. Aku tidak tau apa yang terjadi. Mengapa tiba-tiba aku merasa gugup berada di sebelah lelaki ini?

“Beneran?”

Belum sempat aku menjawab, terdengar panggilan namanya dari depan kelas. Kami menoleh, dan melihat Tasya melambai pada Saka.

“Ikut ke kantin nggak?” tanya gadis itu.

“Oh,” Saka bangkit dari bangkunya. “Iya,” jawabnya, lalu berpaling padaku. “Kamu nggak pernah ikut kita makan di kantin,” ujarnya.

Aku tau itu bukan pertanyaan. Dia juga tidak mengajakku. Jadi aku hanya berkata, “Terus?”

Sekali lagi, Saka memandangku dengan heran, lalu berjalan menyusul Tasya. Kekasihnya. Aku berusaha memusatkan pikiran pada novel yang tengah kubaca. Tetapi, kali ini kata-kata di sana hanya berlalu, tanpa ada yang masuk ke otakku. Akhirnya aku menutup novel itu sambil mendesah.

Ada apa ini? Mengapa perasaanku jadi sangat kacau? Ada semacam perasaan kehilangan. Aku baru menyadari kalau selama di kelas ini, aku sangat bergantung pada Saka. Selain tingkah santainya yang kadang membuatku makin tertekan, lelaki itu tidak pernah keberatan membantuku memahami pelajaran yang sulit kumengerti. Dia mengajariku dengan sangat sabar. Memaklumi otakku yang kadang sedikit susah menangkap penjelasan atau mengingat sesuatu. Tanpa terasa, aku merasa dekat dengannya. Dan memang dia yang paling dekat denganku di kelas ini.

Sampai aku mengetahui kalau ternyata dia berpacaran dengan Tasya. Seharusnya hal itu sama sekali tidak menggangguku. Untuk apa aku merasa terganggu? Saka memang sangat baik padaku, juga pada orang lain, dan tidak ada apa-apa di antara kami. Awalnya, kupikir aku hanya kecewa karena mendengar berita itu dari orang lain, bukan dari Saka langsung. Tapi, sekarang alasan itu terasa tidak masuk akal. Saka tidak memiliki kewajiban untuk memberitahuku. Mengapa aku harus seperti ini?

Menghela napas, aku membenamkan wajah di meja, bertumpu pada lenganku yang terlipat. Beberapa saat kemudian, terdengar suara tawa-tawa dan langkah-langkah kaki memasuki kelas. Aku tidak mengangkat kepala. Saat menyadari ada yang duduk di sebelahku pun aku tetap bergeming. Aku tau itu Saka. Entah sejak kapan, aku sudah mengenali aroma tubuhnya. Semakin membuatku kacau balau.

Tiba-tiba, aku merasa sesuatu yang dingin menyentuh lenganku. Aku mengangkat kepala dan melihat Saka menyodorkan sekaleng softdrink padaku.

“Aku nggak tau apa yang salah, sebenernya juga aku nggak ngerasa bikin salah apa-apa. Tapi, kayaknya kamu emang lagi marah atau kesel sama aku. Aku pengen minta maaf, tapi nggak tau minta maaf buat apa. Jadi…” dia meletakkan kaleng itu di mejaku. “Anggep aja itu sogokkan supaya kamu nggak marah lagi.”

Aku menatap kaleng minuman di depanku dan sosok Saka bergantian. Mataku tiba-tiba terasa panas. Oh, Tuhan. Ini benar-benar konyol. Aku berdiri, mengembalikan minuman itu pada Saka. “Kamu mau tau apa yang salah?” tanyaku dengan nada sedatar yang kumampu, sementara suaraku sedikit bergetar. “Kamu selalu baik, dan aku nggak bisa nerima kebaikan itu. Jadi, berhenti bersikap baik sama aku.” Lalu aku berjalan meninggalkan kelas, persis adegan sinetron yang sering kutonton.

Ini terasa semakin menyebalkan. Aku membiarkan kakiku melangkah ke mana saja, menjauh dari kelas sialan itu dan lelaki sialan di dalamnya. Aku menoleh ke belakang, entah untuk apa. Mungkin berharap Saka mengejarku dan meminta penjelasan atas sikap konyolku. Bukankah di sinetron biasanya seperti itu?

Tunggu dulu…. Sejak kapan aku ingin hidupku seperti di sinetron? Dan demi Tuhan! Mengapa aku harus sampai seperti ini hanya gara-gara seorang lelaki? Selama ini, aku selalu bangga tidak pernah membiarkan otakku rusak hanya karena memikirkan seorang laki-laki. Aku mengumpat dalam hati, seraya berbalik kembali ke kelas. Aku akan menjalani sisa waktu sebulan ini sebiasa mungkin. Mengontrol nilaiku hingga bisa kembali ke kelas Central. Dan menjauhi Saka.

Ya. Tinggal satu bulan. Setelah itu, aku kembali ke kehidupan normalku lagi.



-to be continued…

 #3 - #5

What the …. (#3)


Aku berhasil melalui bulan pertama di kelas ‘neraka’ itu dengan damai.

Ralat.

Tidak sepenuhnya damai. Aku tertekan! Nyaris gila! Mereka semua seperti bukan manusia. Entah apa yang mereka makan hingga bisa mempunyai otak seperti itu. Dan aku benar-benar tidak tau apa dosa yang telah kuperbuat hingga harus menerima siksaan batin seperti ini. Aku sudah terbiasa mengikuti pelajaran dengan santai, tanpa harus menerima tekanan apa pun.

Sara dan Anita tampak kasihan padaku setelah aku menumpahkan semua keluhan pada mereka. Sara mengusulkan agar aku pindah kelas saja, yang langsung di bantah oleh Anita dengan mengatakan aku tidak boleh menyerah.

“Tinggal dua bulan,” kata Anita, menyemangati.

“Serasa dua tahun,” sungutku.

“Emang anak-anaknya parah banget ya?”

Aku menyeruput pop ice coklatku. “Yah, nggak sih. Mereka baik. Awalnya emang agak kaku, tapi sekarang udah lebih enak. Tapi, yah mereka itu terlalu serius. Tiap belajar, bawaannya tegang terus. Aku jadi stres sendiri. Coba kalo ada yang rileks, satu orang aja, mungkin aku juga bisa sedikit rileks.” Lalu aku terdiam, teringat cowok yang duduk di sebelahku. “Ada sih yang sebenernya yang bisa santai di sana. Tapi,” aku menghela napas. “Sikap santainya malah bikin aku makin stres.”

“Siapa?” tanya Sara dan Anita bersamaan.

“Saka,” jawabku pelan. Lalu aku berbisik. “Gila ya, tuh anak di kelas kelewat santai.”

“Nggak merhatiin guru?” tanya Anita.

“Yah, merhatiin sih. Tapi, gak serius kayak anak-anak lain. Kalo bosen dengerin guru ngomong, dia tiduran, coret-coret meja. Trus, tiap ditanya, pasti bisa jawab. Nyaris sempurna terus pula jawaban dia. Bikin makin tertekan.”

“Bagus dong. Kamu minta satu yang santai, tuh dia santai,” kata Anita.

“Dia santai gitu aja bisa jadi juara umum, gimana kalo dia beneran belajar?”

“Dia belajar kok,” ujar Sara. “Gitu cara dia belajar. Santai, tapi masuk. Kalo dia terlalu serius, jadinya tertekan, malah berantakan.”

Aku dan Anita kompak menatapnya.

“Kok tau?” tanyaku. “Emang kamu kenal sama dia?”

“Dia pacarnya Tasya. Aku, kan, sering ikut mereka jalan kalo lagi iseng. Kencan mereka itu ya nyambi belajar. Kata Tasya, Saka lebih suka belajar di luar ruangan. Pikirannya bisa lebih seger. Nggak sumpek kayak di kelas. Di kelas, dia cuma dengerin aja omongan guru, kalo belajar benerannya ya waktu bareng Tasya itu,” jelas Sara panjang.

“Ih, nyeremin ah. Di mana-mana kencan itu ya buat pacaran, cinta-cintaan gitu. Masa nyambi belajar sih? Nggak normal tuh mereka,” cibir Anita.

“Saka pacaran sama Tasya?” tanyaku, seakan tidak mendengar penjelasan Sara yang lain. “Kok di kelas biasa aja?”

“Kamu maunya gimana?” tanya Sara. “Peluk-pelukan di kelas?”

“Yah, nggak gitu juga,” ujarku. “Tapi, biasanya kan kalo orang pacaran itu keliatan. Mereka kok kayak temenan biasa aja. Saka malah lebih sering jahilin Tasya daripada romantis-romantisan.”

“Iya, emang dua-duanya kurang waras. Tapi, mungkin karena itu mereka awet. Udah jalan tiga tahun lho. Keren ya?” Sara menyeruput minumannya.

Aku ikut menyeruput minumanku tanpa suara. Sibuk bermain dengan pikiranku sendiri. Jadi, Saka sudah mempunyai pacar. Informasi itu cukup mengejutkanku. Di mataku, Saka sosok yang menyenangkan sebagai seorang teman. Aku tidak pernah membayangkannya memiliki pacar. Bukannya hubungan kami dekat atau apa. Hanya saja, yah… begitulah. Aku tidak bisa menjelaskannya.

Selesai memuaskan perut masing-masing, kami kembali ke kelas. Aku menangkap pemandangan kelas yang sudah akrab. Sekelompok murid yang duduk di barisan tengah berkumpul sambil berdiskusi. Aku tidak pernah ikut dalam diskusi mereka. Bukan hanya karena aku merasa bukan bagian kelompok, tapi karena kepiawaianku yang payah dalam bergaul. Mereka beberapa kali mengajakku bergabung, terutama Saka yang sepertinya memahami penderitaanku di kelas itu. Dia seperti berusaha membuatku betah di sana. Benar-benar lelaki yang baik.

Tanpa sadar, aku bertumpu dagu sambil menatap Saka yang tengah duduk di sebelah Tasya sambil menghadap sebuah buku yang terbuka. Mungkin karena informasi yang baru kudapat tadi, kali ini aku bisa melihat perbedaannya. Saka memang dekat dengan semua penghuni kelas. Tetapi, Tasya mendapat perlakuan nerbeda. Caranya menggoda Tasya, tidak sama dengan caranya menggoda penghuni lain. Cara mereka saling melempar ledekan juga berbeda. Memang tidak terlihat mesra atau menggelikan seperti pasangan umumnya. Hanya saja, jika orang sudah mengetahui hubungan mereka, pasti bisa merasakannya. Bagaimana mungkin aku tidak menyadarinya sebelum ini?

Saat bel masuk berbunyi, Saka kembali ke bangkunya, di sebelahku. Dia melempar senyum kecil padaku, seperti biasa. Namun, kali ini aku tidak berminat membalas senyumnya, entah mengapa. Jadi, aku hanya mengangguk kecil, lalu pura-pura sibuk mengeluarkan buku. Saka tampaknya tidak merasakan keanehanku, karena dia juga sudah sibuk dengan bukunya. Aku mendesah, tiba-tiba merasa kesal pada Saka dan pada diriku sendiri.



-to be continued…


#2 - #4

Friday, December 7, 2012

We Meet Again... (#2)


Salah satu sistem di sekolah yang membuatku ketar-ketir adalah peraturan me-rolling siswa secara teratur. Setiap pertengahan dan akhir semester, akan diadakan ujian bagi semua siswa. Para siswa yang prestasinya meningkat, pindah ke kelas atas, sementara yang turun, siap-siap mendapat kelas bawah. Masing-masing tingkatan, ada 3 bagian. Kelas Plus, Kelas Central, dan Kelas Minus. Anak-anak kelas X memiliki masing-masing dua kelas di tiap bagian. Sementara kelas XI dan XII yang sudah penjurusan IPA dan IPS dibagi masing-masing satu kelas. Bisa dibayangkan betapa pusingnya harus berpindah kelas tiga bulan sekali?

Untunglah aku tidak perlu mengalaminya. Sebagai siswa yang memiliki otak rata-rata, aku nyaris tidak pernah pindah kelas. Aku suka kelasku sekarang. Kelas Central. Tidak dipenuhi persaingan ketat tentang nilai, namun tidak juga dipenuhi berandalan yang suka mengacau atau tidak mengerjakan pe-er. Aku tidak berani membayangkan bagaimana nasibku kalau harus masuk ke Kelas Plus yang dipenuhi siswa-siswa jenius. Tidak butuh waktu lama sampai aku didepak keluar lagi. Dan tentu saja aku juga tidak mau masuk ke Kelas Minus yang dipenuhi dengan orang-orang yang… yah, begitulah. Singkatnya, para berandal sekolah. Aku benar-benar sudah senang di kelasku sekarang dan sama sekali tidak ingin pindah.

Sayang, doaku tidak terjawab. Semester selanjutnya, aku dilempar masuk ke Kelas Plus. Aku tidak tau apa yang terjadi. Yah, memang di ujian pertengahan semester kemarin aku sedikit lebih serius, tidak masa bodoh seperti biasa. Tapi, tentunya tidak akan naik sedrastis itu, kan, sampai bisa membuatku masuk ke kelas kaum jenius? Aku tidak mau memercayai tulisan di papan pengumuman. Tapi, namaku benar-benar masuk ke daftar ‘Siswa Kelas XII IPS Plus’. Bagaimana mungkin aku, yang memiliki otak sekadarnya, bisa mendapat peringkat dua puluh lima teratas di ujian tengah semester? Namaku berada di urutan dua puluh besar pula. Aku melirik Sara dan Anita, dua teman dekatku yang sama-sama di Kelas Central. Mereka berdua tampak lega. Aku kembali ke papan pengumuman. Tentu saja. Mereka tetap berada di kelas yang sama. Sial. Benar-benar sialan.

“Yah, Fika pisah deh dari kita,” gumam Anita saat kami berjalan menuju kantin.

Aku diam. Masih terlalu syok atas nasib sial beruntungku.

“Siap-siap aja kamu dibantai para master berotak besar itu,” tambah Sara sambil terkikik. “Otakmu, kan, ukurannya cuma hampir medium,” tambahnya. Sama sekali tidak membantu.

Aku menatapnya sebal. “Bukannya prihatin, malah ngeledek,” gerutuku.

Kami duduk di sebuah meja panjang yang masih ada tempat kosong, bergabung dengan siswa lain. Anita dan Sara memesan mie ayam, sementara aku hanya sanggup menikmati teh botol.

“Nggak usah syok gitu juga kali, Fik. Ambil hikmahnya. Kamu jadi kumpul sama orang-orang pinter. Kali aja ntar ketularan pinter,” Anita mencoba menghibur.

Aku mendengus. “Yah, kalo mereka bukan kumpulan jenius sombong. Gimana kalo aku dikacangin? Mana nggak ada yang aku kenal pula.”

“Ada temenku kok di sana. Namanya Tasya. Yang sering ngobrol sama aku itu lho. Anaknya baik kok. Kamu duduk sama dia aja. Ntar aku bilangin deh,” kata Sara.

Anita tiba-tiba menoyor kepala Sara. “Bangku mereka, kan, bentuk huruf U. Nggak pake temen sebangku, bego,” dia mengingatkan.

Sara balas menoyor kepala Anita dengan kesal. “Ya nggak usah pake noyor juga,” dumelnya.

Aku tersenyum geli melihat mereka. Lalu, senyumku berubah muram. “Nggak bakal bisa ngobrol di kelas lagi deh.”

“Kasian….” Ucap Anita dan Sara bersamaan dengan nada sungguh-sungguh prihatin.

Aku mengibaskan tangan. “Ya udahlah. Toh cuma tiga bulan ini. Abis ujian semester ntar aku bakal balik ke kelas kita lagi.”

“Asal jangan kebablasan aja, Fik. Ntar saking merosotnya, kamu malah masuk Kelas Minus,” pesan Sara.
“Jangan sampe deh,” cetusku langsung.

Begitu selesai makan, aku dan kedua temanku berpisah menuju kelas baru masing-masing. Hari ini hanya pembagian kelas, belum mulai belajar. Dengan malas, aku menyeret kakiku menuju deretan Kelas Plus yang berada di lantai 2. Mulai dari Kelas X Plus 1, Kelas X Plus 2, Kelas XI IPA Plus, Kelas XI IPS Plus, Kelas XII IPA Plus, dan, akhirnya aku membaca tulisan Kelas XII IPS Plus di bagian atas pintu.

Kegugupanku mulai terasa ketika aku melangkah masuk. Entah hanya perasaanku, atau semua mata tiba-tiba memandangku? Tengkukku merinding. Cepat-cepat aku mengambil kursi belakang paling sudut. 

Kekurangan formasi bentuk U adalah, di mana pun kamu duduk, tidak akan menyenangkan. Di sudut, kamu tetap akan dikelilingi orang-orang. Sementara di bagian ujung, posisinya tepat di depan. Menghela napas, aku mencoba mengabaikan suasana sunyi mencekam itu dan mengeluarkan sebuah novel.

Aku menikmati cerita novelku, setidaknya sampai seseorang melemparkan tas ke bangku sebelahku. Aku mengangkat kepala dan terpaku beberapa saat. Dia, si juara umum, duduk di sebelahku dan melempar senyum ramah.

“Hai, penghuni baru ya?” tanyanya.

Aku mengangguk. Tentu saja itu pertanyaan yang sangat wajar. Aku berani bertaruh, sejak awal masuk dia sudah berada di Kelas Plus. Wajar jika dia merasa sebagai ‘penghuni lama’, dan menganggapku penghuni baru.

“Saka,” dia mengulurkan tangan.

“Fika,” balasku.

“Dari kelas mana? Central?”

Aku kembali mengangguk.

Saka menatapku beberapa saat, mungkin menyadari kecanggunganku, lalu menepuk bahuku pelan dengan sikap bersahabat. “Tenang, Kita semua manusia, kok. Nggak ada yang akan gigit kamu.”

Aku tersenyum kikuk. “Yah, ini pertama kalinya aku masuk di kelas di mana nggak ada orang yang aku kenal deket.”

“Ntar juga biasa,” Saka berdiri. “Ehm, ngomong-ngomong, bangku yang kamu duduki itu biasanya tempatku. Tapi, nggak apa-apa deh aku kasih ke kamu. Selamat menikmati kelas baru,” ucapnya. Kemudian dia bergabung dengan orang-orang yang berkumpul di bangku tengah.

Aku kembali menunduk untuk melanjutkan membaca novel, ketika melihat tulisan yang ada di meja. Inisial ‘S’. Selain itu, ada banyak tulisan-tulisan yang berisi keluhan dan selalu diakhiri dengan tulisan “by: S”. Aku melirik Saka sejenak, mengangkat bahu, lalu kembali membaca.


-to be continue…

#1 - #3

Wednesday, December 5, 2012

Cinta atau Butuh ?

barusan nonton pelem drama, karya negeri kita. udah beberapa taun terakhir, aku gak terlalu exited lagi sama cerita-cerita drama cinta yang menye-menye gitu. alesan pertama, bikin ngiri. alesan kedua, karena aku cengeng dan males nangis-nangisan. alesan ketiga, buat bangun 'tembok'. banyak lah alesan lain. tapi, ya udahlah. bukan itu yang mau dibahas.

judul pelemnya 'Test Pack'. pelemnya diadaptasi dari novel best seller karya Ninit Yunita. aku belum pernah baca sih. sama kayak alesan di atas, aku juga ngindarin novel drama penuh cinta belakangan ini. aku gak ngebahas tentang isi pelemnya secara keseluruhan sih. cuma pengen ngambil inti sarinya. buat yang belum nonton, nonton deh. ceritanya bagus.

jadi gini, di bagian belakang-belakang pelemnya ada percakapan gini :

Rahmat (R) : "Maafin saya."
Shinta (S) : "Aku butuh kamu, Mas."
R : "Bukan kamu. Tata."
S : "Dia gak bisa ngertiin Mas. Aku yang bisa."
R : "Aku juga mau bisa sayang sama kamu. Saya tau cuma kamu yang bisa ngertiin saya. (diem bentar, trus ngeluarin cincin Tata dari saku bajunya). Tapi ini masih terus saya bawa, ke mana pun saya pergi. Sampai kapan pun, saya gak akan pernah bisa punya hubungan sama siapa-siapa, termasuk sama kamu, karena saya sangat sayang sama Tata."
S : "Meski dia ninggalin Mas?"
R : "Iya."
S : "Kalo Mas gak sama aku, Mas sama siapa? Aku sama siapa, Mas?"
R : (peluk Sinta, cium jidatnya, trus pergi)


buat yang bingung sama percakapan itu, makanya nonton dulu gih. buat yang udah nonton, aku mau sharing pikiran dikit. campur kesotoyan juga sih biar asik.

selama ini, aku sering banget denger kalimat yang intinya bilang kalo kita gak harus dapetin orang yang kita mau, tapi kita bisa dapetin orang yang kita butuh. kalo pas liat pelem itu, aku pikir Rahmat butuh Sinta yang ngerti kondisi dia dan nerima dia karena mereka ada di posisi yang sama. tapi, Rahmat tetep milih Tata, karena dia sayang sama Tata, padahal Tata udah ninggalin dia. Atau karena sebenernya Rahmat lebih butuh Tata yang ada di samping dia, bukan Sinta.

aku jadi mikir, istilah 'orang yang kita butuh' kalo udah menyangkut urusan hati itu fleksibel banget ya. bukan cuma butuh dalam hal dimengerti, kayak yang Sinta pikir dibutuhin Rahmat dari dia, tapi juga hal lain. apa hal lain itu? yup. butuh cinta.

ini mungkin bisa jadi alasan, kenapa orang yang keliatan cocok, saling ngerti satu sama lain, saling perhatian, dan saling blabla sebagainya, tapi gak bisa nyatu juga. mungkin, mereka udah saling memenuhi kebutuhan lain-lain itu, tapi ternyata kebutuhan dalam hal cinta belum terpenuhi.

balik lagi ke pelemnya. Rahmat akhirnya milih ngejer Tata, berusaha nyelamatin pernikahan mereka. padahal dia tau dia gak bisa ngasih apa yang Tata pengen. bentuk keluarga yang lengkap. kalo dipikir pake logika, Tata gak akan nerima dia semudah Sinta. tapi, mereka tetep bisa nyatu pada akhirnya. kenapa? karena mereka saling cinta. sementara Sinta ngejer Rahmat cuma karena Rahmat bisa ngerti kondisi dia.

dari sini, aku ngambil kesimpulan sotoy. gimana pun sebuah pasangan ngerasa saling melengkapi kebutuhan satu sama lain, mereka gak akan penah bener-bener lengkap kalo gak ada cinta yang nyata. cuma saling butuh dimengerti aja gak cukup. ngerti beda jauh sama cinta. saat kamu merasa ngerti seseorang, belum tentu kamu cinta sama dia. tapi, kalo kamu cinta sama seseorang, kamu pasti selalu berusaha buat ngerti dia. dan menurut aku, orang yang paling kamu butuhin itu adalah orang yang kamu cintai.


yah, demikianlah ulasan singkat dan sotoy saya. sebelum penutupan, ada lagi nih kutipan bagus dari pelem ini:

- "apa adanya kamu, sudah melengkapi saya." - Rahmat

- "gak ada alasan untuk kita rujuk. karena sebenernya gak ada alasan juga untuk kita pisah." - Tata

The First Time I Saw You (#1)


Aku menduduki meja kayu di bagian depan kelas, di sebelah jendela. Jam istirahat baru dimulai beberapa menit yang lalu. Suasana kelas sudah nyaris kosong. Namun, aku enggan ikut keluar, apalagi ke kantin yang pasti penuh sesak oleh orang-orang yang kelaparan. Lagi pula, ada jam istirahat kedua yang bisa kugunakan untuk makan siang. Pandanganku terpaku ke luar jendela. Sara, salah satu teman sekelasku, tengah duduk di koridor kelas sambil membaca buku Sejarah. Seorang siswi dari kelas lain yang sering kulihat bersama Sara duduk di sebelahnya. Aku tau siswi itu, tetapi tidak tau siapa namanya. Yah, tidak perlu kusebut kalau menghapal nama orang bukanlah salah satu kelebihanku. Kedua orang itu sepertinya terlibat percakapan seru, entah membicarakan apa. Sara masih memegang buku Sejarahnya. Menurutku, apa pun yang mereka bicarakan tidak akan seseru itu kalau menyangkut pelajaran Sejarah. Bagiku, itu pelajaran paling membosankan selain Sosiologi.

Seorang anak laki-laki bergabung bersama mereka. Aku juga mengenal siswa itu. Dia juga berasal dari kelas lain, sepertinya kelas yang sama dengan siswi yang sedang berbincang dengan Sara. Dia cukup terkenal, sebenarnya. Yah, kalian tidak mungkin tidak mengenal sang juara umum, kan? Nah. Itulah dia. Tapi, sejujurnya, aku juga tidak tau namanya. Aku hanya tau wajah dan kenyataan kalau dia juara umum semester lalu.

Secara fisik, anak lelaki itu biasa saja. Bukan kategori ‘prettiest boy in this school’ atau tipe cowok boyband idola. Tapi, dia pintar. Itu yang penting. Menurutku. Cowok ganteng tapi tidak berotak sudah lama keluar dari daftarku. Bukan berarti aku mengincar si juara umum itu! Tidak sama sekali! Hanya saja, kalau harus memilih cowok seperti dia atau tipe boyband ganteng berotak kosong, aku pasti memilih dia.
Si juara umum, siapa pun lah namanya, duduk di sebelah Sara. Namun, sepertinya dia tidak terlalu tertarik dengan pembicaraan kedua gadis itu, karena tiba-tiba saja dia kembali berdiri. Aku setengah mengira dia akan pergi. Tetapi, ternyata dia malah menunduk untuk mengambil sebelah sepatu teman Sara yang dilepas, lalu membawanya kabur. Teman Sara itu menjerit, sementara si lelaki juara umum itu tertawa keras dan melempar sebelah sepatu itu ke atap.

Aku ternganga. Dia benar-benar melempar sepatu itu ke atap. Apa itu kelakuan wajar seorang juara umum? Jujur saja, selama ini aku mengira dia tipe kutu buku yang serius dan introvert. Siapa yang mengira kalau dia memiliki sisi gila?

Kulihat teman Sara melepas sepatunya yang lain dan melemparnya ke arah si juara umum dengan kesal. Si juara umum menangkap sepatu itu, menjulurkan lidahnya, lalu kembali melemparnya ke atap. Lengkap sudah. Kedua sepatu itu sekarang bertengger di atap.

Aku menahan tawa, setengah kasihan pada teman Sara yang sekarang sibuk memukul si juara umum.

“SAKA SINTING!!!” jerit teman Sara dengan marah.

Saka hanya tertawa, sama sekali tidak merasa bersalah melihat temannya hanya memakai kaus kaki tanpa sepatu. Setelah melihat wajah temannya itu nyaris menangis, dia baru mengambil sepatu itu dari atap. Masih dengan wajah geli, Saka mengembalikan sepatu cewek itu. Tepat setelah itu, bel masuk berbunyi.

Aku melompat turun dari meja, siap kembali ke bangkuku sendiri.


-to be continue…


#2

cuplikan Wonderfully Stupid...

Lagi iseng nih, gak ada kerjaan. Pengen promo lagi ahh...

Buat yang penasaran gimana isi novel Wonderfully Stupid, nih aku bikin cuplikan cerita yang paling sering aku baca (as reader and writer). cekidot mamasnya mbaknya. monggo pinarak. yuk mari ~


Bab 1

..........

Lanna mengangkat kepala dan melihat seorang cowok berwajah manis dengan sedikit sorot jahil di matanya. Rambutnya pendek kaku, berwarna oranye terang. Arsen, anak kelas XI IPA 3. Sejak pertama bertemu, sekitar satu tahun lalu, dia selalu menggoda Lanna dan memproklamirkan diri bahwa dia amat menyukai kakak kelasnya itu. Arsen sudah melakukan ribuan cara untuk menarik perhatian gadis itu agar menerima cintanya. Tetapi, Lanna selalu menolaknya.
“Kali ini oranye,” kata Lola geli. “Temuin gih,” sambungnya.
“Bikin sakit mata,” kata Lanna, kembali pada handycam-nya. Ega cs sudah meninggalkan koridor. Lanna menghentikan rekamannya, lalu menyimpan handycam-nya dengan hati-hati ke dalam tas. “Males banget ngeladenin dia.” Dengan sigap dia mengeluarkan sebuah novel roman-fantasi dari dalam tasnya, mengabaikan Arsen.
“Kasian, Na. Liat tuh, mukanya mupeng banget.”
Lanna melirik sekilas hanya untuk melihat Arsen sudah menempelkan dahi di jendela kelasnya. “Norak,” katanya sambil mengernyit.
“Kak Aza!” panggil Arsen dengan suara keras.
Lanna mengabaikannya. Dia lebih tertarik melanjutkan membaca cerita tentang seorang ksatria Yunani Kuno yang dikutuk daripada meladeni orang yang dianggapnya sinting itu.
“Kak Aza!” Arsen berteriak semangat, menempelkan wajahnya di kaca. Beberapa teman sekelas Lanna mulai terkikik melihatnya.
Lola menahan agar tawanya tidak meledak. “Feeling gue bilang, kalo lo nggak mau ke sana, dia bakal bertingkah lebih konyol lagi.”
Lanna melempar pandang penuh ancaman pada Arsen. Dia tidak meragukan ucapan Lola. Arsen memang sinting. “Nggak bisa ya gue sehari aja bebas dari gangguan dia?”
Arsen mulai menghembuskan napas di kaca jendela, lalu menggambar bentuk hati dengan kata “AZA” di tengahnya.
Lola mulai tertawa. “Apa gue bilang. Temuin gih,” kata Lola.
Lanna mengerang. “Oh, GodSomeone must shoot me and take me away from here!” geramnya. “Ormay I kill him?”
Lola tertawa keras, membuat Lanna makin kesal.
“Kak Aza! Kak Aza! Sini, dong!” panggil Arsen lagi, lebih keras dan bersemangat. “Apa aku aja yang ke sana?” tanyanya dengan wajah tanpa dosa.
“Ingetin gue buat ngasih racun arsenik ke mulutnya,” kata Lanna sebal seraya bangkit dari kursinya untuk menghampiri Arsen. “Apa?” semprotnya.
Arsen tersenyum manis, memamerkan lesung pipinya. “Jangan marah-marah terus dong, Kak. Aku cuma mau ngajak pulang bareng. Kali ini mau, kan?” rayu Arsen.
“Pertama, nama panggilan gue LANNA. Bukan AZA. Udah berapa kali gue bilang?” serang Lanna galak.
“Nama lengkap Kakak, Alanza Quianna, kan?”
“Ya. Dan lo nggak punya hak apa pun buat ngasih-ngasih gue panggilan baru,” kata Lanna dongkol. “Kedua, gue nggak mau, dan nggak akan pernah mau, pulang sama lo. Emang nggak ada ya cewek seangkatan lo yang bisa lo gangguin sampe lo gangguin gue terus?”
“Yah … namanya juga cinta. Mana bisa ditolak kalo udah dateng.”
“Cinta?” Lanna mendengus. “Udah ribuan kali gue bilang sama lo, gue nggak tertarik. Lo lebih muda dari gue. Kapan sih lo ngerti?”
“Beda umur kita nggak sampe satu tahun. Kita cuma beda lima bulan.”
“Beda satu hari pun, kalo lo lebih muda dari gue dan berstatus sebagai adik kelas gue, gue nggak tertarik.”
Tepat saat itu, bel masuk berdering.
Tanpa merasa tersinggung sedikit pun pada kata-kata kasar Lanna, Arsen memasukkan kedua tangan di saku celananya dengan santai. “Tunggu aja nanti. Aku pasti bisa bikin Kakak nerima cinta aku.”


..........


Bab 5
..........

Arsen mengulum senyum. Dia bukan cowok bodoh. Juga bukan anak sebelas tahun yang masih polos. Arsen tahu kalau Lanna tidak, atau belum, mempunyai perasaan apa pun padanya. Kenyataan itu masih mengusiknya. Dia bertekad akan membuat Lanna membalas cintanya. Namun, untuk saat ini, menikmati waktu luang bersama gadis yang disayanginya sudah cukup untuk Arsen, meskipun gadis itu belum memberikan hati untuknya. “Siapa, Na?” tanyanya.
“Siapa apa?” tanya Lanna, berusaha tidak peduli.
“Hmm ….” Arsen menatap Lanna. “Aku penasaran sama sosok cowok yang udah seenaknya tebar pesona di depan pacarku.”
“Satu yang perlu lo tahu,” ucap Lanna. “Gue suka sama dia justru karena dia nggak pernah tebar pesona.”
Arsen terdiam. Lanna ikut diam sambil terus berjalan. Tiba-tiba Arsen duduk di pasir, lalu menarik tangan Lanna hingga gadis itu terjatuh di sebelahnya.
“Ngapain sih?” omel Lanna.
Arsen tersenyum sambil menggali-gali pasir. Lanna berdiri sambil membersihkan bagian belakang dress-nya. Saat dia akan berjalan, Arsen kembali menahan tangannya. Lanna menatap Arsen kesal, lalu kembali duduk. Dia hanya diam, merekam kegiatan cowok itu saat bermain dengan pasir. Berkali-kali Arsen bolak-balik ke laut untuk mengambil segala macam benda. Tak lama kemudian, Arsen menyelesaikan pekerjaannya. Sebuah istana pasir yang dikelilingi batu-batu kecil, rumput laut, dan kulit kerang. Lanna melihatnya sebagai istana pasir paling aneh yang pernah ada. Arsen membuat istana itu memanjang dan meliuk-liuk tidak jelas.
“Berdiri,” kata Arsen, menarik Lanna.
“Tadi disuruh duduk. Sekarang berdiri. Ntar nyebur laut. Abis itu gue mutilasi lo,” sungut Lanna geram. Dia berdiri.
Arsen tidak menanggapi. Dia menarik Lanna berdiri di depan salah satu sisi istana pasir itu. Lanna mengamatinya. Istana itu bukan liukan aneh yang tidak jelas. Tetapi, susunan huruf yang membentuk namanya, Alanza, yang sangat cantik jika dilihat dari sudut pandang mereka sekarang. Lanna tidak melewatkan hal indah itu dari bidikan rekamannya.
“Cantik,” puji Lanna.
“Nggak secantik kamu,” balas Arsen. “Makasih udah mau masuk ke hidupku,” ucapnya pelan.
“Udah gue bilang nggak usah ngegombal,” semprot Lanna.
Arsen tertawa kecil, lalu berdiri di depan Lanna, menghadapkan punggungnya ke gadis itu.
“Ngapain?” tanya Lanna.
“Bayar utang. Aku harus gendong kamu bolak-balik.”
Lanna tertawa. Dia langsung loncat ke punggung Arsen, merangkulkan lengannya di bahu cowok itu. “Ayo jalan!” perintahnya.
..........


Bab 14 (Surat Arsen)
..........

..........



Wonderfully Stupid - Elsa Puspita - Bentang Belia


Sunday, November 25, 2012

Cetakan Kedua "Wonderfully Stupid" :D

Pagi-pagi, sekitar pertengahan Oktober kemarin, aku masih di kelas, lagi ikut preparation TOEFL, tentang Reading. Tiba-tiba, hape getar. Ada telepon. Karena masih dikelas dan nomor yang nelepon gak aku kenal, jadi aku abaikan. Mikirnya, paling orang iseng gak ada kerjaan pagi-pagi. Nomor yang sama itu nelepon sampe 3 kali. Akhirnya aku SMS, bilang kalo aku masih di kelas, kalo penting, ntar aja telepon lagi. Gak lama kemudian, ada SMS balesan. Isinya: "Mbak Elsa, ini dari kantor pos pusat Malang, ada kiriman paket dari Jogja, tapi kayaknya nomor rumahnya salah. Bisa dikirim lagi alamatnya?"

Aku mikir. Paket apaan dari Jogja? Siapa kenalanku di Jogja yang ngasih kiriman? Seingetku, gak ada temen-temenku di Jogja yang tau alamatku di Malang. Sempet parno kalo itu penipuan. Jadi gak aku tanggepin.

Begitu selesai kelas, aku ngabur ke perpus, cari bahan tambahan buat proposal skripsi sambil cuci mata, kali aja ada mamas cakep yang juga lagi nyusun skripsi. Nomor misterius itu nelepon lagi. Kali ini aku angkat. Suara bapak-bapak yang kedengerannya baik, nanya nomor rumah karena ada kiriman. Akhirnya nyoba buat percaya, meskipun masih bingung, aku kasih penjelasan tentang alamat rumah, patokan-patokannya, si Bapak kayaknya bingung. Akhirnya aku minta taruh aja paketnya di kantor pos UB, ntar aku ambil sendiri. FYI, kantor pos pusat lokasinya di deket alun-alun kota, kalo ke sana harus naik angkot. Panas. Males. Sedangkan kantor pos UB, lokasinya ya di UB, deket perpus. Ngesot dikit nyampe. Akhirnya kita deal.

Sekitar jam 12 siang, si Bapak nelepon lagi, bilang kalo dia udah di deket bis surat. Aku bisa nemuin apa gak, katanya. Entah efek otak lagi lemot ato karena udah siang dan panas plus belom kenyang sarapan, aku malah ngabur ke kantor pos UB, ngira si Bapak di sana. Dengan manisnya, nanya ke petugas kantor pos tentang kiriman paket buat aku. Si Ibu bilang gak ada paket buat Elsa Puspita. Trus aku tanya, bis surat di mana. Si Ibu makin bingung dan bilang, "Kita udah nggak pake bis surat lagi, Mbak." Makin heranlah diriku yang malang ini. Trus aku SMS Bapaknya, nanya si Bapak di bis surat mana. Trus dibales, "Depan Fakultas Teknik, Mbak." GOSH!! Siang-siang, aku harus bolak-balik dari perpus ke FT balik lagi ke perpus. Mayan bikin ketek berkuah (gak usah dibayangin. Menjijikkan, sumpah).

Begitu di depan FT, aku mencari-cari sosok si bapak dan 'bis' suratnya. Gak ada tanda-tanda keberadaan 'bis' surat. Aku SMS lagi, "Saya sudah di depan FT, Pak. Bapak di mana?" Nih mulai berasa kayak kopdar sama temen ceting yang gak tau bentuk mukanya gimana. Lagi-lagi si Bapak bales, "Di sebelah bis surat, Mbak."

Garuj-garuk kepala, garuk-garuk jidat, garuk-garuk ketek, mana sih 'bis' surat? Segitu butakah mata saya sekarang sampe gak bisa ngeliat 'bis' surat? Trus, seketika, pandanganku tertumpu di seberang, ada bapak-bapak pake motor oranye, khas pak pos, parkir di sebelah bis surat. Ya! Bis surat alias kotak surat! Goblik banget deh nih otak karena dari tadi nyari benda berbentuk mobil, beroda empat, warna oranye dengan tulisan 'Kantor Pos'. Finally, ketemu si Bapak. Paket pun nyampe di tangan.

Abis ngucapin makasih, aku balik ke perpus sambil ngeliatin paket di tangan. Ada logo 'Bentang Pustaka' di samping tulisan alamatku. Oh, dari Bentang. Terjawab sudah. Satu-satunya penduduk Jogja yang tau alamatku emang cuma Bentang. Paketnya aku timang-timang, sambil mikir apa isinya. Aku pencet-pencet, kayaknya buku. Buku apa? Perasaan aku gak pesen buku. Gak menang undian apa-apa juga. Begitu sampe di perpus, aku buka. Dan isinya adalaaaaaahhhhh......



Reaksiku :
- Bengong
- Mematung
- Speechless

Ini serius?

Kasih paketnya ke Iin, temenku yang ikut nangkring, trus nanya, bener gak itu tulisannya "Wonderfully Stupid Cetakan Kedua?"
Dia jawab, "Iya, Mar. Wih.... udah cetakan kedua. Kapan makan-makan??" (Yah, otaknya emang gak lepas dari makan gratis. Saya juga. Maklum, kita masih anak kos dan mahasiswi)

Aku masih diem, memandangi benda itu dengan takjub. Bener-bener gak nyangka. Novel yang aku tulis pertama kali di masa SMA, yang terinspirasi dari kisah cintaku yang tolol, bertepuk sebelah tangan, dan menyedihkan, ternyata dibaca banyak orang sampe bisa cetakan kedua. Sama sekali gak nyangka. Alhamdulillah, terima kasih Ya Allah.....

Aku cuma bisa ngucapin makasih banyaaaakkkk banget ke semua yang udah mau baca novel ini. Buat kalian yang bacanya hasil minjem, makasih udah mau baca, buat yang minjemin semoga dapet pahala. Buat yang beli dan baca makasih banyak udah bersedia menyisihkan uang saku buat kepercayaannya beli novelku, padahal aku belum punya nama sedikit pun di dunia penerbitan dan tulis-menulis, tapi kalian tetep mau beli, makasih banget. Tanpa kalian, hal ini gak akan terjadi.

Dan terutama, makasih sebanyak dan sebesarnya buat Tim Bentang Belia dan Bentang Pustaka atas kesempatan emas dan kerjasamanya mau nerbitin novelku. Seneng kerja sama bareng semuanya. Semoga lain kali bisa kerja sama lagi :)))

Tahun ini bener-bener penuh berkah. Alhamdulillah, Ya Allah O:)



nb: Wonderfully Stupid - Elsa Puspita
- Cetakan Pertama : Juli 2012
- Cetakan Kedua : Oktober 2012

Review Buku : The Timekeeper by Mitch Albom

Judul : The Timekeeper (Sang Penjaga Waktu)
Penulis : Mitch Albom
Halaman : 311
Terbit : Oktober 2012
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Harga :

Tokoh utamanya bernama Dor, Sang Penjaga Waktu. Diceritain, dialah manusia pertama yang ngukur waktu, ciptain jam matahari, jam air, jauh sebelum generasi-generasi selanjutnya. Sejak kecil, Dor sudah tergila-gila menghitung segala sesuatu. Sementara orang-orang sekitarnya ngerjain pekerjaan yang lebih berguna buat ngumpulin harta, Dor malah asik sama hobi itung-itungannya. Karena hobinya itu, Dor harus diasingkan karena dianggap nggak menghargai anugerah Tuhan. Karena ulahnya, manusia-manusia di bumi pada generasi seterusnya, kita sekarang, jadi heboh ngukur-ngukur waktu, sampe kadang gak bisa nikmatin lagi apa yang dikasih Tuhan. Akhirnya Dor dihukum. Dia dikurung dalam sebuah gua, dipaksa denger semua keluhan orang-orang yang minta lebih banyak waktu. Sampe pada waktu tertentu, Dor dibebasin dan dikasih satu misi buat menebus kesalahannya. Dia harus nemuin dua orang yang punya masalah dengan waktu. Victor Delamonte, seorang pengusaha kaya raya yang mengidap penyakit parah yang bisa bikin dia mati, pengen punya lebih banyak waktu buat hidupnya dan cari cara biar bisa hidup abadi, dan Sarah Lemon, remaja pendiam yang sedang jatuh cinta, trus patah hati, dan pengen waktu hidupnya diperpendek karena gak sanggup menghadapi penolakan di sekitarnya. Dor harus menemui mereka dan mengajarkan makna waktu pada mereka.

Kalo diliat dari sinopsisnya, tema buku ini kayaknya berat. Tapi, setelah dibaca, bener-bener gak terasa. Tiba-tiba kita udah masuk ke halaman terakhir. Banyak banget makna yang bisa diambil, terutama tentang betapa pentingnya menghargai waktu. Kenapa Tuhan batesin waktu buat kita? Kenapa kita gak dibikin abadi aja biar bisa capai semua yang kita mau? Jawabannya sederhana. Supaya setiap waktu yang dikasih Tuhan itu berharga. Kalo sampe kita dikasih waktu yang gak terbatas, kita pasti gak akan menghargainya (omongan Dor).

Buat pecinta fiktif ilmiah, novel ini cocok buat koleksi. Buat yang gak terlalu suka bacaan berat, buku ini juga pas dibaca. Ibarat cemilan, ini beneran cemilan sehat. Ringan, tapi berbobot. Gak bakal nyesel bacanya. Selesai baca, kita bakal lebih bisa menghargai tiap detik yang kita buang gitu aja.

Wednesday, November 14, 2012

Tentang Arsen

Biografi Singkat....
Nama Lengkap : Andersen Jade Calvin
Panggilan : Arsen / Bunglon Sinting (spesial dari Lanna)
Tanggal Lahir : 11 Juni
Hobi : goda Lanna, tendang bola, eksperimen warna rambut
Cita-cita : nikah sama Lanna

'Little Secret' tentang tokoh Arsen....
First Name
Sebelum perombakan, waktu judulnya masih 'Semanis Brownies', nama 'Arsen' itu Diandra Junyvio. Tokoh Diandra gak segila Arsen. Dia tergila-gila sama tokoh 'Lanna', tapi dengan cara yang lebih kalem. Itu bikin auranya kurang keluar. Kurang memancar. Dan kurang bikin gemes. Sampe akhirnya dirombak.
Asal Nama
Nama 'Andersen' dapet dari iklan di internet waktu lagi asik menyelam di dunia maya. Yang pertama ketemu justru panggilannya, Arsen. Baru nyari nama lengkap. Waktu buka-buka web tentang nama-nama anak, munculah nama 'Jade' dan 'Calvin'. Jadi, buat yang mikir kalo Arsen punya hubungan sama tim bola Arsenal atau racun Arsenik, kalian salah, sodara-sodara!
Kenapa namanya kebule-bulean?
Biar lucu aja. Kemaren pas lagi ngerombak aku lagi girang sama nama-nama yang susah disebut. Walopun kadang aku sendiri gak tau gimana cara nyebutnya (misalnya, nama orang Perancis 'Llywelyn', yang aku pake buat proyek bareng Iin. Biar gak susah, kami sepakat kasih dia panggilan Lyn. Sampe sekarang, aku gak tau pelafadzan 'Llywelyn' yang baik dan benar).
Pengembangan Karakter
Kayak yang dibilang sebelumnya, tokoh 'Diandra' kurang hidup. Buat cari yang cetar menggelegar duarduar membahana badai topan dan sebangsanya, aku pengen kasih unsur yang gak biasa. Muncul deh kebiasaan nyentrik dia yang suka gonta-ganti warna rambut. Kayak yang pernah aku bilang di sini, awalnya itu cuma buat jadi benang merah interaksi pertama dia sama Lanna. Awalnya rambut Arsen cuma mau dibikin satu warna, tapi gak lazim. Trus, muncul pikiran, 'kenapa gak sekalian dijadiin ciri khas dia?'. Sampe akhirnya Arsen jadi gitu. Ditambah lagi dengan sikapnya yang dibuat lebih gila dan gigih buat narik perhatian Lanna. Dari awal, 'Diandra' emang udah dikonsep jadi tokoh idola, tapi gak semenarik 'Arsen'. Ntar deh, kapan-kapan aku posting contoh draf aslinya Wonderfully Stupid (a.k.a Semanis Brownies) yang pertama kali aku tulis waktu SMA kelas 2 buat perbandingan.


yahh... segitu dulu lah ya. Udah malem. Ntar kalo ada yang bisa ditambahin, baru lanjut lagi. Ciao!!

another side...

Aku melirik jam tangan sekali lagi. Sudah pukul setengah dua belas siang. Menghela napas pelan, aku mengeluarkan ponsel dan mulai mengetik cepat.

Woy! Dimana? Jadi gak mau pergi?

Send. Sembari menunggu balasan, mataku mengitari sekitar. Aku tengah duduk di teras gedung serba guna kampus, di sebelah masjid. Suasana masjid kampus siang itu cukup ramai, dipenuhi kaum lelaki yang siap melaksanakan Sholat Jumat. Ponselku bergetar. SMS balasan dari Rena, sahabatku.

Iyaaaa... Lagi bedakan nih. Sabaaarrr....

Aku baru akan mengetik untuk membalas lagi, ketika samar-samar terdengar bunyi krincing-kricing diikuti suara nyanyian anak kecil. Aku menoleh dan melihat sekitar tiga anak tengah berdiri di depan sekelompok mahasiswa yang duduk di bawah pohon sembari menunggu Sholat Jumat dimulai. Salah satu dari mahasiswa itu menatap pengamen cilik itu dengan tertarik. Begitu mereka selesai menyanyi, si pemuda memanggil anak-anak itu supaya lebih mendekat. Karena jarak mereka tidak terlalu jauh dari tempatku duduk, aku bisa mendengar percakapannya.

"Kalian sekolah nggak?" tanya pemuda itu.

"Dulu sekolah. Sekarang udah nggak, Mas," jawab salah satu anak yang memakai celana pendek selutut yang sudah kumal dan singlet putih kotor.

"Lho, kenapa?"

Ketiga anak itu saling pandang sejenak. Seorang anak lain mengusap ingus dengan punggung tangan, membuat wajahnya makin kotor, sebelum menjawab. "Kan, kami harus kerja, Mas," jawabnya dengan nada polos.

Pemuda itu diam sejenak. "Kalian bisa baca?"

"Bisa!" jawab ketiganya.

"Oya?" alis pemuda itu naik sedikit dengan kaget. "Coba baca itu," dia menujuk sebuah spanduk di depan Fakultas yang berada di seberang masjid.

"Jalan Sehat 2012 Dalam Rangka Dies Natalis Universitas Brawijaya," baca anak-anak itu serentak.

Wajah pemuda itu berbinar. "Wah, pinter," pujinya. "Kalo ngitung, bisa juga?"

Mereka semua mengangguk semangat.

"Mas coba ya," Pemuda itu berdehem. "Tujuh tambah enam?"

Anak-anak itu menghitung sejenak. "Tiga belas!' sorak mereka.

"Tiga belas tambah lima?"

"Delapan belas," jawab anak bersinglet putih.

"Kalau delapan belas tambah empat?"

"Dua dua!"

Aku memerhatikan pemuda itu tampak semakin semangat memberi soal perhitungan pada anak-anak itu. Ketiga anak itu sepertinya baru berusia enam atau tujuh tahun. Untuk ukuran anak yang tidak sekolah, mereka cukup pintar. Namun, pada perhitungan tiga puluhan, anak-anak itu mulai kesulitan. Si pemuda tersenyum kecil.

"Mau nggak belajar lagi?" tawar pemuda itu.

Ketiga anak itu tampak ragu. "Tapi, kalau belajar, nanti kita nggak dapet uang, trus Ayah marah."

Mata pemuda itu menggelap. Ekspresinya berubah murung sebentar, lalu dia tersenyum lagi. "Tapi, kaliannya mau, kan?"

Anak-anak itu mengangguk pelan.

"Gimana kalo gini, besok kalian dateng ke tempat Mas. Ntar Mas ajarin ngitung angka yang lebih besar. Kita belajar sama-sama."

"Tapi, Mas...."

"Nanti, abis kalian belajar, Mas kasih uang. Gimana? Mau ya?" bujuk pemuda itu. "Mas kasih uang nanti," ulangnya.

Pelan-pelan, anak-anak itu mengangguk. Wajah si pemuda kembali berbinar. Dia lalu menyebut alamat yang harus didatangi ketiga anak itu besok.

"Mas tunggu lho!" ujarnya, sebelum anak-anak itu pergi.

"Iya, Mas. Makasih ya...." ucap mereka, lalu berlari pergi menuju gerbang kampus.

Aku melihat pemuda itu masih mengamati ketiga punggung anak-anak tersebut yang semakin menjauh. Kemudian, pemuda itu bergabung bersama teman-temannya lagi untuk masuk ke tenda masjid. Sholat Jumat segera dimulai. Aku masih mengamatinya, tengah tertawa kecil dengan teman-temannya. Setengah tidak percaya kejadian seperti ini benar-benar ada di dunia nyata. Pikiran apakah dia menerima relawan untuk membantu mengajar terlintas. Aku sama sekali tidak keberatan bergabung. Mungkin sebaiknya aku menunggu pemuda itu selesai sholat dan menyampaikan niatku. Atau aku bisa....

"Hei, lama ya nunggunya?"

Aku menoleh dan melihat Rena sudah menyeringai lebar. "Kamu pulang dulu ya?"

Rena mengangguk. "Tadi kelasnya selesai cepet. Ya udah, pulang dulu."

Aku melirik ke arah tenda masjik sekali lagi, mencari sosok pemuda tadi.

"Ngeliatin apa sih?" tanya Rena, ikut menjulurkan kepalanya. "Ada mamas cakep ya yang sholat?"

Aku menatapnya datar. "Nggak ada isi ya tuh otak selain cowok cakep?"

Rena hanya tersenyum santai. Dia menggamit lenganku. "Ayo. Aku laper. Makan apa ya enaknya?"

Aku menghela napas dan mengikutinya. Besok-besok, kalau bertemu dengan pemuda itu lagi, mungkin aku bisa menyampaikan niatku. Yah, semoga bisa bertemu lagi. Setidaknya, kami satu universitas. Peluang bertemu seharusnya lebih lebar.

"Tau, nggak, Ren. Tadi aku liat ada Mamas Manis ngobrol sama pengamen," ujarku. Lalu, aku mulai bercerita pada Rena sementara kaki kami terus bergerak menuju mall yang berjarak hanya lima belas menit dari kampusku.

Sisi lain yang baik seperti itu ternyata masih ada. Dunia belum sepenuhnya rusak. Kaum muda tidak sepenuhnya masa bodoh. Aku ingin menjadi salah satu dari sisi lain yang baik itu.

***


*Based on the True Story*


PS: sebenernya lagi ngerjain proposal skripsi. trus sumpek. Ya udah, nulis ini dikit gak dosa kan? moga bermanfaat :)

Tuesday, October 30, 2012

Proyek Obsesi : LDR (Long Disaster Relationsh*t)

Entah sejak kapan, aku jadi semacam terobsesi pingin bikin cerita dengan tema LDR. Sekitar tiga tahun yang lalu aku sempet coba bikin. Dan... GAGAL. Makin lama ditulis, ceritanya makin keluar jalur. Udah biasa sih, bikin cerita yang keluar dari rencana awal. Tapi, proyek yang itu bener-bener keluar dan jadinya aneh. Ditambah bencana alam yang nimpa Rinrin *laptopku*, yang bikin semua data lenyap, termasuk proyek itu, akhirnya proyek itu bener-bener hilang. Mau mulai awal, belom dapet feel yang pas. Aku belum nemu alur yang pas, konfliknya apa aja, dan ending yang enak. Tapi aku bener-bener pingin bikin cerita dengan tema ini. Sangat pingin, sampe jadi obsesi.

Kenapa bisa segitunya coba? Aku nggak tau.

Mungkin, cuma mungkin ya, karena aku juga salah satu korban LDR yang gagal.. (bekson : Bruno Mars - Long Distance). Aku sering bertanya-tanya sendiri, kenapa sih LDR banyak yang gagal? Okelah, masalah jarak bisa menimbulkan penyakit kronis berupa kangen stadium empat. Tapi, kan sekarang udah banyak hal-hal yang bisa jadi 'jembatan' (say hello to HP, Twitter, FB, YM, dsb, dll). Itu masih gak cukup, sodara-sodara! Sama sekali nggak cukup. Aku pernah bahas tentang LDR di sini.

Kemungkinan lain, mungkin karena aku ngarepin ending yang beda buat diriku sendiri (tetep ya, Non. 2taon gak ngaruh. MOVE ON woooyyy!!!) *abaikan saja tulisan dalam kurung. Itu jeritan gak penting dari sisi lain saya. trims*.

Lanjot!
Ini sama sekali gak ada hubungan sama move on ato belom (ngeles). Cuma pengen buktiin ke diri sendiri kalo gak ada yang salah sama hubungan kemaren itu. Itu gagal ya karena emang takdirnya gagal. Bukan salah aku, dia, atau jarak. Karena itu, aku sangat pengen bikin cerita tentang LDR yang BERHASIL!

Trus, mikir lagi. Konflik kalo orang lagi LDR itu apa sih? Kalo aku kemaren sih lebih banyak masalah di sinyal. Lagi enak-enak SMS, tiba-tiba sinyal jelek, jadinya males lanjut SMS, trus ngambek-ngambekan *saat itu aku masih muda*. Kalo gak itu, gara-gara selingkuh (boring). Iya, boring juga bisa jadi masalah. Tapi, apa sih sebenernya yang bisa bikin suatu hubungan itu bener-bener bertahan, meskipun jarak jauh terbentang? Cinta yang besar? Berdasarkan pengalaman pribadiku, volume cinta itu bisa berubah (yah, kalo itu beneran bisa disebut cinta. Kalo bukan?). Oke. Ganti kalimat. Perasaan manusia itu labil, bisa berubah. Yang tadinya perasaannya gede banget *apa pun sebutannya*, bisa berkurang, bahkan sampe ilang. Jadi, kayaknya bukan itu.

Terus apaaa???
Sampe sekarang aku masih gak tau karena, sekali lagi aku bilang, LDR-ku GAGAL!!! (HAHAHAHAHAHA Abis ngepost ini bakal langsung galau) *gue sambit pake golok juga lu, kampret*

Sudah. Cukup. Serius. *plester mulut sisi lain pake lem tikus*

Aku udah punya satu cara. Gak tau bakal berhasil atau gak. Aku lagi ngumpulin otak buat nyusun semuanya. Semoga, kali ini proyek obsesi ini bisa beneran dibikin. Bukan masalah bakal terbit atau gak (terbit juga bakal tetep girang sih), tapi lebih ke kepuasan buat aku sendiri. Begitu dapet bukti kalo gak ada yang salah sama aku, mungkin saat itu aku baru bener-bener bisa move on (daleeemmm...)

Oke! Semangat! Ngat! Ngat! Ngat!!!


Salam

Elsa (sisi waras dan sisi sintingnya)

Will you... #FF2in1 Marry Me - Train

"Maaf, hari ini kita gak bisa ketemu dulu ya. Lagi ada kerjaan. Besok malam jg aku gak bisa jemput. Langsung ktmu disana aja ya. Love - P"

Elena membaca pesan yang baru masuk itu dengan geram. Terjadi lagi. Akhir-akhir ini Peter, pacarnya, selalu melakukan hal itu. Seenaknya membatalkan kencan mereka. Apakah lelaki itu lupa besok hari apa? Peter sudah berjanji akan menemaninya di malam ulangtahunya. Menemani semalaman, begitu katanya. Bagaimana mungkin mereka datang sendiri-sendiri? Dengan dongkol Elena memasukan ponselnya ke dalam tas. Baiklah. Kita lihat saja besok apa yang terjadi. Kalau Peter membatalkannya lagi, lelaki itu benar-benar sudah bosan hidup.

Elena menemukan Peter sudah duduk di meja yang dipesannya, keesokan harinya. Seperti janji sebelumnya, malam ini mereka akan merayakan ulang tahun Elena yang ke-27 tahun. Elena menghela napas lega saat melihat Peter benar-benar datang dan tidak membatalkan janjinya lagi.

"Jadi," Elena memulai, sementara menunggu pesanan mereka.

"Happy Birthday," ucap Peter, lalu mengecup pipi Elena lembut. "Waw. Kamu udah 27 tahun."

"Ya, aku tau," ujar Elena. "Bukan itu yang mau aku bahas." Dia menatap Peter dengan mata disipitkan. "Kamu ke mana seminggu ini? Setiap dihubungi sok sibuk, seenaknya mutusin telepon, bales SMS singkat-singkat, dan batalin semua kencan kita."

"Kan, aku udah bilang lagi ada kerjaan," ucap Peter membela diri.

"Kamu udah jadi orang sibuk sejak kita awal pacaran, tapi belum pernah sekali pun kamu batalin kencan kita tanpa alasan jelas. Inget kejadian tahun lalu, waktu kamu harus rapat pas acara anniversary kita? Kamu juga ajak aku ke restoran itu. Yah, walaupun pisah meja, seenggaknya kamu nggak nyuekin aku gitu aja dan langsung gabung ke mejaku begitu rapatnya selesai. Sekarang?" serang Elena bertubi-tubi.

"Kamu nggak percaya sama aku?"

"Bukan nggak percaya," geram Elena. "Aku cuma nggak suka cara kamu. Seharusnya kalo emang nggak bisa dari awal, ya bilang. Jangan ngasih harapan palsu gitu. Capek tau, bolak-balik ngapus dandanan tiap kamu batalin janji. Nggak enak juga jadi nomor dua."

"Kamu nggak pernah jadi nomor dua," kata Peter menenangkan.

"Dulu iya. Seminggu ini nggak."

"Seminggu ini juga," ralat Peter. "Aku nggak akan nyuekin kamu gitu aja, Sayang. Aku pasi selalu punya alasan."

"Dan alasan kali ini?"

Peter tersenyum kecil, lalu mengangkat gelas wine-nya. Tiba-tiba lampu ruangan itu padam. Suasana menjadi gelap total. Elena menjerit kecil.

"Peter?" tegurnya dengan suara gemetar.

Kemudian, satu persatu cahaya bermunculan. Mulai dari sudut restoran, menyambung ke meja sebelahnya. Cahaya itu berasal dari senter mungil di tangan para pengunjung.

"Apa ini?" tanya Elena setelah cahaya berhenti bermunculan. Dia menatap Peter bingung.

Peter menyuruh Elena berdiri di atas meja, kemudian menatap ke arah titik-titik cahaya itu. Elena membekap mulutnya saat melihat cahaya itu membentuk sebuah kata 'Marry Me'. Elena menatap Peter tidak percaya.

"Kamu dua puluh tujuh, aku tiga puluh satu. Kayaknya udah bukan waktunya pacaran lagi." Dia menyeringai usil. "So, Miss Elena, will you marry me?"

Elena benar-benar kaget. Kemudian, Peter menyerahkan sebuah cincin padanya. "Will you...?" tanya Peter lagi.

"Mau!" ucap Elena. Satu persatu air matanya turun. "Mau banget!"

Jangan pergi lagi #FF2in1 Adera -Lebih Indah

Aku pernah merasakan gelap yang pekat. Tanpa ada setitik cahaya pun di dalamnya. Tidak ada satu pun benda yang bisa dilihat, termasuk tanganku sendiri. Mengerikan. Sangat. Aku tidak pernah berharap akan ada cahaya yang datang. Aku sudah lelah berharap. Setiap kali berharap, hanya kekecewaan yang datang. Ya sudah. Kalau Tuhan memang menggariskan kegelapan untukku, aku akan menerimanya.

Lalu, kemudian kau datang. Menawarkan setitik cahaya untukku. Aku tidak ingin harapan itu kembali muncul. Tetapi, kau berhasil membuatku berani meraihnya. Aku tidak tau apakah itu merupakan keputusan yang tepat, atau bukan. Lagi-lagi, aku hanya bisa berharap.

Dan kini, aku sudah menggenggam cahaya itu. Masih cahaya redup. Namun, sebuah keyakinan bercampur harapan muncul di hatiku, suatu saat cahaya itu akan menjadi lebih terang.

Kepadamu yang sudah memberiku cahaya, aku mengucapkan terima kasih. Semoga kau betah berada di tempatmu, di sisiku, dan berbagi cahaya denganku. Jangan pergi lagi...

Saturday, October 27, 2012

I miss you #FF2in1 When You're Gone - Avril Lavigne

Taman itu tampak lenggang. Hanya beberapa pasang sejoli yang terlihat menduduki bangku-bangku kayu yang ada di sana. Alya menduduki salah satunya. Bangku yang selalu didudukinya tiap mendatangi tempat ini. Dia mengenal taman ini dengan baik dan hapal letak tiap bunga yang ada di sana. Bukan berarti dia menyukai tempat ini sejak awal. Malahan, kalau boleh jujur, Alya tidak pernah benar-benar menikmati setiap Aldo, pacaranya, mengajaknya di sini. Aldo si culun, kere, norak, menyebalkan, sama sekali tidak bisa dibanggakan. Bukannya mengajaknya berbelanja di mall, makan di restoran mahal, atau menonton film bagus di bioskop, Aldo malah selalu mengajaknya ke taman ini setiap mereka berkencan. Dengan bekal yang dibuat lelaki itu sendiri, mereka piknik di taman itu. Dia terpaksa mendengar semua celoteh Aldo tentang berbagai hal mengenai taman itu. Mulai dari tahun taman itu dibuat, tanaman apa saja yang ada di sana, bahkan Aldo juga mengajarinya cara mengira-ngira umur sebatang pohon! Benar-benar tidak romantis. Ketika mereka duduk di sana pada malam hari, Aldo berceloteh panjang lebar tentang bintang. Alya menyukai bintang. Apalagi yang terlihat membanjiri langit. Namun, jika Aldo mengubahnya menjadi pelajaran astrologi, dia sangat membencinya. Tidak bisakah Aldo hanya duduk diam sambil mengamati langit malam, bukannya malah berceloteh tentang orion, rasi bintang utara, timur, selatan, dan sebagainya itu? Sangat menganggu.

Namun, sekarang Alya duduk sendirian di taman itu. Tidak ada Aldo yang menceramahinya tentang umur sebatang pohon atau rasi-rasi bintang. Beberapa minggu yang lalu, Aldo harus pergi karena mendapat beasiswa di Inggris. Hampir enam bulan mereka tidak bertemu. Seharusnya Alya senang terbebas dari lelaki aneh itu. Seharusnya dia bersorak. Tetapi, tidak.

Ketika Aldo berkata kalau dia akan pergi, tanpa pikir panjang Alya memutuskan hubungan mereka karena tidak mau menjalani LDR. Aldo berusaha meyakinkannya kalau mereka masih bisa menjalin hubungan. Tetapi, Alya tidak mau. Dia sudah malas berhubungan dengan Aldo dan ingin menjalin hubungan lain yang romantis dengan lelaki normal. Dia mendapatkan lelaki normal itu hanya dua minggu setelah kepergian Aldo. Dia mendapatkan hubungan impiannya. Jalan ke mall, makan di restoran, nonton bioskop berdua.

Sayang, semuanya terasa hambar. Meskipun dia dan Aldo hanya menghabiskan waktu di taman ini selama setahun pacaran, tetapi Aldo selalu membawa cerita baru untuknya. Aldo tidak pernah mengulang cerita yang sama. Setelah menjalani hubungan baru ini, Alya baru sadar kalau dia lebih menikmati ceramah berat Aldo tentang pengetahuan alam daripada ocehan pacar barunya yang terus menceritakan tentang kehebatan mobilnya atau teman-temannya. Alya menginginkan Aldo.

Karena itu dia sekarang duduk di sini. Aldo berkata dia akan pulang hari ini dan ingin bertemu dengannya, kalau dia tidak keberatan. Dan Alya sangat tidak keberatan. Dia merindukan Aldo. Bertemu dengan lelaki itu akan menjadi obat mujarab untuk mengatasi kerinduannya.

"Hai, Al," sapa sebuah suara.

Alya menoleh. Senyumnya langsung terkembang. "Hai, Al," balasnya.

Aldo tersenyum kecil. "Aku pikir, kamu nggak akan dateng."

Alya melangkah pelan ke hadapan Aldo. "I miss you," ucapnya pelan.

"So do I," balas Aldo lembut.

Please, Look at me #FF2in1 Rama-Bertahan


Irina memberikan lirikan tajam. Lasya berusaha semampu mungkin mengabaikannya. Dia tau apa yang akan dilakukan sahabatnya itu. Berceramah panjang lebar tentang kebodohannya. Sejujurnya, dia sedang tidak membutuhkan hal itu sekarang.
“Las…”
“Udah, Na. Aku nggak apa-apa. Nggak ada yang perlu di bahas. Oke?”
Lasya sudah siap jika Irina mengeluarkan segala komentar pedasnya. Namun, ternyata sahabatnya itu hanya menghela napas. “Sampe kapan, Las?” Dia menyentuh memar kebiruan di sudut bibir kiri Lasya. “Ini udah kelewatan. Sangat keterlaluan.”
“Dia nggak sengaja.”
“Apa yang nggak sengaja? Waktu dia nonjok kamu atau pas dia kepergok tidur sama pela…” Irina menghentikan ucapannya. “Maaf,” ucapnya, salah tingkah. “Aku cuma nggak mau kamu terus-terusan nyakitin diri. Kamu bisa dapet yang lebih baik dari dia, Las.”
Lasya menggeleng. “Erik udah ngakuin semua kesalahan dia, Na. Dia udah minta maaf dan janji nggak akan ngulangin semuanya.”
“Dan kamu percaya?”
Lasya mengangguk pelan. “Aku sayang dia, Na.”
“Sayang bukan berarti biarin dia bertindak semaunya, Las. Sayang itu berarti saling menghargai. Erik sama sekali nggak nunjukin sifat kalo dia menghargai kamu. Yang dia lakuin cuma terus-terusan nyakitin kamu. Itu bukan hubungan yang sehat.”
Lasya menepuk pelan bahu Irina seraya tersenyum kecil.  “Erik pasti berubah. Dia nggak akan…” Ucapan Lasya terhenti ketika mendengar pintu kafe tempatnya bekerja terbuka dan segerombolan pria berjas melangkah masuk.
“Erik,” bisik Irina pelan.
Lasya mengangguk. Ekspresi wajahnya tampak senang. Dia buru-buru menghampiri meja yang diduduki Erik dan teman-temannya sambil membawa nota pesanan. “Ada yang bisa saya bantu?” Dia melempar senyum manis pada Erik.
Erik hanya meliriknya sambil lalu ketika menyebutkan pesanan teman-temannya satu persatu. Setelah itu, dia benar-benar membuang muka dari Lasya dan mengobrol serius dengan orang-orang di mejanya.
Lasya masih berdiri di sana, menunggu Erik mengucapkan hal lain. Dia setengah berharap Erik akan memperkenalkannya dengan teman-teman lelaki itu.
“Nona?” tegur salah satu teman Erik. “Bukannya kamu seharusnya ke belakang buat mulai nyiapin pesanan kami?”
Lasya tergagap. Dia masih memandang Erik. Namun, Erik sama sekali tidak menatapnya. Lelaki itu hanya meliriknya dengan ekspresi datar, sebelum kembali berbicara dengan lagak penting. Dengan lunglai, Lasya melangkah pelan menuju konter untuk menyerahkan nota pesanan mereka pada Irina.
“Las…”
“Dia cuma lagi sibuk,” potong Lasya, kemudian melangkah ke dapur.
Irina menghela napas pelan. Dia tidak akan pernah mengerti bagaimana Lasya bisa memaklumi semua tingkah buruk Erik padanya. Dia hanya bisa berharap, temannya itu segera sadar dan berhenti mengharapkan Erik untuk benar-benar menoleh padanya.

Thursday, October 11, 2012

#FF2in1 Snow

Semua orang suka salju. Tentu saja. Meskipun membuat beku dan menjengkelkan, entah mengapa salju memiliki daya tarik tersendiri. Putih. Bersih. Suci. Seperti dia. Dia yang sangat mencintai salju hingga ke tulang. Tidak pernah bisa menahan diri untuk tidak berlari keluar, menari-nari di halaman sementara salju bertebaran di sekitarnya. Badai salju pun terlihat indah di matanya. Walaupun ketika hal itu terjadi, dia sama sekali tidak diijinkan meninggalkan rumah.

Salju. Snow. Dia.

Ernest menatap gundukan salju di depannya, sementara beberapa anak berlarian dengan riang, melakukan berbagai aktivitas dengan timbunan harta karun putih mereka. Beberapa anak lelaki sepakat untuk bermain lempar salju. Beberapa bola salju melenceng dari sasaran dan mengenai target lain. Ernest beberapa kali menjadi korban, namun dia bergeming di tempatnya.

"Kuharap kau sekarang di sini, Snow," bisik Ernest. Dia membungkuk untuk meraih gumpalan salju, lalu melemparnya ke depan. "Aku merindukanmu. Sangat merindukanmu." Dia menunduk, menyembunyikan kilau yang mulai muncul di matanya. "Bagaimana bisa kau melakukan ini?" tanyanya. "Bagaimana mungkin kau meninggalkanku?" sebutir air bening bergulir dari pelupuk matanya.

Pertanyaan bodoh. Mereka semua tau jawabannya. Penyakit mengerikan telah merenggut Snow-nya yang cantik dan bersih. Snow yang berubah putih pucat, sepucat salju yang amat di sukainya, sesaat sebelum di makamkan. Penyakit kejam yang merenggut senyum menawan dari bibir Snow-nya yang manis.

Ernest mengadah, menatap hamparan langit di atasnya. "Kau tau, ini belum selesai. Suatu saat, aku juga akan berada di sana dan kita akan bersama lagi." Dia mengusap air matanya dengan punggung tangan. "Kuharap, kau mau menungguku di sana, dan menyediakan tempat untukku, tepat di sampingmu. Aku mencintaimu, Snow. Selalu."

#FF2in1 just trying together...

Ariana menatap Ro, lalu buru-buru menunduk dengan salah tingkah. Ro, dengan kesabarannya yang seakan tanpa batas, tetap duduk di sana dengan tenang, tanpa banyak bersuara ataupun memaksanya.

'Ya ampun, apa yang harus kulakukan?' batin Ariana cemas.

"Aku tidak akan memaksamu, Ri," gumam Ro pelan, seperti bisa membaca pikiran gadis di depannya. "Aku hanya ingin mengatakan apa yang kupikir harus kukatakan."

"Kenapa?" cetus Ariana begitu saja. "Maksudku, bagaimana bisa?"

Ro mengangkat bahu. "Aku sendiri tidak tau."

"Hanya... muncul begitu saja?" tanya Ariana, mencoba menyembunyikan nada kecewanya, namun gagal.

Ro bisa mendengarnya. Tentu saja. Laki-laki ini terlalu peka. Terlalu cerdas. "Tidak. Kalau muncul begitu saja, aku pasti sudah menyadarinya dari awal."

"Lalu?"

"Kau tau, aku tidak percaya cinta pada pandangan pertama," gumam Ro. "Setauku, cinta butuh proses panjang sampai bisa dikatakan cinta. Aku tidak akan berkata aku sudah tertarik denganmu dari awal. Sejujurnya, aku baru merasa kau menarik sejak kita terlibat proyek ini bersama. Menghabiskan banyak waktu denganmu, mengetahui lebih banyak tentangmu, kemudian rasa tertarik ini muncul. Mungkin aku menyukai kepolosanmu, semangatmu, binar di matamu saat kita berhasil menyelesaikan satu-persatu tugas yang diberikan. Tapi, aku tidak bisa mengatakannya dengan jelas karena aku sendiri tidak tau. Yang kutau, aku mencintaimu. Itu saja."

"Aku... aku masih tidak mengerti," gumam Ariana dengan wajah memerah.

"Kau tidak perlu mengerti semuanya sekarang, Ariana. Aku sendiri juga belum mengerti semuanya. Tapi, kita bisa belajar untuk memahami ini bersama. Perlahan-lahan. Bisakah?"

Ariana kembali terdiam. Kali ini cukup lama. Dan ajaibnya, Ro sama sekali tidak muak dengan kelambanannya ini. Lelaki itu tetap duduk di sana, menatapnya, menunggu jawabannya.

'Bisakah?' ulang Ariana dalam hati. Dia kembali memikirkan kata-kata panjang Ro. Lelaki itu benar. Mereka tidak harus memahami semuanya sekarang. Nanti, pasti ada saatnya di mana jawaban akan datang satu-persatu dan membuat mereka memahaminya.

Dengan tersipu malu, Ariana kembali menatap Ro. "Kurasa... kita... bisa mencoba," ucapnya pelan, membuat binar bahagia muncul di wajah Ro.

Tuesday, October 2, 2012

#TwitTalk #PenulisBentang @bentangpustaka w/ @elpuspita :)

Sesi 30 menit pertama:
Bentang Pustaka (BP) :
Yukkk udah jam 19.00 teng! Dimulai yuk @elpuspita :) #TwitTalk #PenulisBentang #WonderfullyStupid mungkin bisa dimulai dari proses pembuatannya, dan karakter2 dlm novelnya :)

Elsa Puspita (EP) :
- novel #wonderfullystupid ini pertama kali aku bikin waktu masih SMA.
- inspirasinya, bisa dibilang, dteng dr pengalaman pribadi, tapi critanya beda jauh.
- proses penulisan drafnya sendiri makan waktu sekitar 1-2 bulan karena kepecah sama ide cerita lain.
- selama 4 tahun, naskah mentah itu sama sekali gk tersentuh, gk kluar2 dari folder.
- pas ada lomba 30hari30buku kemarin, aku iseng liat2 naskah lama.
- entah kenapa, jadi tertarik pngen ngerombak yang ini. perombakannya bener2 abis2an.
- mulai dari alur cerita, nama tokoh, sampe judul, aku ngerasa janggal sama yang lama.
- aku berusaha benerin semuanya, terutama karakter para tokoh sebelumnya yang kurang 'nendang'.
- yang paling aku suka selama proses nulis itu, ngebangun karakternya Arsen :)
- awalnya sempet pusing mau dibikin gimana. tipe cowok idola dgn sikap dingin atau playboy tengil yg kurang perhtian.
- smpe tiba2 mncul 'bsikan' buat gbung 2 karakter itu. cowok idola yang tengil, pke topeng tawa buat ntupin ksedihannya.
- hobi ganti wrna rmbut awalnya cm buat jd bnang merah intraksi dy sm Lanna pertama kali, tp mlah jd ciri khas dy jg.
- kalo buat Lanna, sejujurnya aku bingung dy mau dbikin gmana biar imbang sma Arsen.
- smpe akhirny muncul karakter galak, jutek, tp cm sma Arsen. aku mikir, 'cowok ky gini harus punya pawang'.
- bikin Lanna mau ngrlirik Arsen jg gk gampang. gmana cranya spaya dy mau 'noleh' dan berpaling bentar dr Ega.
- trus ku mikir, cewek slalu luluh sma cowok yg mnghargai mimpi dy, apalgi kl co itu bntu mwujudkan mimpinya.
- semua itu gk ada di naskah lama. dlm wktu skitar 3 minggu, aku brusaha kras buat bikin naskah ini jd layak dbaca.
- akhirnya aku krim yg itu buat lomba 30hari30buku. tentu aja abis itu msh byk bgt msukan lain dari mb dila.
- dgn sarana komunikasi yg sdikit brantakan, akhirnya mb dila bntu aku buat bikin novel ini ckup layak dbca :)
- terakhir, stlah byk prgntian jdul, 'Wonderfully Stupid' ini jg slah satu saranny mb dila. *cium tangan* :D


Sesi 30 menit selanjutnya (tanya-jawab):

RaraiSomplak : beri alasan buat saya kenapa saya harus beli buku #WonderfullyStupid.
EP : mskipun temanya cinta, nvel ini gk cma ttg cinta remaja, tapi juga cinta ayah ke anak lwat hbungan Arsen sm ayahnya. selain itu, dsini aku cba ngsih tau gk slah nglakuin hal bodoh buat memperjuangkan apa yg kmu anggep layak dperjuangkan. krakter tkoh utama yg unik dan ckup kuat serta alur yg nyantai bkin nvel ini ckup layak dikonsumsi.

HallaFan : trus knapa dikasih judul #WonderfullyStupid? Any special reason?
EP : krna inti crita ini ttg 'kbodohan'. kebodohan Lanna yg nunggu Ega, kebodohan Arsen yg nguber Lanna. tpi, kbodohan2 itu bisa berakhir bagus kl kmu mau ngsih dkit aja 'tmpat' biar kbodohan itu bs berkembang jd hal pintar.

puput_shine : apa kendala selama membuat novel #WonderfullyStupid?
EP : kndala utama ya tadi, cri cara buat bangun karakter yg mnarik dtengah tema yg ckup biasa. slain itu jg hrus ngendaliin mood yg dtg dan pergi seenakny, smentara deadline mkin mepet. tapi, slama kinginan buat nylesain itu lbih kuat, hal2 tadi bsa diatasi :)

go_Salsha : kak, emang judul sebelumnya apa?
EP : awal bgt jdulnya 'Semanis Brownies', dr kata brondong manis. haha. trus 'A Wonderful Stupid', smpe akhirnya jadi 'Wonderfully Stupid' :)

dylunaly : susah ga sih revisi naskah lama? ngbangun mood dan lainnya? ada tips?
EP : lumayan susah. soalnya udh terpaku sm alur dan smua yg ada di naskah lama. kl yg aku lkuin byk baca, buat perbandingan, bkn nyontek kok. hehe. bku nonfiksi lbh bnyk ngsih msukan. smakin sring dbca, biasanya smkin nemu byk nemu 'cacatnya', akhirnya jd gatel sndiri buat ngrombak.

ev4S_ : berapa kali draft mentah novelnya diperbaiki / diedit sampai jadi laayak cetak?
EP ; yg ini aku 3 kali tulis ulang sbelum dkirim. trus revisi2 lg dkit2 sma editorny sbelum cetak.


Kata Penutup :

BP :
- Waaa ~ gak kerasa udah jam 8 lewat aja. #TwitTalk #PenulisBentang admin tutup ya tweeps! :')
- Terima kasih buat elpuspita penulis buku #WonderfullyStupid yg ltah menjadi narasuber malam ini :) *tepuk tangan*
- Terima kasih juga untuk para followers yang udah menyimak TL bentang & TL elpuspita dari jam 19.00 td :')
- Makasih juga buat follower yg nanya, maaf nggak bs di RT satu-satu karena buanyaak banget! :)

EP:
- makasih bentangpustaka buat ksempatan ngobrol2nya :D lain kali lagi boleh *ngarep* hahaha :p
- Makasih juga buat yg udah ikut partisipasi. maap kalo jawabannya kurang memuaskan. saya juga masih pemula :)
- kita belajar sama2 ya :) saran dan kritik yg membangun selalu ditampung *kecup sayang*





Wonderfully Stupid :))

Monday, October 1, 2012

#FF2in1 One Last Cry

Oke. Semua hal seperti berlomba untuk menghancurkanku hari ini. Mulai dari lupa set alarm, membuatku bangun telat, menunggu angkot sampai hampir setengah jam, membuatku terlambat ke kantor dan mendapat ceramah panjang dari bos paling menyebalkan di dunia, aku berani bertaruh untuk itu. Aku disuruh lembur untuk mengganti jumlah waktu yang 'tersia-sia' karena keterlambatanku. Lembur tanpa uang pesangon itu benar-benar menyebalkan.

Seakan tidak cukup, sekarang hujan turun dengan deras tepat saat jam pulangku. Tidak ada yang lebih kubenci di dunia daripada basah karena hujan. Tubuhku yang terlalu lemah ini langsung terkapar tak berdaya satu jam setelah terkena air hujan.

Bukan itu saja. Pacarku, kekasih hatiku, pria sempurna yang kuharapkan akan menjadi pendampingku seumur hidup, tiba-tiba memutuskan hubungan kami. Tidak adakah keadilan untukku hari ini? Sepertinya Tuhan tidak akan rugi jika memberiku sebuah taksi yang datang tepat waktu dan bisa membawaku pulang secepatnya, bukan malah membiarkanku menunggu di teras kantor sementara hujan terus membasahi bumi.

Doaku terjawab sekitar empat puluh menit kemudian. Akhirnya ada sedikit kebahagiaan hari ini, tersaji melalui cokelat hangat dan semangkuk mi rebus. Bahagia itu sederhana, kawan!

Bel rumah kontrakanku berbunyi. Aku tetap di tempat, menatap TV dengan selimut tebal menutup hingga ke kepalaku. Seorang teman serumahku sudah membukakan pintu.

"Tamumu," ujarnya padaku.

Aku mengerang, sangat tidak ingin meninggalkan tempatku yang nyaman. Namun, akhirnya aku berdiri juga. Oke, kalian pasti bisa menebak siapa yang datang. Mantan kekasihku tercinta. Dia membawa sebuah kardus seukuran kardus mie instan dan tersenyum padaku.

Ingatan tentang dia bukan lagi milikku tiba-tiba datang. Membuatku menyadari betapa berbedanya posisi kami sekarang. Kemarin, kami berada di satu tempat. Namun, sekarang dia seakan berada jauh, meskipun pada kenyataannya tengah berdiri tepat di depanku.

Dia menyodorkan kardus itu padaku. "Kukembalikan," ucapnya. "Terima kasih, ya."

Terima kasih? Saat itu, aku ingin menjerit. Aku tidak butuh terima kasihnya! Aku ingin mendengarnya mengucapkan maaf dan kembali ke pelukanku sekarang juga, mengenyahkan jarak lebar yang tiba-tiba terbentang di antara kami.

"Kenapa?" tanyaku.

Dia hanya mengangkat bahu. Satu-persatu, air mataku turun. Kemudian, derasnya menyaingi hujan yang masih saja turun. Dia mendekat, mengusap pipiku dengan tangannya yang sedikit kasar, namun sentuhannya tetap lembut.

"Aku mencintaimu," bisiku, terisak.

Dia mengusap mataku. "Aku tau. Dan kamu boleh nangis sepuasnya. Asal, setelah ini, nggak ada lagi air matamu yang jatuh buat aku. Kita udah nggak bisa sama-sama lagi, Leta. Kamu tau itu, kan?"

Ya. Semuanya sudah kacau sejak dua bulan yang lalu. Entah apa yang terjadi sebelum ini. Perasaannya berubah, sementara perasaanku tetap sama. Aku bertahan di sini, dan dia berlalu pergi. Sial. Air mataku tidak bisa berhenti. Dan sekarang, aku makin terisak keras di pelukannya. Dia memelukku, mengelus bahuku. Namun, rasanya sudah beda. Itu hanya sentuhan menenangkan untuk seorang teman, bukan sentuhan hangat kekasih. Membuatku yakin kalau semuanya benar-benar sudah berakhir.

Akhirnya aku melepaskan diri, mengusap air mata, dan memberanikan diri menatapnya. Tanpa kata, aku berbalik masuk dengan membawa kardus berisi barang-barang yang pernah kuberikan padanya, lalu mendorong pintu dengan kakiku. Aku berusaha kuat. Berusaha tegar. Menuruti sarannya, aku menangis sepuasnya malam itu. Setelah ini, tidak akan ada air mata lagi. Tidak untuknya, atau lelaki mana pun juga.