Saturday, August 23, 2014

Cooking + Eating = HAPPINESS!!!

Haloo!! Aku kembali ~
Sekian lama gak nge-blog karena gak tahu apa yang mau ditulis. Ehm… ada sih, tapi ntaran aja :p
Kali ini aku mau cerita tentang hobi baruku. Yah, nggak baru-baru banget sih, cuma lagi sering dikerjain lagi. yaitu…. MASAK!

“Yaela, cewek masak kok jadi hobi. Kewajiban kalik!”

Bagi yang berpikiran seperti itu, ya terserah. Yang penting saya hepi ~

Jadi … aku mau bikin pengakuan dulu sebelumnya. Sampai usia 18 tahun, aku gak bisa masak. Gak bisa di sini bener-bener gak bisa, selain mie instan, telur goreng/rebus, dan masak air. Masak nasi pun bisa berkat bantuan benda ajaib bernama magicom *bener gak tulisannya, bodo*. Potong bawang pun aku tak mampu, apalagi bikin opor. Sayur bening pun gak tahu bahannya apa aja, apalagi rendang. Iya, aku sehina itu ….

Tapi…. Hal itu perlahan berubah.
Semua dimulai di akhir tahun 2010, setelah aku ngalamin patah hati parah *eaaaa*
Saking lamanya gak patah hati *karena lama gak pacaran juga sebelumnya*, patah hati kali itu bikin aku sempet jadi bloon. Tiap pagi, bengong dulu setengah jam, menghela napas berat berkali-kali seakan seluruh beban manusia di dunia harus aku pikul sendiri. Pas malem dengerin musik kenangan, galau lagi, trus mewek gak jelas sambil bilang, “KENAPA INI TERJADI PADAKU, YA TUHAN! KENAPAAAA!!!”
Drama abis pokoknya…

Kejadian bloon itu berlangsung berbulan-bulan. Berat badan turun, rambut jadi cepak, seakan pusat hidupku hilang entah kemana. *keterusan curhatnya*
Patah hati itu KEJAM, Jendral! KEJAAAMM!!

Capek jadi bloon, dan temenku di kost juga kayaknya mulai males bin kasihan ngeliat aku hidup tanpa arah *sumpah, ini gak lebay*, akhirnya salah satu dari mereka, Mufa, mengeluarkan ide jenius. “Coba masak gih, Sa.”

Kenapa aku bilang jenius? Karena saran dari temenku yang lain terlalu mainstream. Dari mulai cuma nyuruh cari pacar baru, sampai yang langsung nyomblangin sama temennya. Pesen aja sih buat kalian, nyomblangin temen yang masih dalam masa galau patah hati itu kayak berusaha nguras laut. SIA-SIA. Jangankan ngeklop, inget namanya aja gak –“

Balik ke ide jenius Mufa. Awalnya, aku gak tergerak. Tapi, sering ngelihatin Mufa yang emang rajin masak di kost. Lama-lama, aku coba. Dari awalnya dibantuin, sampai akhirnya bisa masak sendiri. Aku inget banget bangganya pas kali pertama berhasil bikin sayur sop dan nasi goreng :)))))

Itu seakan jadi turning point. Bisa dibilang, langkah awal buat move on. Yang sebelumnya pagi-pagi galau, berubah jadi pagi-pagi mikir, “enaknya masak apa hari ini?”
Believe it or not, itu bikin hasrat ‘hidup’ku kembali.
Oh, gak. Patah hati itu gak bikin pengin bunuh diri kok. Aku terlalu mencintai diriku sendiri. Hasrat hidup yang kumaksud itu semacam … semangat, gitulah. Dunia yang tadinya berubah gelap, perlahan terang. Warna yang tadinya muram, perlahan cerah. Dan perlahan tapi pasti, cowok-cowok di kampus yang sebelumnya invisible di mataku jadi mulai keliatan dan beberapa di antara mereka ternyata lumayan bening. *kelamaan bloon, jadi gitudeh*

Semuanya karena hobi baruku itu. Masak. Dan karena aku doyan eksperimen, segala jenis makanan aku coba bikin. Tapi masih yang simpel. Awal-awal aku kenalan sama dapur, masakanku selalu berkisar antara sayur bening, sop, tumisan, sampai sambel kering tempe/tahu/telor. Dan goreng-gorengan. Mufa awalnya ngajarin bikin perkedel jagung (di sini disebutnya ‘dadar jagung’ bisa juga ‘bakwan jagung’), aku terus coba bikin perkedel tahu, sampai perkedel tempe. Dan semuanya bisa dimakan tanpa bikin mules-mules!!! *\o/*

                “Bahan dasar masak itu mayoritas bawang merah-bawang putih. Sama garam-gula.”

Itu petuah pertama tentang masak yang aku tahu.  Dan emang sih, makanya walaupun setiap berurusan sama bawang merah aku pasti nangis, tapi aku bertahan! *Backsound: Rio Febrian – Aku bertahan*

Kegiatan masak-memasak itu sempat terhenti lama karena habis liburan, mulai males ngumpulin bahan-bahan lagi. Jadilah kembali ke selera asal, beli di warung makan.

**

Tahun ini, tepatnya sejak Ramadan kemarin, aku balik rajin lagi masak. Kali ini bareng Mufa sama Iin, sebelum Mufa pindah kost, sekarang tinggal aku sama Iin. Mufa ini selalu jadi semacam head chef. Sebelum Ramadan, kami bertiga emang udah sering masak, tapi masih sebatas jajanan. Bubur sumsum, jenang grendul, klepon, sampai bakpao cokelat. Minat masak lauk-sayur belom ada, kecuali Mufa yang emang dari dulu lebih sering masak sendiri daripada beli. Pas Ramadan, karena males keluar dini hari buat cari sahur, jadilah aku sama Iin ngikut Mufa masak sayur-lauk. Awalnya cuma buat buka sama sahur, tapi keterusan sampai sekarang.

Alasan lain aku jadi makin suka masak itu karena nafsu makanku juga makin berkembang. Kalau diikutin, perutku gak akan pernah puas dan pasti akan bikin dompetku menangis sedih. Aku gak akan bisa beli novel dan nonton lagi tiap bulan karena sibuk ngenyangin perut, semua duit buat perut. APA-APAAN COBA KAANN???

Dengan masak, semua senang. Ya perut, ya dompet. Karena perbandingan pengeluaran pas masak dan beli di luar bisa sampai 1:3. Dan kalau dipikir, sayang banget. mendingan buat beli novel, kan, yee …. *teteup*

Sekarang … aku belom jago-jago banget di dapur. Masih sering nangis kalau kebanyakan ngurus bawang merah, dan masih sebel sama bau bawang yang nempel lama di tangan habis masak. Tapi, semua itu terbayar lunas begitu hasil ‘kerja keras’ itu masuk perut. Gak semua karyaku dan Iin berhasil sih. Kemarin pas kami coba bikin macaroni schotel kukus, hasilnya gagal karena kurang telur dan kurang bumbu. Untung masih bisa diperbaiki dan digoreng. Jadinya enak :9
Selain itu, nyaris semua resep yang kami coba berhasil baik. Yeyyy! (^o^)9

Semua itu bikin aku mikir, buat cewek manis dan anggun yang makannya banyak kayak aku, bisa masak itu kayaknya jadi kewajiban. Seenggaknya, bisa bikin gorengan. Jadi, begitu laper, tinggal ambil tepung, telor, air, campur irisan worterl + kubis, tambahin garam secukupnya, terus goreng. Jadilah bakwan. Perut senang, dompet tetap riang ~




Ps: aku bangga karena alasanku belajar masak kali pertama bukan buat orang lain, tapi buat diriku sendiri.  Dari sekadar ‘terapi’, jadi kegiatan yang bikin ‘hepi’ ~

Ps 2: aku jadi makin yakin suatu saat nanti mau buka usaha di bidang kuliner. *aamiin*




Salam dari dapur,


Elsa Puspita

Saturday, May 31, 2014

If you come back ….

“Hoi! Aku pamit ya!”

Aku menatapnya, mengerjap sekali, sekadar memastikan kalau aku tidak salah mengenali orang. “Eh, kamu. Mau ke mana?”

Dia menyebut salah satu tempat, di luar kota, yang akan menjadi setting kehidupannya ke depan.

Aku mengangguk, begitu dia selesai berucap. “Jadi kamu ambil kerjaan di sana?”

“Yoi!” Dia masih berkata dengan nada riang seperti biasa. “Gajinya lumayan banget buat fresh graduate minim pengalaman kayak aku. Rugi kalau nggak diambil.”

“Ya deh, biar modal nikah cepet ngumpul ye,” aku menggodanya.

Dia tertawa. Keras dan renyah. Tawa yang selalu berhasil menular padaku. Begitu tawanya reda, senyum masih tersisa di sudut bibirnya. “Nggak pengin ngomong apa-apa sama aku? Ini bisa jadi pertemuan terakhir kita, lho. Abis ini, entah kita masih bisa ketemu apa nggak.”

Aku diam. Dia benar. Setelah ini, setelah aku lulus, aku juga akan pergi dari kota ini, entah ke kota lain, atau kembali ke kota asalku. Yang jelas, bukan kota yang sama seperti yang dia tinggali.

Apa ada yang ingin kusampaikan padanya? Tentu saja ada.

Apa aku akan menyampaikan langsung padanya? Yang benar saja.

“Hm … mau bilang … ati-ati aja di sana nanti. Terus, kalau jadi nikah, jangan lupa undang aku!” ucapku, setengah mengancam.

Dia menyeringai, membuat matanya yang sedikit sipit, langsung hilang ditelan kelopaknya. “Kamu juga. Buruan lulus! Busuk nanti kelamaan di sini.”

Aku hanya mencibir, namun tidak menanggapi ucapannya. Setelah basa-basi terakhir, kami berpisah jalan. Dia masih melambaikan tangan dengan wajah cerah sembari menjauh, yang kubalas dengan gerak tangan yang sama, namun jelas suasana hati yang berbeda.

Begitu sosoknya menghilang di tikungan, aku menurunkan tangan, seraya menghela napas.

*

“Jadi, kamu masih nggak bilang apa-apa ke dia?”

Aku menggeleng.

“Kenapa? Habis ini, kalian juga nggak bakal ketemu lagi. Kurang-kurangi deh tuh gengsi. Mati ketiban gengsi, nggak enak tahu.”

“Berisik!” Hanya itu tanggapanku.

“Emang kenapa sih kalau bilang?”

Aku menghela napas. “Dia udah punya pacar. Aku kenal sama pacarnya, walaupun nggak dekat. Bayangin deh, kalau tiba-tiba ada cewek yang nyatain cinta ke pacarmu, padahal selama ini kamu mikir cewek itu cuma temenan aja sama pacarmu itu, gimana perasaanmu?”

“Ya gampang. Jangan sampai ceweknya tahu.”

Aku menatapnya sebal. “Bukan masalah ceweknya tahu apa nggak. Aku nggak mau ada di tengah hubungan orang.”

“Belum tentu diterima juga, kan? Lagian, kamu juga nggak nembak. Cuma bilang, ‘eh, aku suka lho sama kamu,’ terus pergi. Udah.”

Seandainya segampang itu, gumamku dalam hati. “Nggak deh, makasih.”

“Terserah deh.”

*

Aku mengenalnya hampir lima tahun lalu. Saat masa OSPEK, dan aku satu kelompok dengannya. Lalu kami sering satu kelas, dia sering duduk di sampingku, begitulah semuanya bermula.

Jangan bayangkan cinta pada pandangan pertama. Ini jauh dari itu. Aku sudah punya pacar saat kami pertama dekat. Begitu aku putus, dia yang punya pacar. Selalu seperti itu. Namun, hubungan pertemanan kami tidak berubah. Aku tahu bagaimana dia dan pacar-pacarnya, dia pun tahu bagaimana aku dan pacar-pacarku.

Sejujurnya, aku tidak pernah membayangkan akan jatuh cinta padanya. Aku tidak percaya dengan statement yang menyatakan kalau laki-laki dan perempuan tidak bisa menjadi sekadar sahabat. Selama bertahun-tahun, aku dan dia bisa bersikap layaknya teman, tidak pernah lebih.

Sampai di hari ketika dia mengatakan mendapat panggilan kerja di luar kota. Aku ikut senang mendengarnya. Sungguh. Malam itu kami merayakannya. Aku benar-benar merasa gembira untuknya. Tahu bagaimana perjuangannya sampai akhirnya mendapatkan panggilan itu.

Setelah malam itu, aku baru menyadari ada yang berubah. Perasaanku tidak lagi sama. Saat menyadari kalau kami akan segera berpisah, benar-benar berpisah tanpa tahu masih ada kesempatan untuk bertemu lagi atau tidak, aku menangis. Selain dia, aku juga berteman dekat dengan yang lain. mereka juga sudah pergi satu-persatu, namun tidak ada yang membuatku menangis. Sedih karena perpisahan, iya. Menangisi kepergian mereka, tidak. Aku tahu perpisahan selalu hadir bersama pertemuan. Karena itu, tidak pernah ada perpisahan yang membuatku menangis.

Tangisan untuknya itu yang membuatku sadar kalau aku mungkin punya suatu perasaan lebih untuknya. Entah apa lebihnya. Dan entah kapan perubahan itu terjadi. Aku tidak pernah mau memikirkannya.

Sebagian hatiku merasa lega saat dia menjauh. Maksudku, pergi. Itu akan membuatku lebih mudah melupakannya, kan? Tapi, sebagian lagi yang murni menganggapnya teman dekat, merasa sedih membayangkan tidak akan bertemu dengannya lagi. Sisi mana yang lebih besar, aku tidak tahu.

*

“Seandainya ya, kamu sama dia ketemu lagi, apa yang mau kamu omongin?”

“Yang aku omongin? ‘Hai, apa kabar! Lama nggak ketemu!’, gitu,” jawabku, tak acuh.

“Serius, ish!”

“Ya, serius. Emang aku harus ngomong apa?”

“Kamu beneran nggak pengin ngasih tahu perasaan kamu ke dia?”

Aku menggeleng, yakin. “Selama statusnya punya pacar, nggak akan pernah. Sebesar apa pun rasaku ke dia, nggak akan. Lagian, aku juga nggak yakin apa yang sebenernya aku rasain. Mungkin cuma sekadar nyaman karena udah lama bareng.”

“Yakin?”

Aku mengangguk. “Kecuali … kalau nanti dia balik, terus aku yang bakal pergi dan nggak ke sini lagi, mungkin aku baru mau bilang.”

“Yah, gitu mah beneran mustahil.”

That’s my point,” ucapku.

Tidak sepenuhnya bohong. Kalau memang nanti, entah apa yang terjadi di sana hingga dia memutuskan pulang sebelum aku yang pergi, dan kami bertemu kembali, aku akan melakukannya. Meskipun seperti yang dikatakan teman serumahku, itu mustahil.

But, we never know what will happen, don’t we?

*

“Hoi!”

Aku reflek menoleh. Hanya satu orang yang biasa menyapaku dengan kata “hoi” bernada seperti itu. Dengan tidak percaya, aku mengerjapkan mata. Seketika, aku melongo. “Kamu … ngapain di sini?”

“Pulang,” jawabnya, dengan nada ringan tanpa beban. “Kamu ngapain masih di sini? Nggak pulang kampung?”

“Minggu depan ….”

“Nggak balik ke sini lagi?” tanyanya.

Percakapan dengan teman serumahku berbulan-bulan lalu kembali terputar di kepala. Aku menggigit bibir, menatapnya bingung, bercampur tidak percaya. “Nggak,” aku menjawab lemah.

Ya Tuhan ….



***

Tuesday, February 18, 2014

Wajah tidurmu, dan aku kembali jatuh cinta …

Di salah satu ritual “pillow talk” kita, kamu sempat bertanya kenapa aku menerima lamaran dan mau menikah denganmu. Jujur, kalau kamu menanyakan hal yang sama lagi, aku masih belum bisa memberikan jawaban pasti, selain senyum simpul seolah bermisteri. Nyatanya, aku tidak punya jawaban pasti itu.

Waktu aku balas menanyakan hal yang sama, jawabanmu membuatku terpana. Apa yang membuatmu mau menikahiku?

“Pas istikharah, pertanda Allah bilang kalau kamu emang yang tepat.”

Kamu menyeringai. Aku melongo, kemudian tertawa. Istikharah juga kulakukan sebelum memberi jawaban “iya” padamu. Tapi, aku tidak pernah berpikir menjadikannya jawaban dari pertanyaan “kenapa aku mau nikah sama kamu”.

Ritual “pillow talk” kita selalu menyenangkan, seburuk apa pun hari yang kita lalui sebelum beranjak tidur. Memastikan kamu yang terakhir kulihat sebelum memejamkan mata, dan aku yang kamu lihat sebelum terlelap, tidak ada yang lebih indah dari itu.

Sampai ketika perang besar terjadi di antara kita. Aku tidak perlu mengingatkan apa pemicunya. Kamu tentu masih ingat, kan? Yang jelas, saat itu kita mengeluarkan sisi terburuk masing-masing. Ketika berakhir, tidak satu pun dari kita mau melihat wajah yang lain. Untuk malam itu, tidak ada ritual “pillow talk” karena kita pun menolak tidur di tempat yang sama.

Aku belum melupakan kejadian itu ketika beranjak tidur. Namun, ketika membuka mata di pagi harinya dan melihat wajah tidurmu, aku bahkan tidak bisa ingat apa yang kita ributkan semalam.

Aku malah mendapatkan jawaban dari pertanyaan “kenapa aku mau nikah sama kamu”.
Kenyataan kalau kamu menggendongku masuk kembali ke kamar kita saat aku terlelap, yang berarti di saat terburuk pun kamu masih menginginkanku ada di sampingmu, dan kamu di sebelahku …
Kenyataan kalau wajah tidurmu yang tetap menghadapku ketika aku bangun, bukan malah memberiku pemandangan punggung, yang berarti semarah apa pun, kamu tidak benar-benar memalingkan muka dariku, masih mau menatapku …

Saat itu, sekali lagi, kamu membuatku jatuh cinta untuk kesekian kalinya. Aku lupa, untuk sejenak, kenapa kita bertengkar. Tapi aku yakin, untuk waktu yang lebih lama, kamu akan selalu membuatku jatuh cinta. Berkali-kali, di situasi apa pun.

Dan kalau kamu memang perlu jawaban, kurasa itu jawaban yang cukup. Wajah tidurmu membuatku jatuh cinta berkali-kali. Selama itu yang pertama kulihat saat bangun, selama itu juga aku merasa menikahi orang yang tepat.



***

Si jelek nan berharga :)

Sebenernya aku lagi di tengah ngejar deadline. Tapi tiba-tiba pengin nulis blog gara-gara liat si Item.

Jadi, aku punya dua hape. Blackberry sama Nokia tipe lama yang layarnya kalah lebar dibanding salonpas yang udah dipotong setengah dan masih item-putih. Namanya si Item. *pengin masukin fotonya, tapi internet lemot. Ntaran aja ya, kalau inget*

Yang jelas, hapenya udah jelek banget. Layarnya pun udah retak. Kenapa bisa retak gitu sebenarnya buatku sendiri masih berupa misteri. Yang aku inget, pas aku keluarin dari ransel udah retak aja tuh benda. Tapi, walaupun buluk, aku masih gak mau genti. Bahkan, pas adekku minta pun gak kukasih. Bentuknya emang jelek, kuno, dan biasa banget. Sejarah di baliknya yang bikin si jelek itu berharga banget buatku.

Aku bukan tipe orang yang doyan ngikut tren dalam bentuk apa pun*syukurlah*. Apalagi hape. Aku gaptek masalah itu. Yang penting buatku, hape yang bisa mencakup semua yang aku butuh dan masih layak pake, yowes. Aku pake sampe rusak, baru ganti. Waktu nada polyphonic lagi ngetren jaman SMP kemaren, hapeku masih Samsung jadul yang ada antena luar, sampe ada temen sekelas yang nanya, “Itu hape beneran?”.
Lulus SMP, sementara hape kamera mulai menjamur, aku masih setia pake Siemens lama yang juga pake antena luar, sampe batrenya soak dan gak bisa dilepas dari charger kalau gak mau hapenya mati. *gak usah tanya tipe berapa, aku gak paham*

Semua hape itu lungsuran Ayah, yang emang doyan gonta-ganti hape. Sebagai anak baik, ya terima aja dikasih bekasan. Hape bagus pertama yang aku punya dan bener-bener dibeliin buatku Nokia 6600 *iya! Yang gendut banget itu*. Kata Emak, buat kado ulang tahun ke-15 *tanggal belinya pas 30 Desember 2006*
Fix, itu pertama dan terakhir kalinya aku dibeliin hape. Hape-hape berikutnya lagi-lagi lungsuran Ayah. Aku juga pernah pake Sony Ericson, LG, sampe hape Flexi.

Lulus SMA, aku sempat LDR. Pejuang LDR tahu apa masalah terbesar kaum kami itu. KOMUNIKASI. Sebagai mahasiswi rantauan yang jatah duit jajan udah harus termasuk uang makan + bayar listrik, tentu harus super hemat. Aku sebelumnya pake kartu SIMpati sama IM3. SIMpati khusus buat keluarga, IM3 buat pacar karena banyak gratisannya. Ternyata, di Jawa gratisan itu gak berlaku! Jadilah pulsa jadi masalah tersendiri. Akhirnya aku gonta-ganti kartu, cari yang paling murah dan banyak gratisan. Ini bikin Emak ngomel, karena aku jadi susah dihubungi dan suka lupa ngasih tahu nomor baru. Akhirnya, capek bolak-balik pindahin kartu ke hape, duit hasil lebaran aku beliin satu hape lagi. khusus buat SIMpati supaya si Emak bisa nelepon kapan pun tanpa terganggu nomorku yang satu lagi *aku baru berhenti genti-genti kartu “khusus pacar” pas semester 2, kartu yang akhirnya jadi nomor utama dan masih tak pake sampe sekarang*.

Itulah sejarah si Item : Hape pertama yang aku beli pake uang sendiri :’)

Dia memang jelek. Layarnya udah retak, dan sering jadi bahan hina temen-temenku saking jadulnya dan suka lelet nerima SMS. Tapi aku sayang. Meskipun gak bisa dipake denger mp3, buka twitter, dan harus puas dengan nada telepon khas Nokia, dia punya kenangan tersendiri buatku.

JADIIII…. terserah ye kalian mau berapa kali nyuruh ganti hape, pokoknya aku sayang sama si Nokia item jelek berlayar retak ini, dan GAK AKAN GANTI DIA SEBELUM BENER-BENER RUSAK!!! (^o^)9

PS *buat suami masa depan* : sama hape butut aja aku setia banget lho. Apalagi sama kamu nanti :* :3

(~^o^)~ ~(^o^~)

-ep-

Wednesday, February 12, 2014

Love, just the way you are ~

Kalau ada yang nanya, "Bagian tubuh yang paling gak kamu suka?" gak pake mikir aku bakal jawab, "Kaki sama bibir."

Kakiku pendek. Tapi telapaknya lumayan gede buat ukuran badanku. Positifnya, aku gak gampang jatuh, negatifnya...aku pendek. Saking putus asanya sama panjang kaki, aku sempet pengin minta dibeliin alat tarik-tarik kaki yg sering muncul di iklan tipi itu. Setiap diledek masalah tinggi badan, well...it hurts, honestly. Apalagi kalau mereka ngeledek frontal pake kata 'pendek'. Tapi, aku tahu itu kenyataan. Mau sakit hati begimana pun ya gak bakal ngubah aku jadi tinggi. Caraku nyikapinya sekarang cuma bales, "Biarin. Aku kecil imut." Lumayan, penghiburan sendiri :')

Terus...bibir. Aku punya idung yang gak mancung-mancung amat buat ukuran orang yang ngaku ada darah Arab (cuma seperdelapan sih, mayan tapi). Semua bagian idung udah diambil keempat adik cowokku. Ya mancung. Ya gede. Tinggalah aku kebagian pesek dan kecilnya. Nasib yang bikin aku sering diledek sebagai 'anak percobaan'. But, I love my nose. Pesek lucu, menurutku. Justru bibir yang aku gak sukai banget. Kelewat tebel. Kalau bisa, aku pengin operasi potong daging di bibir, trus pindahin ke idung biar mancungan dikit. Gak perlu dibilang separah apa ledekan yang aku terima jaman dulu gara-gara masalah bibir ini. Nangis? Gak usah ditanya. Rasa sebelku sama bibir jauh lebih besar daripada sama panjang kaki. Setiap foto, fokus pertamaku lihat hasilnya pasti langsung ke bibir. Kalau ganggu, hapus. Yah, aku segitu gak suka banget emang.

Sampai satu hari aku iseng pake lipstik yang dikasih oleh Jidah *panggilanku buat Nenek dari pihak Ayah*. Warnanya pink lucu. FYI, aku gak pernah suka pake lipstik. Bikin bibirku kerasa makin tebal. Pas iseng foto, hasil bibir yang aku dapet jadi gini :

not bad lah... *HAHAHAHAHA*

Saking takjubnya, aku sampe bikin beginian :

Biarin norak. Yang penting aku bahagia :*

Untuk kali pertama seumur hidup, aku bisa bilang, "Aku suka bibirku". Percaya atau gak, kalimat itu nyaris gak pernah aku ucapin.

Kejadian itu bikin aku mikir, kenapa aku bisa gak suka banget sama bibirku? Jawabannya : karena penilaian jelek orang. Ejekan fisik itu emang separah-parahnya ngejek. Sepanjang masa SD-SMP, entah berapa kali anak-anak berandal itu 'ngebully' gara-gara bibirku. Padahal kalau boleh jujur, mereka juga fisiknya gak bagus-bagus amat. Heran juga bisa segitu pedenya ngatain fisik orang. Jadi, ngapain aku harus ikut benci apa yang udah dikasih Tuhan buatku gara-gara mereka? Tuhan lebih tahu apa yang terbaik buatku, dibanding mereka yang pas kelas 4 SD ngerjain soal perkalian aja masih nyontek *iya, ini dendam*.

Sekarang, aku gak bilang "I love my lips very much". But, I can say loudly, "I LOVE ME, JUST THE WAY I AM."

Karena Tuhan, gak akan pernah salah cetak. Seburuk apa pun di mata manusia, di mata Tuhan itu hal paling baik yang bisa kamu terima. So, just take and love it :))

Seorang bijak pernah ngomong : "Cintai dirimu, maka orang akan mudah untuk ikut mencintaimu."

Dan dipikir-pikir, kalau aku sendiri aja terganggu sama kekuranganku, gimana orang bisa nerima?
Mereka yang terganggu? Itu mah urusan mereka. Ngapain sini ikut mikir. Iya to? ;)

Yeah. I love myself. Just the way I am :))



Sooo, how about you? ;)



-ep-

Wednesday, February 5, 2014

Nge-Pantai Goa Chin(t)a ~

Udah lama gak ngepost tentang liburan. Mari cerita tentang perjalanan ke Pantai Goa China kemarin. (telat ye? biarin lah. baru inget)

Tanggal 2 November 2013 kemarin, aku sama anak-anak kost akhirnya jadi juga jalan-jalan bareng lagi. Setelah beberapa kali bolak-balik bikin rencana dan batal, rencana kali ini bisa berjalan. Gak lupa juga Pasukan Berani Mati dari mantan tetangga kost-an, yang dihuni pejantan tanggu(ng)h, ikut. Ya iyalah mereka ikut. Yang punya kendaraan mereka-mereka sih. Bhahahahahahaha

Oh, aku punya cerita menarik tentang kost lamaku sama anggota kost cowok-cowok itu. Kisah cinta. Tapi entaran aja, di post yang lain :p

Lanjut lagi....

Kayak biasa, kalau bikin rencana rame-rame, kekancutan pasti terjadi. Apalagi yang melibatkan cowok-cewek. Pertama, aku bangun telat (HAHAHAHAHA), kedua, cowok-cowoknya pada ngaret. Niat awal berangkat jam 6, mundur jadi jam 7.

Berangkat dengan riang gembira, aku pribadi gak tahu bakal sejauh apa perjalanan kali ini. Ternyataaaa.....lumayan banget bikin bokong sakit. Kurang-lebih 3 jam di jok motor, pantat siapa yang bisa tahan????

Tapi, pemandangan yang dilihat pas nyampe, bikin pegel begimana pun hilaaaaanggg......

Cantik, kan?


Nih lagi potonya....


Begitu nyampe, kita langsung siap-siap main air. Air di mana-manaaaaa /o/~~~~~

Pengungsi? BUKAAAANNN!!!!


Oh, sebelum main air, kita makan dulu. Capek di jalan bikin laper. Dan kita bawa bekal!! \O/
Abis itu baru deh main-main air.

Pantainya masih bersiiiihhhh banget. Masih jarang yang datang ke sana karena kebanyakan tahunya Pantai Bale Kambang. Jadi puas deh main-mainnya.

Pantainya disebut Pantai Goa China karena di sana ada goa-nya. Di sana ada papan berisi penjelasan asal-usulnya. Aku sempet baca, tapi lupa --"
Aku sama anak-anak juga sempet masuk, tapi ke bagian mulut goa aja, gak sampe ke dalam. lubang jalannya kecil banget. Kalau nekat, harus jalan berlutut, sampe merayap sekalian. Daripada abis dari sana langsung kena klaustrophobia, mending cukup poto-poto di depannya aja....

Iin - Beti - Me

Sebelum ke goa, aku sama Iin sempet ke bagian lain pantai yang lebih sepi. Dan di sana mulai sok-sok pemotretan gitu deh. Hehehe
Sayang, karena kakinya Iin sakit, jadi dia gak bisa banyak ikutan poto...

HAP HAP HAP!!!


Abis dari pantai itu, kita berniat lanjut ke Pantai Bajul Mati. Dan ..... di sanalah pertualangan sebenarnya dimulai...

Jadi.... karena niatnya cuma mampir bentar doang sebelum balik ke Malang, kita males mau masuk lewat pintu depan karena pasti bakal bayar. Jadilah nyari-nyari jalan di samping-sampingnya. Nemu satu pantai, tapi aku sendiri gak tahu itu pantai yang bener apa bukan. Karena bagus dan gak ada orang selain kita-kita, jadilah mampir. Toh udah lewat, gak rugi ini. Karena kita semua makhluk narsis dan sayang momen, tetep harus diabadikan dong.....

Kayak foto keluarga ya? ._.


Puas poto-poto, kita lanjut jalan lagi...

Di tengah perjalanan, ada yang nyeletukin ide buat mampir lagi ke Bale Kambang. Sebelum itu, mau cari masjid/musolah dulu buat sholat. Entah siapa yang mulai, niat awal nyari jalan pintas malah berakibat.....nyasar.

Tiba-tiba aja kita udah ada di jalan yang jueeeeleeeekkkk buanggeeeettt. Saking jeleknya, arena offroad pun kalah. Dari awal masuk ke jalan itu, aku udah firasat bakal ada yang gak beres. Bener aja. Kita murni nyasar, ntah di mana.

Dalam keadaan bokong udah makin nyut-nyutan, jalanan jelek bikin pantat lompat-lompat di jok dan makin sakit, akhirnya ada satu temen yang ngelihat masjid. Kita pun mampir demi keselamatan bokong masing-masing. Yang sholat, langsung sholat, yang gak sholat (termasuk aku) jadi penjaga barang.

Lucunya, meskipun gak tahu lagi di mana, kita masih bisa ketawa, becanda-becanda, sambil diskusi jalan mana lagi yang harus kita tempuh. Lanjut? Atau balik arah? Karena ngerasa udah jalan jauuuuuhhhh banget, dan yakin bagian depan gak mungkin lebih jauh lagi, kita pun nekat lanjut.

Sebelum ninggalin masjid itu, tetep eksis foto-foto donggsss....

Ini masjid ya.. apa musolah? Gitu deh....

Dari sana, kita beneran lanjut ngikutin jalur jalan jelek itu. Untunglahhhh.... gak lama setelah itu, kita nemu perumahan penduduk. Dila, salah satu temen kost-ku, turun buat nanya ke ibu-ibu yang duduk di depan rumahnya. Dari si Ibu, kita tahu kalau terus jalan lurus, bakal nyampe di Bale Kambang. Dan you knowwww.... kita nemu Bale Kambang dan jalanan beraspal!!!!!
Jadi, kalau tadi gak sotoy mau coba jalan baru, kita bisa nyampe ke Bale Kambang dalam hitungan menit!
Tapi, yasudahlah. Jalan-jalan kalau gak ada ginian itu gak seru. Seenggaknya, dengan gini kan jadi punya cerita :'))))

Niat ke Bale Kambang udah ilang, kita pun mutusin langsung pulang ke Malang. Sebelumnya, karena udah laper lagi, kita mampir ke bakso di daerah Pakis. Baksonya segede bola tenis dan harganya cuma 7ribu! Syurgaaaa, Jendral!

Begitu nyampe rumah, baru segala capek kerasa semua. Tapi, kita seneng. Satu sisi, kita juga nyadar kalau ini kemungkinan besar bakal jadi acara jalan-jalan terakhir dengan personil lengkap. Bener aja. Gak lama abis acara jalan itu, beberapa anak yang ada di foto udah pada merantau, melanjutkan hidup mereka :')

Ehm.... gak kerasa udah empat tahun lebih aku bergaul sama anak-anak ini. Mereka keluarga kecil yang aku temuin selama jadi pendatang di Malang. Aku bersyukur kenal mereka semua. Sampe sekarang, meskipun jarang ketemu, ikatan yang udah kita bangun dari awal masih kerasa.

Semoga... itu buat selamanya :)





Monday, February 3, 2014

Malaikat Bidadari

Sepasang mata hazel Gya menatap sebentuk cake di depannya. Barisan lilin yang menyala di atas kue itu menari-nari, seakan meledek kesendiriannya. Sementara orang lain merayakan hari spesial bersama orang yang juga spesial, dia harus menghabiskan malamnya sendirian.

Cake dan lilin itu hanyalah upaya terakhirnya menipu diri dalam menjadikan hari ini spesial. Nyatanya, sama sekali tidak ada yang istimewa. Papanya sama sekali tidak peduli hari apa ini. Untuk apa pula beliau ingat jika hari yang seharusnya istimewa ini malah dianggap kutukan? Kutukan yang membuat mamanya pergi saat berjuang membawanya ke dunia. Bukan salah Papa jika sampai mengabaikannya.

Lamunannya buyar saat mendengar suara ketuk halus dari jendela kamarnya. Dia menyingkap tirai dan mendapati sesosok wajah akrab di depannya. Sosok itu melambaikan tangan, seraya menyodorkan bingkisan berbentuk kubus. Gya tersenyum sedih sambil menggeleng.

“Kenapa?” tanya Alex. “Aku ingin merayakan tanggal keramat ini.”

Gya mengernyit. “Keramat?”

Alex mengangguk. “Tepat tanggal ini, tujuh belas tahun yang lalu, Tuhan menurunkan bidadari-Nya ke bumi, dan sekarang dipinjamkan padaku. Tanggal keramat, kan?”

Gya tersenyum malu. “Kamu menyebalkan.”

“Aku tahu. Bagaimana kalau sekarang kamu buka jendelanya, supaya kita bisa memulai perayaannya?”

Gya menatap sosok itu sesaat, lalu membuka jendelanya. Alex selalu menganggapnya bidadari, tetapi tidak pernah menyadari kalau lelaki itu sendiri adalah malaikat.

Malaikat pelindung dari Tuhan yang sekarang dipinjamkan padanya supaya dia tidak benar-benar sendirian.


**

Sunday, February 2, 2014

Tulisan entah apa

Mari mulai me-randooommm!!!

Lagi pengin nulis, mandangin draft hasilnya cuma bengong kayak kebo sakit gigi. *serah nyambung apa kagak* kalau kata Justin Bieber, "Stuck at the moment". Halamannya gak nambah-nambah, Kakak!! Aku kudu piye? *meringkuk di bawah selimut*

Lagi pengin ngomel, tapi lagi males sama twitter. Saat-saat begini, bersyukur punya blog. Bisa dipake buat me-random. *\o/*

Jadi....kerandoman apa yang mau ditulis kali ini????
*mikir sampe taun baru China berikutnya*


Eh, ini udah Februari ye?
Mari membicarakan Valentine!!

Sejarah:
Kali pertama tahu sejarah Valentine's day itu pas SD, jaman masih langganan majalah BOBO. Di sana dibilang kalau awalnya Valentine's day itu diperingati buat mengenang kematian Pastur Valentino yang pada jaman itu bersedia nikahin pasangan-pasangan yang saling jatuh cinta. Jadi, pas masih jaman perang-perangan dulu (lupa abad keberapa), menikah itu dilarang. Kenapa? Biar para lelaki mau maju perang tanpa harus mikirin keluarga. Di sanalah peran Pastur Valentino. Diam-diam, dia nikahi para pasangan yang saling jatuh cinta. Pas ketahuan, Sang Pastur dijeblosin ke penjara. Demi menghargai peran Sang Pastur, para pasangan yang udah dinikahi itu ngasih hadiah-hadiah kecil ke penjara, tentu diam-diam juga. Tepat tanggal 14 Februari, Pastur Valentino meninggal. Itulah asalnya kenapa disebut Valentine's Day atau Hari Valentino. Kenapa melambangkan cinta? Karena keinginan menyatukan cinta dua insan yang bikin Pastur Valentino akhirnya di penjara.

Valentine-ku:
Semua supermarket/minimarket ngasih diskon gila buat cokelat. Penjual bunga tiba-tiba menjamur. Tanda Valentine makin dekat. Aku gak pernah ngerayain Valentine. Gak pernah ada pacar pas jaman itu. *gigit kuku* eh, pas ada pun gak pernah bikin perayaan macam-macam. Jadi sebenernya Valentine pas jomblo atau gak buat aku gak ada beda (--,)

Makna Valentine:
Terlepas dari heboh perihal haram-halal Valentine, aku sebenernya gak pernah peduli. Pernah diomelin orangtua dan sering diwanti gak ikutan karena kata mereka gak penting, guru-guru jaman sekolah juga ngingetin begitu. Dan aku sendiri pun gak tertarik-tertarik banget ikut gituan. Buatku sih Valentine itu acara lucu-lucuan aja. Jadi, aku gak bakal bahas dari segi agama. Udah ada yang lebih ahli. Aku cuma butiran kain rombeng dibanding pendapat mereka. Lihat sisi positifnya ajalah. Produsen cokelat, dapet rejeki. Cowok yang tadinya gak pernah ngasih bunga atau cokelat, jadi bisa ditagih buat ngasih. Cewek yang gak pernah dapet bunga atau cokelat, jadi punya alasan buat minta. Kalau semua bahagia, kenapa kamu harus susah? *sebar confetti*


Hari kasih sayang emang seharusnya gak cuma tanggal 14 Februari sih. Tapi, kan gak semua orang bisa bebas mengekspresikan rasa sayang, dan Valentine's day mungkin bisa jadi sarana.
Jangan dipikirin lah semuanya. Hidup udah cukup berat dan banyak yang harus dipikirin tanpa ditambah drama Valentine *kemudian curhat*



SEKALI LAGI tulisan ini cuma ke-random-an ku. Tanpa bermaksud menghasut atau menghina pihak mana pun. Ini semua buah pikiran pribadi dan buah dari keinginan buat nulis tapi gak tau mau nulis apa dan yang bisa ditulis yang beginian.
Begitulah.


Sekian dan terima cokelat,



Salam sayang cinta kasih,


-ep-

Thursday, January 30, 2014

Menunggu giliran....

Ternyata, jatuh cinta itu ngangenin. Seenggaknya, aku ngerasa gitu. Berawal dari cerita seorang teman, tentang doanya ingin jatuh cinta, dan terkabul. Aku terdiam lama sebelum membalas pesannya.

Aku pernah memanjatkan doa yang sama. Ingin merasakan jatuh cinta lagi. Tapi, Semesta belum ngasih ijin. Mungkin aku masih disuruh menata hati. Mungkin aku belum dipercaya buat sembarang menjatuhkan cinta lagi. Mungkin seseorang itu belum datang.

Mungkin, aku masih disuruh menunggu giliran.

Giliran untuk merasa cinta lagi. Yang utuh. Tanpa cacat atau goresan apa pun.

Mungkin, ini teguran Semesta. Tentang sikap angkuhku pada kesendirian, seakan coba membantah kalau semua orang butuh berpasangan. Semesta yang kesal, membuatku merasa kangen seperti ini.

Oh, aku jatuh cinta setiap hari. Pada kehidupan yang kujalani sekarang. Jatuh cinta yang kurindukan merujuk pada rasa ke lawan jenis. Ngerti, kan? Begitulah.


Ini bukan keluhan. Aku percaya pada Semesta. Dia tidak akan membuatku jatuh pada sosok yang tidak akan menangkapku. Jadi, aku sama sekali tidak bermaksud protes.

Ini cuma cerita.



-ep-

Wednesday, January 29, 2014

Tentang lelaki yang menari di bawah hujan

Bukan. Dia bukan menari. Hanya berputar, entah untuk apa. Semakin deras rinai yang jatuh, semakin cepat dia berputar. Kepalanya menunduk, menghindari tetes menyentuh wajah. Apa yang dicarinya? Apa yang dipikirkannya? Berbagai pertanyaan lain bermunculan. Namun, yang paling ingin kutanyakan sebenarnya, apa yang dilakukannya?

Itu bukan tarian. Tangannya memang terentang, membiarkan telapaknya menampung air. Begitu saja. Putaran yang memelan, pertanda dia tahu hujan segera reda. Benar saja. begitu titik air berhenti jatuh, putarannya terhenti. Pakaiannya basah kuyup, menempel di badan tegapnya. Kepalanya tidak lagi menunduk begitu dia berjalan pergi. Meninggalkan sisa hujan.

*

Cappuccino-ku mulai mendingin. Isinya masih sama seperti ketika waiter meletakkannya di depanku. Aku masih belum mengalihkan pandangandari luar jendela, ke tempat lelaki itu tadi menari. Atau berputar. Atau … entahlah, melakukan apa pun yang dilakukannya. Itu bukan pemandangan pertama. Beberapa kali aku berteduh di sini, sambil menikmati cappuccino panas ketika hujan, dia pasti melakukan ritual yang sama.

Aku melihat lelaki itu melangkah memasuki kafe melalui pintu belakang. Kutunggu sosoknya muncul, namun, seperti biasa, dia seperti menghilang. Aku menyesap cappuccino, dan langsung kehilangan minat begitu mendapati minuman itu sudah  terlalu dingin. Mengambil tas kanvas berisi perlengkapan kerja yang kuletakkan di meja, aku meninggalkan kafe itu, setelah menyempatkan diri melempar lirikan terakhir ke arah pintu ruang belakang kafe. Dia tetap tidak muncul.

*

Dia bukan menari. Dia menyembunyikan sesuatu. Seperti menyembunyikan daun di tengah hutan, dia menyembunyikan air bersama air. Aku tahu sekarang. Aku berdiri di depannya, ketika dia baru akan berputar. Dia tidak memedulikan kehadiranku. Tetap berfokus pada ritual hujannya.

Aku mengeluarkan payung lipat. Melindungi tubuhnya dari serangan hujan. Dia berhenti bergerak, langsung menghadapku.

“Untuk apa?” akhirnya aku bertanya.

“Untuk jiwaku,” jawabnya, lirih. “Hujan mengambilnya. Aku ingin memintanya kembali.”

Aku tidak mendorongnya lebih jauh untuk bercerita. Kami berdiam di sana sampai hujan reda. Sampai dia kembali ke ruang belakang kafe, dan aku kembali ke mejaku, di dekat jendela.

*

Tidak ada sosok yang berputar di bawah hujan kali ini. Itu pertemuan pertama, sekaligus terakhir, dengannya. Dia tidak akan pernah muncul lagi.

Kenyataan itu sepertinya berpengaruh pada suasana kafe. Cappuccino kesukaanku terasa hambar. Tidak ada pahit-manis khas cappuccino yang biasa. Aura kelam memenuhi tempat itu, membuatku tidak betah dan akhirnya memutuskan keluar.

Saat melewati salah satu jendela di dekat pintu, aku baru memperhatikan sesuatu. Sebuah potongan koran, tentang kecelakaan tunggal sebuah motor yang rodanya selip karena jalanan licin saat hujan, hingga terjun ke dasar jurang. Berita itu dilengkapi dengan foto sebuah motor yang sudah tak berbentuk. Di samping potongan koran, tertempel ungkapan belasungkawa dari pihak kafe, atas meninggalnya salah satu barista mereka, seorang pembuat cappuccino terenak di sana. Foto si Lelaki Hujan tertempel di sana. Wajahnya tampak cerah. Dia tersenyum lebar.

Sekarang aku tahu asal rasa hambar itu. Tuannya sudah pergi. Segelas cappuccino pun tahu. Tetapi, aku juga tahu sang Tuan tidak bersedih. Doanya terjawab. Hujan tidak mengembalikan apa yang dipinta, melainkan langsung membuatnya kembali bertemu jiwanya. Di sana.


*

Malang, 29 Januari 2014
EP

Friday, January 10, 2014

Postingan Absurd Menuju Tengah Malam...

11.09 p.m
(backsound: Wrecking Ball - Miley Cyrus)

Scrolling-scrolling twitter. buka-buka TL sana sini. nothing special. bocen, mak.

blogwalking:
udah lama gak ngebaca blog-blog orang. pas liat @radityadika di TL, langsung meluncur ke TL dia dan iseng buka blognya lagi.
blog Dika sebenernya salah satu blog favoritku. dulu. aku bukan tipe orang yang doyan blogwalking. tapi, beberapa kali ngeklik link web yang muncul di TL.

balik ke blog Dika...
udah berubah. sejujurnya, kangen sama postingan absurd berisi cerita kehidupan sehari-hari dia. sekarang, tetap kehidupan sehari-hari, tapi lebih banyak tentang perkembangan proyek, bukan lagi dalam bentuk "cerita" yang dulu sempat jadi favoritku. sekarang jadi agak ngeboseni, menurutku. untunglah isi TL-nya masih asyik, jadi masih enak di follow...

bener-bener harus beli bukunya kalau mau dapet cerita lagi dari dia.
*waiting....*


11.14 p.m
(backsound: Need You Know - Lady Antebellum)

Sekarang, sebenernya aku lagi di tengah-tengah bikin naskah. proyek baru dan beda dari proyek sebelum-sebelumnya. tetap romance, cuma sasaran pasarnya beda. baru masuk pertengahan bab 3. masih ada banyak bab yang harus ditulis.

semoga sukses!!!


11.18 p.m
(Backsound: Titanium - David Gueta feat. Sia)

bengong.....

Scrolling-scrolling TL lagi....

btw, tadi aku baru kelar nonton ulang Harry Potter and The Half-Blood Prince. tetep aja bikin sedih bagian Dumbledore tewas. inget banget waktu awal baca bukunya sampe nangis dan ngerasa benci banget sama Snape.


11.21 p.m
(Backsound: Tear Drops on My Guitar - Taylor Swift)

Jadi inget....
dari SMP punya obsesi belajar gitar. sempet lancar main kunci, gegara jarang dilatih, lupa lagi. terakhir nyoba mainin gitar adek, jarinya gak nyampe (._. )
komentar kampretnya : "Main ukulele aja udah!"
sialan ...


11.24 p.m
(backsound: Time for Miracle - Adam Lambert)

Nyoba lanjut baca The Darkest Secret-nya Gena Showalter. kenapa harus sepanjang itu sih narasinya? lagi gak mood baca narasi panjang. pengin langsung lompat ke bagian Paris-William-Strider. tapi dosa baca lompat-lompat gitu. mending gak usah baca dari awal .... *iya. cuma omonganku*

oh, lihat sisi positifnya. abis ini giliran ceritanya Strider and then.......finally...... my PARISSSSS :*
*ps: Paris di situ nama orang ya, Ksatria kuno ganteng. bukan nama kota*


11.29 p.m
(backsound: Daylight - Maroon 5)

Tadi sore, menjelang malam gitu, di TL @bentangpustaka bahas tentang senja...
aku pribadi lebih tertarik sama sunrise daripada sunset. ntah kenapa. mungkin karena lebih jarang liat sunrise daripada sunset *kebiasaan abis subuhan lanjut tidur*

tapi sih, kalau bisa aku pengin dapet dua-duanya. awal hari yang indah, ditutup sesuatu yang indah pula.
sekancut apa pun hari, pasti bisa dilewati....


11.33 p.m
(backsound: Never Knew I Needed - Ne Yo)

Baca-baca goodreads. serem juga ya kalau dapet kritik pedas di tempat umum gitu. aku terbuka sama kritikan buat karya yang aku tulis. tapi, semua diomongin secara pribadi. ntah lewat email, SMS, DM twitter, atau BBM. jadi pecutan juga sih biar terus berusaha ngasih karya terbaik...

tapi, sebenernya, semua penulis pasti udah ngusahain yang terbaik selama proses bikin karyanya. ada baiknya dihargai dengan kritik pake cara yang baik. menurutku sih....


11.37 p.m
(backsound: Dangerous and Sweet - Lenka)

*bengong lagi*
*nyoba lanjutin naskah*


11.40 p.m
(backsound: Only Hope - Mandy Moore)

*masih lanjutin naskah*


11.44 p.m
(backsound: Make You Feel My Love - Adele)

Adegannya lagi pas!
*tetep lanjut*

ehm, lagi ngumpulin daftar pertanyaan...
kalau pasangan tanya, "kenapa kamu masih mau jalin hubungan sama aku", harus jawab apa?
apa arti komitmen?
mana yang lebih penting. cinta atau komitmen?
'perkembangan' yang biasanya ada dalam hubungan itu yang gimana aja?
de el el.....
*mikir sampe besok*


11.48 p.m
(backsound: Try - P!nk)

Iseng buka Twitter lagi. ada yang ngepost gambar horor.
damn you, Sir!
yeah.
damn you!!!

jadi pengin bahas fobia.
katanya, gak sembarang ketakutan itu bisa disebut fobia. aku sih belum pernah periksa, tapi cukup yakin kalau aku punya ketakutan berlebihan akan sesuatu.
....
....
....
kehilangan kamu, misalnya. *digampar* *garing lu, nyet!* *mati caja cana!!!*


11.52 p.m
(backsound: Nobody's Perfect - Jessie J)

Mau di bawa ke manaaaa si naskah iniiiiii.......

yang lucu dari proses nulis, kadang tokoh seolah punya keinginan sendiri. gak jarang cerita yang aku rencanain di awal, berubah pas proses nulis. kadang, apa yang dipengin si tokoh, lebih enak daripada rencanaku.

jadi, waktu stuck, biarin tokoh yang beraksi.
lemahnya, kadang mereka gak terkontrol dan tiba-tiba ceritanya udah melalang buana ke mana-mana ._.


11.56 p.m
(backsound: Before The Worst - The Script)

Global TV pilem apa sih ini?

btw, TVku masih pake antena dalam. kemaren siarannya lumayan. walaupun ada semut-semut di tipi, gak parah-parah banget.
pas Tante mau main ke kos, otomatis beres-beres kamar. termasuk antena yang debunya bisa masuk pabrik bedak, dibersihin semua.
yang terjadi selanjutnya......begitu debu pergi, antena cling, semua gambar tipi rusak parah! semutnya bukan cuma muncul dikit, tapi menuhin tipi sampe gambarnya nyaris gak keliatan lagi.

dosa apa.....


11.59 p.m
(backsound: Mr. Know It All - Kelly Clarkson)

*countdown.....*


12.00 a.m
(backsound: idem)

Selamat ulang bulan ketujuh, Bjorn Arjun.
kucing paling ganteng sejagat raya! :*



12.05 a.m
(backsound: If Life is So Short - The Moffatts)

Kelar milih-milih foto + upload foto Oyon...


Markiduuuurrrrr..... :*




Tuesday, January 7, 2014

I'm just a little bit afraid (#9)

Saka menahan tanganku. Aku sudah melihatnya mendekat tadi. Seperti yang biasa terjadi belakangan ini, semenjak kejadian konyol dan menyebalkan beberapa hari lalu, aku tidak berani  berhadapan dengannya. Terang saja aku menjauhinya. Mumpung harga diriku masih bisa diselamatkan.

“Kamu kenapa sih?”

Nada yang tidak pernah kudengar sebelumnya, kali ini keluar. Dia marah. Kenapa harus marah coba? Seharusnya aku yang marah dan mengutuknya sekarang. Bukan dia yang sudah mempermalukan diri dengan begitu bodohnya tempo hari.

“Aku nggak pengin main drama-dramaan sama kamu, Fik. Kalau aku ada salah, bilang sekarang. Jelasin. Jangan main kabur-kabur, lari-larian, kayak anak kecil gitu.”

“Kenapa kamu peduli?”

Dahi Saka berkerut. “Peduli apa? Peduli kamu ngejauhin aku?” tanyanya. “Ya jelas lah! Kamu tiba-tiba menghindar, aku nggak tau udah bikin salah apa. Gimana aku bisa nggak peduli?”

“Temen kamu banyak, kan? Aku jauh nggak ngaruh apa-apa seharusnya,” balasku, masih menghindari tatapannya. Aku berusaha melepaskan pegangan tangan Saka, tapi sia-sia. Dia masih menahan tanganku dengan erat. “Anita sama Sara udah nunggu. Lepasin,” pintaku.

"Nggak, sebelum kamu berenti bertingkah kekanakan gini!"

"Kekanakan?" Aku menatapnya, mulai kesal. "Oke. Kamu mau tau kenapa aku ngejauh? Karena aku malu!"

Kerutan di dahi Saka makin dalam. "Kenapa kamu harus malu?"

Aku menatapnya tidak percaya. Lelaki ini memang tidak tahu, atau pura-pura bodoh untuk memancing kekonyolanku selanjutnya?

Dengan tergagap, masih menahan kesal, aku mengulang kejadian telepon malam itu. Mataku panas, namun aku tidak mengijinkan setitik air pun jatuh. Tidak akan pernah di depannya.

"Nah! Udah! Puas sekarang?" Aku menatap langsung matanya sekilas, sebelum menghentakkan tanganku dari genggamannya. Begitu terbebas, aku langsung berlari menjauhinya.

Saka tidak menyusul. Aku tidak berani menoleh. Dia akan tau aku berharap dikejar lagi kalau sampai menoleh. Iya, kalau dia berniat mengejar. Kalau tidak? Aku hanya semakin mempermalukan diri.

Kuurungkan niat ke kantin begitu melewati perpus, dan berbelok ke sana. Suasana perpustakaan yang sepi lebih kubutuhkan daripada keramaian kantin. Aku mengisi buku tamu, sebelum mendekati rak sastra dan mengambil satu buku secara acak. Aku tidak benar-benar ingin membaca sebenarnya.

Ponselku bergetar, begitu aku baru membolak-balik buku yang kuambil. Mengira pesan dari Sara atau Anita, aku mengeluarkan benda mungil itu dari saku rok. Memang ada pesan singkat. Namun, bukan dari Sara atau Anita.

From: Saka
Kita perlu ngomong. Please? Di mana kamu?

Aku menghela napas pelan. Apalagi yang harus dibicarakan coba? Apa dia kurang puas melihatku mempermalukan diri di depannya?

Tanpa membalas SMS itu, aku mengembalikan ponsel ke dalam saku. Tentu saja setelah itu ponselku terus bergetar, menandakan ada panggilan masuk. Aku mengabaikan semuanya. Hingga bel istirahat selesai berbunyi, aku kembali ke kelas tanpa berniat mengecek ponsel.

Langkahku terhenti saat melihat Saka berdiri di dekat pintu kelasku. Dia masih menunduk, menghadapi ponsel. Aku baru akan kabur, begitu Anita dan Sara muncul dari belakang dan menyebut namaku cukup keras. Aku melihat Saka menoleh ke arah kami.

"Ke mana kamu? Ditungguin di kantin malah nggak muncul," ujar Anita.

"Ada pemandangan lucu lho tadi," Sara menambahkan. "Tau Dika, kan? Anak kelas sebelas yang imut banget itu? Dia ditembak Silvi!" Dia berkata dengan nada seolah itu berita penting yang wajib diketahui masyarakat sedunia. "Gila ya? Nekat juga si Silvi. Padahal dia cewek, kakak kelas pula."

"Gitu kalau udah cinta. Mana peduli batasan," komentar Anita.

Aku tidak terlalu mendengarkan mereka berdua begitu melihat Saka meninggalkan posisi bersandarnya, dan mulai berjalan ke arah kami.

Ocehan Anita dan Sara sontak berhenti ketika Saka sudah berdiri di depan kami. Tepat di depanku, sebenarnya. Tanpa aba-aba, kedua sahabatku itu menjauh, lebih dulu masuk kelas. Aku bergeser ke kiri, Saka ikut bergeser. Ketika aku ke kanan, Saka juga ke arah sana. Menghela napas, aku menatapnya.

"Apa lagi? Kan, udah aku jelasin tadi."

"Ya. Kamu yang belum ngasih kesempatan aku buat jelasin."

"Udah bel masuk. Nggak usah kayak anak kecil deh, bolos gara-gara masalah nggak jelas gini." Aku mendorong tubuhnya supaya memberiku jalan.

Saka membiarkanku melewatinya dan masuk ke kelas. Aku tahu, dia tidak melepaskanku sepenuhnya.

Benar saja. Saat bel pulang berbunyi, sebelum guru mempersilakan kami keluar, Saka sudah berderap masuk ke kelasku. Dia membungkuk sopan pada guru, sebelum menyambar tanganku dan menariknya keluar. Masih dalam posisi kaget, aku mengikutinya.

"Aku suka sama kamu," ucapnya, begitu kami berhenti di halaman parkir yang belum terlalu ramai. "Paham?"

"Nggak," jawabku, jujur. "Baru beberapa hari lalu kamu bilang kita nggak ada apa-apa. Kalo tujuan kamu bilang suka cuma karena nggak enak sama aku, nggak perlu. Aku nggak apa-apa."

"Siapa yang bilang kita nggak ada apa-apa?" Saka mulai mengomel. "Siapa yang bilang suka cuma karena nggak enak? Kamu salah paham dan ngambil kesimpulan seenaknya."

"Kepala kamu abis kejedot tembok apa gimana sih?" aku bertanya, sebal. "Pas aku tanya kita gimana, kamu sendiri yang jawab, 'kita kenapa', seolah emang nggak ada apa-apa. Yah, kita emang nggak ada apa-apa. Ya udah!"

"Aku beneran bingung waktu itu!" Saka berteriak, ikut kesal. "Kamu tiba-tiba nanya kita gimana, ya aku balik tanya kita kenapa. Terus tiba-tiba kamu mutusin teleponnya gitu aja, nggak bisa dihubungi lagi, ngejauh kayak aku sumber penyakit menjijikan ...."

Aku melongo, tidak tahu harus menjawab apa.

"Aku nggak ngerti bahasa cewek! Jangan pake kode-kodean gitu. Kalau emang mau tau perasaanku, ya tanya langsung!"

"Ya mana mungkin aku nanya gamblang gitu! Malu, tauk!"

Saka mendengus keras, membuatku yakin ada asap keluar dari lubang hidungnya. "Aku lupa cewek harus serba pasti," dumelnya. "Aku pikir kamu udah paham tanpa harus ngomong macam-macam. Aku pikir tanpa acara tembak-tembakan kayak anak SD, kita udah ...."

Aku melihat wajahnya memerah.

"Aku suka sama kamu, Fika," ujar Saka, pelan. "Maaf udah bikin kamu bingung."

Aku diam sejenak, menatap mata Saka, mencari kejujuran di sana. Wajah Saka masih kemerahan. Ekspresi kesalnya sedikit berkurang. "Aku juga suka sama kamu," balasku, pelan.

"Aku tau," gumam Saka. "Makanya kamu malu, nggak mau ketemu lagi pas ngira kalau aku nggak ada rasa apa-apa sama kamu. Iya, kan?"

Aku meninju bahunya sebagai balasan. Tepat setelah itu, sorak tepuk tangan bercampur ledekan 'ciyeee' meledak di sekitar kami. Entah sejak kapan, perang adu mulutku dan Saka jadi tontonan di tempat parkir. Wajahku otomatis memerah dan bersiap pergi dari sana.

Saka menahan tanganku. "Mau ke mana lagi sih?" omelnya. Wajahnya juga tampak merah, namun dia hanya mengusir orang-orang itu dengan lagak tidak peduli.

"Ya pulang. Ke mana emangnya?" balasku, dongkol.

"Tunggu di sini. Aku ambil motor dulu. Nggak usah ke mana-mana!"

Aku memutar bola mata. "Iyaa ...."

Motornya terparkir tidak jauh dari tempat kami adu mulut tadi. Begitu aku sudah berada di boncengannya, dia menjalankan motornya perlahan.

"Besok-besok, kalo ada apa-apa, tanya langsung. Nggak usah kasih-kasih kode." Aku mendengar Saka bersuara cukup keras, mengalahkan bunyi mesin kendaraan di sekitar kami.

Aku hanya tersenyum kecil, seraya melingkarkan tanganku di pinggangnya, dan membenamkan kepala di punggungnya.





to be continued…