Aku menduduki meja kayu di bagian depan kelas, di sebelah
jendela. Jam istirahat baru dimulai beberapa menit yang lalu. Suasana kelas
sudah nyaris kosong. Namun, aku enggan ikut keluar, apalagi ke kantin yang
pasti penuh sesak oleh orang-orang yang kelaparan. Lagi pula, ada jam istirahat
kedua yang bisa kugunakan untuk makan siang. Pandanganku terpaku ke luar
jendela. Sara, salah satu teman sekelasku, tengah duduk di koridor kelas sambil
membaca buku Sejarah. Seorang siswi dari kelas lain yang sering kulihat bersama
Sara duduk di sebelahnya. Aku tau siswi itu, tetapi tidak tau siapa namanya.
Yah, tidak perlu kusebut kalau menghapal nama orang bukanlah salah satu
kelebihanku. Kedua orang itu sepertinya terlibat percakapan seru, entah
membicarakan apa. Sara masih memegang buku Sejarahnya. Menurutku, apa pun yang
mereka bicarakan tidak akan seseru itu kalau menyangkut pelajaran Sejarah.
Bagiku, itu pelajaran paling membosankan selain Sosiologi.
Seorang anak laki-laki bergabung bersama mereka. Aku juga
mengenal siswa itu. Dia juga berasal dari kelas lain, sepertinya kelas yang
sama dengan siswi yang sedang berbincang dengan Sara. Dia cukup terkenal,
sebenarnya. Yah, kalian tidak mungkin tidak mengenal sang juara umum, kan? Nah.
Itulah dia. Tapi, sejujurnya, aku juga tidak tau namanya. Aku hanya tau wajah
dan kenyataan kalau dia juara umum semester lalu.
Secara fisik, anak lelaki itu biasa saja. Bukan kategori ‘prettiest boy in this school’ atau tipe
cowok boyband idola. Tapi, dia pintar. Itu yang penting. Menurutku. Cowok
ganteng tapi tidak berotak sudah lama keluar dari daftarku. Bukan berarti aku
mengincar si juara umum itu! Tidak sama sekali! Hanya saja, kalau harus memilih
cowok seperti dia atau tipe boyband ganteng berotak kosong, aku pasti memilih
dia.
Si juara umum, siapa pun lah namanya, duduk di sebelah Sara.
Namun, sepertinya dia tidak terlalu tertarik dengan pembicaraan kedua gadis
itu, karena tiba-tiba saja dia kembali berdiri. Aku setengah mengira dia akan
pergi. Tetapi, ternyata dia malah menunduk untuk mengambil sebelah sepatu teman
Sara yang dilepas, lalu membawanya kabur. Teman Sara itu menjerit, sementara si
lelaki juara umum itu tertawa keras dan melempar sebelah sepatu itu ke atap.
Aku ternganga. Dia benar-benar melempar sepatu itu ke atap.
Apa itu kelakuan wajar seorang juara umum? Jujur saja, selama ini aku mengira
dia tipe kutu buku yang serius dan introvert. Siapa yang mengira kalau dia
memiliki sisi gila?
Kulihat teman Sara melepas sepatunya yang lain dan
melemparnya ke arah si juara umum dengan kesal. Si juara umum menangkap sepatu
itu, menjulurkan lidahnya, lalu kembali melemparnya ke atap. Lengkap sudah.
Kedua sepatu itu sekarang bertengger di atap.
Aku menahan tawa, setengah kasihan pada teman Sara yang
sekarang sibuk memukul si juara umum.
“SAKA SINTING!!!” jerit teman Sara dengan marah.
Saka hanya tertawa, sama sekali tidak merasa bersalah
melihat temannya hanya memakai kaus kaki tanpa sepatu. Setelah melihat wajah
temannya itu nyaris menangis, dia baru mengambil sepatu itu dari atap. Masih
dengan wajah geli, Saka mengembalikan sepatu cewek itu. Tepat setelah itu, bel
masuk berbunyi.
Aku melompat turun dari meja, siap kembali ke bangkuku
sendiri.
#2
No comments:
Post a Comment