Friday, December 7, 2012

We Meet Again... (#2)


Salah satu sistem di sekolah yang membuatku ketar-ketir adalah peraturan me-rolling siswa secara teratur. Setiap pertengahan dan akhir semester, akan diadakan ujian bagi semua siswa. Para siswa yang prestasinya meningkat, pindah ke kelas atas, sementara yang turun, siap-siap mendapat kelas bawah. Masing-masing tingkatan, ada 3 bagian. Kelas Plus, Kelas Central, dan Kelas Minus. Anak-anak kelas X memiliki masing-masing dua kelas di tiap bagian. Sementara kelas XI dan XII yang sudah penjurusan IPA dan IPS dibagi masing-masing satu kelas. Bisa dibayangkan betapa pusingnya harus berpindah kelas tiga bulan sekali?

Untunglah aku tidak perlu mengalaminya. Sebagai siswa yang memiliki otak rata-rata, aku nyaris tidak pernah pindah kelas. Aku suka kelasku sekarang. Kelas Central. Tidak dipenuhi persaingan ketat tentang nilai, namun tidak juga dipenuhi berandalan yang suka mengacau atau tidak mengerjakan pe-er. Aku tidak berani membayangkan bagaimana nasibku kalau harus masuk ke Kelas Plus yang dipenuhi siswa-siswa jenius. Tidak butuh waktu lama sampai aku didepak keluar lagi. Dan tentu saja aku juga tidak mau masuk ke Kelas Minus yang dipenuhi dengan orang-orang yang… yah, begitulah. Singkatnya, para berandal sekolah. Aku benar-benar sudah senang di kelasku sekarang dan sama sekali tidak ingin pindah.

Sayang, doaku tidak terjawab. Semester selanjutnya, aku dilempar masuk ke Kelas Plus. Aku tidak tau apa yang terjadi. Yah, memang di ujian pertengahan semester kemarin aku sedikit lebih serius, tidak masa bodoh seperti biasa. Tapi, tentunya tidak akan naik sedrastis itu, kan, sampai bisa membuatku masuk ke kelas kaum jenius? Aku tidak mau memercayai tulisan di papan pengumuman. Tapi, namaku benar-benar masuk ke daftar ‘Siswa Kelas XII IPS Plus’. Bagaimana mungkin aku, yang memiliki otak sekadarnya, bisa mendapat peringkat dua puluh lima teratas di ujian tengah semester? Namaku berada di urutan dua puluh besar pula. Aku melirik Sara dan Anita, dua teman dekatku yang sama-sama di Kelas Central. Mereka berdua tampak lega. Aku kembali ke papan pengumuman. Tentu saja. Mereka tetap berada di kelas yang sama. Sial. Benar-benar sialan.

“Yah, Fika pisah deh dari kita,” gumam Anita saat kami berjalan menuju kantin.

Aku diam. Masih terlalu syok atas nasib sial beruntungku.

“Siap-siap aja kamu dibantai para master berotak besar itu,” tambah Sara sambil terkikik. “Otakmu, kan, ukurannya cuma hampir medium,” tambahnya. Sama sekali tidak membantu.

Aku menatapnya sebal. “Bukannya prihatin, malah ngeledek,” gerutuku.

Kami duduk di sebuah meja panjang yang masih ada tempat kosong, bergabung dengan siswa lain. Anita dan Sara memesan mie ayam, sementara aku hanya sanggup menikmati teh botol.

“Nggak usah syok gitu juga kali, Fik. Ambil hikmahnya. Kamu jadi kumpul sama orang-orang pinter. Kali aja ntar ketularan pinter,” Anita mencoba menghibur.

Aku mendengus. “Yah, kalo mereka bukan kumpulan jenius sombong. Gimana kalo aku dikacangin? Mana nggak ada yang aku kenal pula.”

“Ada temenku kok di sana. Namanya Tasya. Yang sering ngobrol sama aku itu lho. Anaknya baik kok. Kamu duduk sama dia aja. Ntar aku bilangin deh,” kata Sara.

Anita tiba-tiba menoyor kepala Sara. “Bangku mereka, kan, bentuk huruf U. Nggak pake temen sebangku, bego,” dia mengingatkan.

Sara balas menoyor kepala Anita dengan kesal. “Ya nggak usah pake noyor juga,” dumelnya.

Aku tersenyum geli melihat mereka. Lalu, senyumku berubah muram. “Nggak bakal bisa ngobrol di kelas lagi deh.”

“Kasian….” Ucap Anita dan Sara bersamaan dengan nada sungguh-sungguh prihatin.

Aku mengibaskan tangan. “Ya udahlah. Toh cuma tiga bulan ini. Abis ujian semester ntar aku bakal balik ke kelas kita lagi.”

“Asal jangan kebablasan aja, Fik. Ntar saking merosotnya, kamu malah masuk Kelas Minus,” pesan Sara.
“Jangan sampe deh,” cetusku langsung.

Begitu selesai makan, aku dan kedua temanku berpisah menuju kelas baru masing-masing. Hari ini hanya pembagian kelas, belum mulai belajar. Dengan malas, aku menyeret kakiku menuju deretan Kelas Plus yang berada di lantai 2. Mulai dari Kelas X Plus 1, Kelas X Plus 2, Kelas XI IPA Plus, Kelas XI IPS Plus, Kelas XII IPA Plus, dan, akhirnya aku membaca tulisan Kelas XII IPS Plus di bagian atas pintu.

Kegugupanku mulai terasa ketika aku melangkah masuk. Entah hanya perasaanku, atau semua mata tiba-tiba memandangku? Tengkukku merinding. Cepat-cepat aku mengambil kursi belakang paling sudut. 

Kekurangan formasi bentuk U adalah, di mana pun kamu duduk, tidak akan menyenangkan. Di sudut, kamu tetap akan dikelilingi orang-orang. Sementara di bagian ujung, posisinya tepat di depan. Menghela napas, aku mencoba mengabaikan suasana sunyi mencekam itu dan mengeluarkan sebuah novel.

Aku menikmati cerita novelku, setidaknya sampai seseorang melemparkan tas ke bangku sebelahku. Aku mengangkat kepala dan terpaku beberapa saat. Dia, si juara umum, duduk di sebelahku dan melempar senyum ramah.

“Hai, penghuni baru ya?” tanyanya.

Aku mengangguk. Tentu saja itu pertanyaan yang sangat wajar. Aku berani bertaruh, sejak awal masuk dia sudah berada di Kelas Plus. Wajar jika dia merasa sebagai ‘penghuni lama’, dan menganggapku penghuni baru.

“Saka,” dia mengulurkan tangan.

“Fika,” balasku.

“Dari kelas mana? Central?”

Aku kembali mengangguk.

Saka menatapku beberapa saat, mungkin menyadari kecanggunganku, lalu menepuk bahuku pelan dengan sikap bersahabat. “Tenang, Kita semua manusia, kok. Nggak ada yang akan gigit kamu.”

Aku tersenyum kikuk. “Yah, ini pertama kalinya aku masuk di kelas di mana nggak ada orang yang aku kenal deket.”

“Ntar juga biasa,” Saka berdiri. “Ehm, ngomong-ngomong, bangku yang kamu duduki itu biasanya tempatku. Tapi, nggak apa-apa deh aku kasih ke kamu. Selamat menikmati kelas baru,” ucapnya. Kemudian dia bergabung dengan orang-orang yang berkumpul di bangku tengah.

Aku kembali menunduk untuk melanjutkan membaca novel, ketika melihat tulisan yang ada di meja. Inisial ‘S’. Selain itu, ada banyak tulisan-tulisan yang berisi keluhan dan selalu diakhiri dengan tulisan “by: S”. Aku melirik Saka sejenak, mengangkat bahu, lalu kembali membaca.


-to be continue…

#1 - #3

No comments: