Saturday, May 31, 2014

If you come back ….

“Hoi! Aku pamit ya!”

Aku menatapnya, mengerjap sekali, sekadar memastikan kalau aku tidak salah mengenali orang. “Eh, kamu. Mau ke mana?”

Dia menyebut salah satu tempat, di luar kota, yang akan menjadi setting kehidupannya ke depan.

Aku mengangguk, begitu dia selesai berucap. “Jadi kamu ambil kerjaan di sana?”

“Yoi!” Dia masih berkata dengan nada riang seperti biasa. “Gajinya lumayan banget buat fresh graduate minim pengalaman kayak aku. Rugi kalau nggak diambil.”

“Ya deh, biar modal nikah cepet ngumpul ye,” aku menggodanya.

Dia tertawa. Keras dan renyah. Tawa yang selalu berhasil menular padaku. Begitu tawanya reda, senyum masih tersisa di sudut bibirnya. “Nggak pengin ngomong apa-apa sama aku? Ini bisa jadi pertemuan terakhir kita, lho. Abis ini, entah kita masih bisa ketemu apa nggak.”

Aku diam. Dia benar. Setelah ini, setelah aku lulus, aku juga akan pergi dari kota ini, entah ke kota lain, atau kembali ke kota asalku. Yang jelas, bukan kota yang sama seperti yang dia tinggali.

Apa ada yang ingin kusampaikan padanya? Tentu saja ada.

Apa aku akan menyampaikan langsung padanya? Yang benar saja.

“Hm … mau bilang … ati-ati aja di sana nanti. Terus, kalau jadi nikah, jangan lupa undang aku!” ucapku, setengah mengancam.

Dia menyeringai, membuat matanya yang sedikit sipit, langsung hilang ditelan kelopaknya. “Kamu juga. Buruan lulus! Busuk nanti kelamaan di sini.”

Aku hanya mencibir, namun tidak menanggapi ucapannya. Setelah basa-basi terakhir, kami berpisah jalan. Dia masih melambaikan tangan dengan wajah cerah sembari menjauh, yang kubalas dengan gerak tangan yang sama, namun jelas suasana hati yang berbeda.

Begitu sosoknya menghilang di tikungan, aku menurunkan tangan, seraya menghela napas.

*

“Jadi, kamu masih nggak bilang apa-apa ke dia?”

Aku menggeleng.

“Kenapa? Habis ini, kalian juga nggak bakal ketemu lagi. Kurang-kurangi deh tuh gengsi. Mati ketiban gengsi, nggak enak tahu.”

“Berisik!” Hanya itu tanggapanku.

“Emang kenapa sih kalau bilang?”

Aku menghela napas. “Dia udah punya pacar. Aku kenal sama pacarnya, walaupun nggak dekat. Bayangin deh, kalau tiba-tiba ada cewek yang nyatain cinta ke pacarmu, padahal selama ini kamu mikir cewek itu cuma temenan aja sama pacarmu itu, gimana perasaanmu?”

“Ya gampang. Jangan sampai ceweknya tahu.”

Aku menatapnya sebal. “Bukan masalah ceweknya tahu apa nggak. Aku nggak mau ada di tengah hubungan orang.”

“Belum tentu diterima juga, kan? Lagian, kamu juga nggak nembak. Cuma bilang, ‘eh, aku suka lho sama kamu,’ terus pergi. Udah.”

Seandainya segampang itu, gumamku dalam hati. “Nggak deh, makasih.”

“Terserah deh.”

*

Aku mengenalnya hampir lima tahun lalu. Saat masa OSPEK, dan aku satu kelompok dengannya. Lalu kami sering satu kelas, dia sering duduk di sampingku, begitulah semuanya bermula.

Jangan bayangkan cinta pada pandangan pertama. Ini jauh dari itu. Aku sudah punya pacar saat kami pertama dekat. Begitu aku putus, dia yang punya pacar. Selalu seperti itu. Namun, hubungan pertemanan kami tidak berubah. Aku tahu bagaimana dia dan pacar-pacarnya, dia pun tahu bagaimana aku dan pacar-pacarku.

Sejujurnya, aku tidak pernah membayangkan akan jatuh cinta padanya. Aku tidak percaya dengan statement yang menyatakan kalau laki-laki dan perempuan tidak bisa menjadi sekadar sahabat. Selama bertahun-tahun, aku dan dia bisa bersikap layaknya teman, tidak pernah lebih.

Sampai di hari ketika dia mengatakan mendapat panggilan kerja di luar kota. Aku ikut senang mendengarnya. Sungguh. Malam itu kami merayakannya. Aku benar-benar merasa gembira untuknya. Tahu bagaimana perjuangannya sampai akhirnya mendapatkan panggilan itu.

Setelah malam itu, aku baru menyadari ada yang berubah. Perasaanku tidak lagi sama. Saat menyadari kalau kami akan segera berpisah, benar-benar berpisah tanpa tahu masih ada kesempatan untuk bertemu lagi atau tidak, aku menangis. Selain dia, aku juga berteman dekat dengan yang lain. mereka juga sudah pergi satu-persatu, namun tidak ada yang membuatku menangis. Sedih karena perpisahan, iya. Menangisi kepergian mereka, tidak. Aku tahu perpisahan selalu hadir bersama pertemuan. Karena itu, tidak pernah ada perpisahan yang membuatku menangis.

Tangisan untuknya itu yang membuatku sadar kalau aku mungkin punya suatu perasaan lebih untuknya. Entah apa lebihnya. Dan entah kapan perubahan itu terjadi. Aku tidak pernah mau memikirkannya.

Sebagian hatiku merasa lega saat dia menjauh. Maksudku, pergi. Itu akan membuatku lebih mudah melupakannya, kan? Tapi, sebagian lagi yang murni menganggapnya teman dekat, merasa sedih membayangkan tidak akan bertemu dengannya lagi. Sisi mana yang lebih besar, aku tidak tahu.

*

“Seandainya ya, kamu sama dia ketemu lagi, apa yang mau kamu omongin?”

“Yang aku omongin? ‘Hai, apa kabar! Lama nggak ketemu!’, gitu,” jawabku, tak acuh.

“Serius, ish!”

“Ya, serius. Emang aku harus ngomong apa?”

“Kamu beneran nggak pengin ngasih tahu perasaan kamu ke dia?”

Aku menggeleng, yakin. “Selama statusnya punya pacar, nggak akan pernah. Sebesar apa pun rasaku ke dia, nggak akan. Lagian, aku juga nggak yakin apa yang sebenernya aku rasain. Mungkin cuma sekadar nyaman karena udah lama bareng.”

“Yakin?”

Aku mengangguk. “Kecuali … kalau nanti dia balik, terus aku yang bakal pergi dan nggak ke sini lagi, mungkin aku baru mau bilang.”

“Yah, gitu mah beneran mustahil.”

That’s my point,” ucapku.

Tidak sepenuhnya bohong. Kalau memang nanti, entah apa yang terjadi di sana hingga dia memutuskan pulang sebelum aku yang pergi, dan kami bertemu kembali, aku akan melakukannya. Meskipun seperti yang dikatakan teman serumahku, itu mustahil.

But, we never know what will happen, don’t we?

*

“Hoi!”

Aku reflek menoleh. Hanya satu orang yang biasa menyapaku dengan kata “hoi” bernada seperti itu. Dengan tidak percaya, aku mengerjapkan mata. Seketika, aku melongo. “Kamu … ngapain di sini?”

“Pulang,” jawabnya, dengan nada ringan tanpa beban. “Kamu ngapain masih di sini? Nggak pulang kampung?”

“Minggu depan ….”

“Nggak balik ke sini lagi?” tanyanya.

Percakapan dengan teman serumahku berbulan-bulan lalu kembali terputar di kepala. Aku menggigit bibir, menatapnya bingung, bercampur tidak percaya. “Nggak,” aku menjawab lemah.

Ya Tuhan ….



***