Sunday, December 30, 2012

What the …. (#3)


Aku berhasil melalui bulan pertama di kelas ‘neraka’ itu dengan damai.

Ralat.

Tidak sepenuhnya damai. Aku tertekan! Nyaris gila! Mereka semua seperti bukan manusia. Entah apa yang mereka makan hingga bisa mempunyai otak seperti itu. Dan aku benar-benar tidak tau apa dosa yang telah kuperbuat hingga harus menerima siksaan batin seperti ini. Aku sudah terbiasa mengikuti pelajaran dengan santai, tanpa harus menerima tekanan apa pun.

Sara dan Anita tampak kasihan padaku setelah aku menumpahkan semua keluhan pada mereka. Sara mengusulkan agar aku pindah kelas saja, yang langsung di bantah oleh Anita dengan mengatakan aku tidak boleh menyerah.

“Tinggal dua bulan,” kata Anita, menyemangati.

“Serasa dua tahun,” sungutku.

“Emang anak-anaknya parah banget ya?”

Aku menyeruput pop ice coklatku. “Yah, nggak sih. Mereka baik. Awalnya emang agak kaku, tapi sekarang udah lebih enak. Tapi, yah mereka itu terlalu serius. Tiap belajar, bawaannya tegang terus. Aku jadi stres sendiri. Coba kalo ada yang rileks, satu orang aja, mungkin aku juga bisa sedikit rileks.” Lalu aku terdiam, teringat cowok yang duduk di sebelahku. “Ada sih yang sebenernya yang bisa santai di sana. Tapi,” aku menghela napas. “Sikap santainya malah bikin aku makin stres.”

“Siapa?” tanya Sara dan Anita bersamaan.

“Saka,” jawabku pelan. Lalu aku berbisik. “Gila ya, tuh anak di kelas kelewat santai.”

“Nggak merhatiin guru?” tanya Anita.

“Yah, merhatiin sih. Tapi, gak serius kayak anak-anak lain. Kalo bosen dengerin guru ngomong, dia tiduran, coret-coret meja. Trus, tiap ditanya, pasti bisa jawab. Nyaris sempurna terus pula jawaban dia. Bikin makin tertekan.”

“Bagus dong. Kamu minta satu yang santai, tuh dia santai,” kata Anita.

“Dia santai gitu aja bisa jadi juara umum, gimana kalo dia beneran belajar?”

“Dia belajar kok,” ujar Sara. “Gitu cara dia belajar. Santai, tapi masuk. Kalo dia terlalu serius, jadinya tertekan, malah berantakan.”

Aku dan Anita kompak menatapnya.

“Kok tau?” tanyaku. “Emang kamu kenal sama dia?”

“Dia pacarnya Tasya. Aku, kan, sering ikut mereka jalan kalo lagi iseng. Kencan mereka itu ya nyambi belajar. Kata Tasya, Saka lebih suka belajar di luar ruangan. Pikirannya bisa lebih seger. Nggak sumpek kayak di kelas. Di kelas, dia cuma dengerin aja omongan guru, kalo belajar benerannya ya waktu bareng Tasya itu,” jelas Sara panjang.

“Ih, nyeremin ah. Di mana-mana kencan itu ya buat pacaran, cinta-cintaan gitu. Masa nyambi belajar sih? Nggak normal tuh mereka,” cibir Anita.

“Saka pacaran sama Tasya?” tanyaku, seakan tidak mendengar penjelasan Sara yang lain. “Kok di kelas biasa aja?”

“Kamu maunya gimana?” tanya Sara. “Peluk-pelukan di kelas?”

“Yah, nggak gitu juga,” ujarku. “Tapi, biasanya kan kalo orang pacaran itu keliatan. Mereka kok kayak temenan biasa aja. Saka malah lebih sering jahilin Tasya daripada romantis-romantisan.”

“Iya, emang dua-duanya kurang waras. Tapi, mungkin karena itu mereka awet. Udah jalan tiga tahun lho. Keren ya?” Sara menyeruput minumannya.

Aku ikut menyeruput minumanku tanpa suara. Sibuk bermain dengan pikiranku sendiri. Jadi, Saka sudah mempunyai pacar. Informasi itu cukup mengejutkanku. Di mataku, Saka sosok yang menyenangkan sebagai seorang teman. Aku tidak pernah membayangkannya memiliki pacar. Bukannya hubungan kami dekat atau apa. Hanya saja, yah… begitulah. Aku tidak bisa menjelaskannya.

Selesai memuaskan perut masing-masing, kami kembali ke kelas. Aku menangkap pemandangan kelas yang sudah akrab. Sekelompok murid yang duduk di barisan tengah berkumpul sambil berdiskusi. Aku tidak pernah ikut dalam diskusi mereka. Bukan hanya karena aku merasa bukan bagian kelompok, tapi karena kepiawaianku yang payah dalam bergaul. Mereka beberapa kali mengajakku bergabung, terutama Saka yang sepertinya memahami penderitaanku di kelas itu. Dia seperti berusaha membuatku betah di sana. Benar-benar lelaki yang baik.

Tanpa sadar, aku bertumpu dagu sambil menatap Saka yang tengah duduk di sebelah Tasya sambil menghadap sebuah buku yang terbuka. Mungkin karena informasi yang baru kudapat tadi, kali ini aku bisa melihat perbedaannya. Saka memang dekat dengan semua penghuni kelas. Tetapi, Tasya mendapat perlakuan nerbeda. Caranya menggoda Tasya, tidak sama dengan caranya menggoda penghuni lain. Cara mereka saling melempar ledekan juga berbeda. Memang tidak terlihat mesra atau menggelikan seperti pasangan umumnya. Hanya saja, jika orang sudah mengetahui hubungan mereka, pasti bisa merasakannya. Bagaimana mungkin aku tidak menyadarinya sebelum ini?

Saat bel masuk berbunyi, Saka kembali ke bangkunya, di sebelahku. Dia melempar senyum kecil padaku, seperti biasa. Namun, kali ini aku tidak berminat membalas senyumnya, entah mengapa. Jadi, aku hanya mengangguk kecil, lalu pura-pura sibuk mengeluarkan buku. Saka tampaknya tidak merasakan keanehanku, karena dia juga sudah sibuk dengan bukunya. Aku mendesah, tiba-tiba merasa kesal pada Saka dan pada diriku sendiri.



-to be continued…


#2 - #4

No comments: