Wednesday, January 30, 2013

Pelajaran dari Hamster

Ada penghuni baru di rumah. Salah satu temen serumahku, Dila, pecinta hamster nomor wahid serumah, baru beli hamster lagi, sepasang. Hamster sebelumnya, Nanak, baru mati sekitar sebulan lalu. Eh, belom nyampe sebulan deng. Ini entah hamster keberapa yang dia pelihara. Waktu aku tanya, "Kok gak kapok?". Dia cuma jawab, "Udah kebiasaan ditemenin mereka. Gak enak kalo gak ada".

Gimana ceritanya di rumah kita bisa pelihara hamster, awalnya karena gak sengaja.

Sekitar tiga tahun lalu, pertengahan 2010, pas kita kuliah semester 3, salah satu temen cowok kita, Dimas, beli hamster 4 ekor. Karena dikosan dia sering dimasukin kucing dan berpotensi bahaya bagi kelangsungan hidup para hamster, dia jadi nitip di kontrakan kita. Awalnya yang excited sama kehadiran hamster itu aku sama Beti. Para Hamster itu kita kasih nama Moge (betina), Mimi (jantan), Kemo (jantan), sama Iin (betina). Dan aku jatuh cinta sama Moge. Moge itu hamster paling lincah di antara 3 hamster lain. Warna bulunya cokelat kekuningan, badannya paling kecil. Pas dibeliin roda putar, dia yang paling sering main. Enak gitu liatnya. 3 hamster lain diklaim Mufa, Beti, sama Inung. Waktu hari pertama kemunculan para hamster ini, si Dila lagi pulang ke Blitar. Jadi, dia gak kebagian.

Awalnya, Dila justru biasa aja sama mereka. Dia mulai ikut sibuk waktu udah musim beranak. Iin yang pertama kali hamil. Entah si Mimi apa si Kemo yang berhasil menghamilinya, yang jelas dia hamil. Begitu lahiran, bentuk anaknya kayak anak tikus. Botak, jelek, lumayan geli juga ngeliatnya. Tapi, tetep kita urus dengan baik sampe tumbuh gede. Pas gede ini, warna bulu anak-anaknya cantik banget. Gabungan putih, abu-abu, sama item. Mulai di sinilah Dila ikut jatuh cinta dan jadi ketagihan pelihara hamster sampe sekarang.

Moge hamil beberapa saat kemudian, bersamaan dengan Iin yang hamil keduakalinya. Karena keterbatasan kandang, Iin sama Moge kita taruh di satu wadah akuarium persegi panjang yang dikasih sekat di tengahnya. Salahnya kita, sekat itu terbuat dari kardus. Hamster itu hewan pengerat, dikasih kardus, bisa ditebak apa yang terjadi? Sekatnya digerogoti sampe bolong. Alhasil, terjadi peristiwa na'as. Pas kita lagi meleng, Moge berhasil menerobos sekat buat masuk ke wilayah Iin dan MELAHAP anak-anaknya Iin sampe cuma satu yang selamat. Orang serumah pada menghujat Moge. Sejak itu, Moge, bisa dibilang, dibenci anak-anak lain. Aku juga kasian sih sama Iin yang mendadak depresi, apalagi waktu satu anaknya itu ikut mati juga. Tapi, aku lebih mencintai Moge.

Karena Iin lagi depresi, kita belum berani gabung dia ke kandang para jantan. Jadi, dia tetap satu kandang sama Moge, yang anak-anaknya sehat. Belajar dari pengalaman, kali ini dijaga supaya sekatnya jangan sampe bolong lagi. Kasian anak-anaknya Moge kalo ikut dibantai. Call me Genius! Aku punya ide buat melapisi bagian bawah sekat itu dengan kaleng coca cola yang udah dipotong.

Seenggaknya itu berguna sampe akhirnya Iin mati. Mungkin karena udah terlalu depresi. Itu kematian hamster pertama dan bikin Moge makin dicaci *pukpuk Oge*.

Karma berlaku. Bahkan di dunia binatang. Gak lama setelah Iin mati, Moge ikut sakit. Padahal anak-anaknya masih kecil. Pas akhirnya Moge mati, aku sedih sekaligus bingung. Gimana nasib anak-anaknya? Mereka semua masih kecil banget, belum bisa makan atau minum sendiri. Selama ini masih makan ASI dari Moge. Yah, bisa ditebak apa yang terjadi selanjutnya. Satu-persatu anaknya Moge mati. Sampe akhirnya tersisa satu.

Yang satu ini bener-bener aku jaga. Setiap waktu makan, aku suapin langsung, karena dia belum bisa makan sendiri. Dia juga minum dari air yang ditetesi di tanganku, karena belum bisa pake botol minumnya. Dan dia bertahan. Survive. Itu namanya. Panggilannya, Ipeh.

Ipeh persis sama wujudnya kayak Moge. Aku berhasil rawat Ipeh sampe dia berhasil lahiran 2x. Yang pertama mati semua, yang kedua bertahan dua.

Ipeh dan anak-anaknya :)

Sampe pada waktunya buat pulang ke Palembang, mereka aku titipin di kosan temen, karena anak-anak rumah pada pulang juga. Beberapa minggu kemudian, aku dapet kabar Ipeh mati karena gak dikasih makan. NYESEK, Jendral!!

Rasa sayangku ke Moge sama ke Ipeh sangat beda porsinya. Jauh lebih besar ke Ipeh. Soalnya, aku bener-bener ngerawat dia dari kecil sampe dia punya anak. Sampe sekarang, aku belum pelihara hamster lagi. Males, ntar udah dirawat baik, terlanjur sayang, mati juga. Padahal, kejadian itu udah hampir 2 tahun yang lalu.



Ngeliat dua hamster barunya Dila, aku jadi pengen pelihara hamster lagi. Yah, mungkin sekarang udah saatnya move on dari Ipeh. Bukan buat menemukan penggantinya. Ipeh gak akan terganti. Tapi buat belajar menerima yang baru.

Bukan buat melupakan. Hanya menerima.


-EP-

Sunday, January 13, 2013

Never be Normal (#5)


Aku tidak akan pernah kembali normal. Sejak insiden minuman kaleng itu, dia menjaga jarak dariku. Tidak ada lagi sapaan ramah, tawaran bergabung, atau apa pun darinya. Bahkan, senyum manis yang diam-diam kusukai tidak pernah lagi diperlihatkannya untukku. Setiap hari kami duduk bersebelahan, tetapi dia menganggapku tidak ada. Begitu istirahat, dia langsung bangkit, bergabung dengan Tasya dan yang lain, entah untuk berdiskusi atau sekedar membicarakan hal-hal yang sepertinya seru.

Sementara aku semakin berantakan, Saka tampak baik-baik saja. Dia masih sosok menyenangkan dan baik pada semua orang. Kecuali padaku. Oke, kuakui. Memang aku yang memintanya untuk berhenti bersikap baik. Aku hanya tidak menyangka kalau itu akan semakin memengaruhiku.

Sampai saat ujian semester ganjil, hubunganku dan Saka tidak juga membaik. Aku menjalani ujian dengan lebih hati-hati. Keinginanku untuk keluar dari kelas itu benar-benar besar hingga aku sampai sengaja menuliskan beberapa jawaban yang salah agar nilaiku tidak terlalu tinggi. Aku takut kejadian saat ujian tengah semester kemarin terulang. Aku benar-benar tidak ingin berada di kelas ini lagi.

Tidak seperti saat tengah semester di mana pembagian kelas dilakukan beberapa hari setelah ujian, pembagian kelas setelah ujian akhir semester dilakukan berbarengan dengan pembagian raport. Aku berdiri di depan papan pengumuman bersama Sara dan Anita sambil terus berdoa. Yang kali pertama kulihat adalah daftar kelas XII IPS Plus. Aku tersenyum masam saat melihat nama ‘Saka Abdirga’ berada di urutan pertama. Hal itu sama sekali tidak mengejutkanku. Di urutan kedua ada ‘Tasya Wihelmina’. Mereka benar-benar pasangan serasi. Hingga ke nama terakhir, aku tidak menemukan namaku. Aku mendesah lega, seharusnya. Tetapi, ada sedikit rasa sesak saat menyadari aku tidak akan pernah lagi duduk di sebelahnya. Sudahlah. Yang penting, aku akan kembali ke kelas Central bersama Sara dan Anita. Itu jauh lebih baik.

Setidaknya, aku berpikir sudah kembali ke kelas Central, sampai mendengar kata-kata Sara.

“Yah, Fik. Kamu di plus lagi ya? Katanya mau balik ke central.” Dia menatapku sedikit sedih. “Bosen cuma sama Anita di kelas.”

“Ya udah, sih, Sar. Berarti otaknya si Fika emang beneran berkembang,” timpal Anita.

Tunggu dulu. “Apa sih?” tanyaku. “Aku udah nggak di kelas plus lagi, kok.”

Sara dan Anita saling pandang. Lalu, keduanya menatapku dengan ngeri. “Serius?” tanya keduanya bersamaan.

Aku mengangguk. “Aku di kelas central, kan?”

Sara menelan ludah. “Fik….”

Aku menyuruhnya bergeser supaya bisa melihat deretan nama di kelas XII IPS Central. Wajahku memucat. Namaku tidak ada di sana! Apa-apaan ini? Kalau namaku tidak ada di urutan kelas plus dan kelas central, berarti aku masuk ….

Oh Tuhan! Tidak! Ini tidak mungkin terjadi!

Aku menatap ngeri pada tulisan ‘Rafika Avariella’ yang berada di deret ketiga pada daftar kelas XII IPS Minus. Aku masuk kelas minus! Bagaimana mungkin bisa seperti ini?

Kepalaku tiba-tiba terasa pusing. Apa yang sudah kulakukan dengan hidupku? Hanya untuk menghindari satu lelaki, aku sampai merusaknya. Merusak nilai yang nantinya akan sangat berguna untukku. Aku memang bukan salah satu siswa yang sangat pintar. Tapi, aku juga tidak sebodoh ini sampai harus masuk ke kelas… kelas… buangan? Sepertinya itu kata yang pas.

Atau, sebenarnya aku memang sangat bodoh sampai harus masuk ke sana. Orang yang punya otak, tidak akan membiarkan hal sepele seperti lelaki tidak jelas menganggu hidupnya. Ini benar-benar hukuman atas kebodohanku.

“Fika? Kamu nggak apa-apa, kan?”

Aku menatap Sara dengan linglung. Apa aku baik-baik saja? Tentu tidak. Aku kacau balau. “Nggak apa-apa. Ya udah, Sar. Aku pulang ya. Sampe ketemu lagi abis liburan,” ujarku. Aku melambai tidak jelas dan segera meninggalkan sekolah.

Mimpi burukku yang sebenarnya akan segera dimulai.



-to be continued



#4 - #6