Ada yang salah dengan diriku. Belakangan ini, aku selalu
uring-uringan. Sara dan Anita sudah berkali-kali bertanya ada apa, tapi aku
tidak bisa menjelaskannya. Jadi kujawab saja kalau aku makin stres karena kelas
itu. Aku selalu meyakinkan diri ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan
Saka dan Tasya yang terlihat semakin mesra di mataku. Sama sekali tidak ada.
Mungkin, aku hanya mengalami pra-menstruasi sindrom atau semacamnya yang
menyebabkan semakin banyak hormon bergejolak di tubuhku dan membuatku selalu
ingin marah. PMS yang berlangsung sepanjang minggu.
Saka tampaknya juga mulai menyadari ada yang tidak beres denganku.
Sesekali aku menangkapnya tengah memandangku dengan alis bertaut. Dahinya
berkerut dengan sorot penasaran. Aku hanya mendelik galak padanya tanpa
mengucapkan apa-apa. Pernah dia mencoba bertanya dan aku membentaknya. Setelah
itu, dia tidak mencoba lagi. Mungkin, bentakkanku terlalu kasar, tapi aku tidak
peduli. Sudah seharusnya dia menjauh. Toh, dia juga sudah punya pacar yang
pintar dan cantik seperti Tasya.
Karena hubungan kami merenggang, suasana di kelas itu
menjadi jauh lebih buruk buatku. Aku benar-benar ingin segera pergi dari sana,
kembali ke kelasku yang normal. Meninggalkan segala tekanan menyebalkan ini.
Dan menjauh dari Saka.
“Fika?”
Aku mengangkat wajah dari novel yang kubaca. Saka tengah
menatapku dari bangkunya dengan tatapan ragu. “Apa?” balasku dengan nada datar.
“Aku bikin salah ya?”
Aku sedikit terkejut dengan pertanyaannya. Mengapa dia
berpikir seperti itu? “Nggak,” jawabku. “Kenapa emangnya?”
Saka mengangkat bahu, seraya menyandarkan punggungnya.
Jemarinya memutar-mutar pulpen sehingga menimbulkan bunyi ketukan dengan
meja. “Kamu aneh,” gumamnya. “Nggak cuma
pendiem, tapi jadi dingin.”
“Aku baik-baik aja,” jawabku tak acuh, kembali pada
novelku. Aku merasakan Saka masih menatapku dengan sorot penasaran dan
benar-benar berharap lelaki itu tidak mendengar degup jantungku yang
berantakan. Aku tidak tau apa yang terjadi. Mengapa tiba-tiba aku merasa gugup
berada di sebelah lelaki ini?
“Beneran?”
Belum sempat aku menjawab, terdengar panggilan namanya
dari depan kelas. Kami menoleh, dan melihat Tasya melambai pada Saka.
“Ikut ke kantin nggak?” tanya gadis itu.
“Oh,” Saka bangkit dari bangkunya. “Iya,” jawabnya, lalu
berpaling padaku. “Kamu nggak pernah ikut kita makan di kantin,” ujarnya.
Aku tau itu bukan pertanyaan. Dia juga tidak mengajakku.
Jadi aku hanya berkata, “Terus?”
Sekali lagi, Saka memandangku dengan heran, lalu berjalan
menyusul Tasya. Kekasihnya. Aku berusaha memusatkan pikiran pada novel yang
tengah kubaca. Tetapi, kali ini kata-kata di sana hanya berlalu, tanpa ada yang
masuk ke otakku. Akhirnya aku menutup novel itu sambil mendesah.
Ada apa ini? Mengapa perasaanku jadi sangat kacau? Ada
semacam perasaan kehilangan. Aku baru menyadari kalau selama di kelas ini, aku
sangat bergantung pada Saka. Selain tingkah santainya yang kadang membuatku
makin tertekan, lelaki itu tidak pernah keberatan membantuku memahami pelajaran
yang sulit kumengerti. Dia mengajariku dengan sangat sabar. Memaklumi otakku
yang kadang sedikit susah menangkap penjelasan atau mengingat sesuatu. Tanpa
terasa, aku merasa dekat dengannya. Dan memang dia yang paling dekat denganku
di kelas ini.
Sampai aku mengetahui kalau ternyata dia berpacaran
dengan Tasya. Seharusnya hal itu sama sekali tidak menggangguku. Untuk apa aku
merasa terganggu? Saka memang sangat baik padaku, juga pada orang lain, dan
tidak ada apa-apa di antara kami. Awalnya, kupikir aku hanya kecewa karena
mendengar berita itu dari orang lain, bukan dari Saka langsung. Tapi, sekarang
alasan itu terasa tidak masuk akal. Saka tidak memiliki kewajiban untuk
memberitahuku. Mengapa aku harus seperti ini?
Menghela napas, aku membenamkan wajah di meja, bertumpu
pada lenganku yang terlipat. Beberapa saat kemudian, terdengar suara tawa-tawa
dan langkah-langkah kaki memasuki kelas. Aku tidak mengangkat kepala. Saat
menyadari ada yang duduk di sebelahku pun aku tetap bergeming. Aku tau itu
Saka. Entah sejak kapan, aku sudah mengenali aroma tubuhnya. Semakin membuatku
kacau balau.
Tiba-tiba, aku merasa sesuatu yang dingin menyentuh
lenganku. Aku mengangkat kepala dan melihat Saka menyodorkan sekaleng softdrink
padaku.
“Aku nggak tau apa yang salah, sebenernya juga aku nggak
ngerasa bikin salah apa-apa. Tapi, kayaknya kamu emang lagi marah atau kesel
sama aku. Aku pengen minta maaf, tapi nggak tau minta maaf buat apa. Jadi…” dia
meletakkan kaleng itu di mejaku. “Anggep aja itu sogokkan supaya kamu nggak
marah lagi.”
Aku menatap kaleng minuman di depanku dan sosok Saka
bergantian. Mataku tiba-tiba terasa panas. Oh, Tuhan. Ini benar-benar konyol.
Aku berdiri, mengembalikan minuman itu pada Saka. “Kamu mau tau apa yang
salah?” tanyaku dengan nada sedatar yang kumampu, sementara suaraku sedikit
bergetar. “Kamu selalu baik, dan aku nggak bisa nerima kebaikan itu. Jadi,
berhenti bersikap baik sama aku.” Lalu aku berjalan meninggalkan kelas, persis
adegan sinetron yang sering kutonton.
Ini terasa semakin menyebalkan. Aku membiarkan kakiku
melangkah ke mana saja, menjauh dari kelas sialan itu dan lelaki sialan di
dalamnya. Aku menoleh ke belakang, entah untuk apa. Mungkin berharap Saka
mengejarku dan meminta penjelasan atas sikap konyolku. Bukankah di sinetron
biasanya seperti itu?
Tunggu dulu…. Sejak kapan aku ingin hidupku seperti di
sinetron? Dan demi Tuhan! Mengapa aku harus sampai seperti ini hanya gara-gara
seorang lelaki? Selama ini, aku selalu bangga tidak pernah membiarkan otakku
rusak hanya karena memikirkan seorang laki-laki. Aku mengumpat dalam hati,
seraya berbalik kembali ke kelas. Aku akan menjalani sisa waktu sebulan ini
sebiasa mungkin. Mengontrol nilaiku hingga bisa kembali ke kelas Central. Dan
menjauhi Saka.
Ya. Tinggal satu bulan. Setelah itu, aku kembali ke
kehidupan normalku lagi.
#3 - #5
No comments:
Post a Comment