Mataku menatap nanar pada barisan kata di layar ponsel. Sebuah pesan baru yang sebenernya sedang kuusahakan agar tidak kuharapkan lagi. Kenapa sekarang? Pertanyaan itu muncul begitu saja, seiring dengan usaha otakku yang tengah mencoba menangkap isi pesan tersebut.
Bukan. Isi pesan itu bukan teka-teki rumit, seperti kode NASA atau semacamnya. Sebenarnya cukup sederhana. Hanya undangan untuk bertemu. Kalau saja pesan itu datang dari teman lama yang menghilang bertahun-tahun lalu mengajak bertemu, aku tidak akan sebingung ini. Juga kalau ternyata si pengirim pesan adalah penipu amatir yang berusaha memikatku dengan kata-kata menang undian puluhan juta dan mengajak bertemu, aku juga tidak selinglung ini.
Masalahnya, yang mengirim pesan itu adalah seorang yang telah memaksa dirinya menghilang dari hidupku selama bertahun-tahun, memaksaku untuk tidak mengingat-ngingat lagi apa pun yang pernah ada di antara kami. Dan sekarang dia tiba-tiba datang, mengajakku bertemu, untuk... apa tadi bunyi pesannya? Mengenang yang pernah ada?
Ya ampun! Aku benar-benar tidak tau harus melakukan apa sekarang. Sungguh! Beberapa tahun belakangan ini aku berusaha keras untuk mengenyahkannya. Aku tidak akan mengelak jika ada yang menuduhku masih mencintainya. Namun, jika aku menerima undangan itu, sama saja aku mengantar diri ke tiang gantung.
Sebut aku bodoh. Akhirnya aku memenuhi undangan kematian darinya. Dia sama sekali tidak berubah. Tetap menawan seperti yang kuingat. Ya Tuhan... lelaki ini benar-benar sudah mengacaukan otakku. Selama satu jam berikutnya, kami membicarakan banyak hal. Nyaris semuanya berubah selama perpisahan kami.
"Seandainya kita bisa berada di tempat yang sama, apa kita bisa mengulang semuanya lagi?" tanyanya.
Aku terdiam, menatap serbet kotak-kotak di depanku. Apa kami bisa? Tanyaku dalam hati. Yah, aku memang masih mencintainya, meskipun dia sudah menghancurkan hatiku dengan brutal waktu itu. Mungkin, kalau dia menyanyakan hal itu beberapa bulan setelah kejadian brutal itu, aku akan langsung menerimanya. Tapi, sekarang?
Menghela napas, aku menatapnya. Dia balas menatapku. Aku tersenyum sedih, tanpa melepaskan pandangan darinya, menunjukan sebuah cincin emas putih yang melingkar di jari manisku. Kemudian dia yang menghela napas.
Ya. Tanpa perlu mengatakan apa-apa, sepertinya dia sudah tau. Sesungguhnya, kami dipertemukan tidak untuk bersatu. Meskipun begitu, dia pernah menjadi sosok terindah dalam hidupku. Dan itu tidak akan pernah berubah.
No comments:
Post a Comment