Monday, October 1, 2012

#FF2in1 One Last Cry

Oke. Semua hal seperti berlomba untuk menghancurkanku hari ini. Mulai dari lupa set alarm, membuatku bangun telat, menunggu angkot sampai hampir setengah jam, membuatku terlambat ke kantor dan mendapat ceramah panjang dari bos paling menyebalkan di dunia, aku berani bertaruh untuk itu. Aku disuruh lembur untuk mengganti jumlah waktu yang 'tersia-sia' karena keterlambatanku. Lembur tanpa uang pesangon itu benar-benar menyebalkan.

Seakan tidak cukup, sekarang hujan turun dengan deras tepat saat jam pulangku. Tidak ada yang lebih kubenci di dunia daripada basah karena hujan. Tubuhku yang terlalu lemah ini langsung terkapar tak berdaya satu jam setelah terkena air hujan.

Bukan itu saja. Pacarku, kekasih hatiku, pria sempurna yang kuharapkan akan menjadi pendampingku seumur hidup, tiba-tiba memutuskan hubungan kami. Tidak adakah keadilan untukku hari ini? Sepertinya Tuhan tidak akan rugi jika memberiku sebuah taksi yang datang tepat waktu dan bisa membawaku pulang secepatnya, bukan malah membiarkanku menunggu di teras kantor sementara hujan terus membasahi bumi.

Doaku terjawab sekitar empat puluh menit kemudian. Akhirnya ada sedikit kebahagiaan hari ini, tersaji melalui cokelat hangat dan semangkuk mi rebus. Bahagia itu sederhana, kawan!

Bel rumah kontrakanku berbunyi. Aku tetap di tempat, menatap TV dengan selimut tebal menutup hingga ke kepalaku. Seorang teman serumahku sudah membukakan pintu.

"Tamumu," ujarnya padaku.

Aku mengerang, sangat tidak ingin meninggalkan tempatku yang nyaman. Namun, akhirnya aku berdiri juga. Oke, kalian pasti bisa menebak siapa yang datang. Mantan kekasihku tercinta. Dia membawa sebuah kardus seukuran kardus mie instan dan tersenyum padaku.

Ingatan tentang dia bukan lagi milikku tiba-tiba datang. Membuatku menyadari betapa berbedanya posisi kami sekarang. Kemarin, kami berada di satu tempat. Namun, sekarang dia seakan berada jauh, meskipun pada kenyataannya tengah berdiri tepat di depanku.

Dia menyodorkan kardus itu padaku. "Kukembalikan," ucapnya. "Terima kasih, ya."

Terima kasih? Saat itu, aku ingin menjerit. Aku tidak butuh terima kasihnya! Aku ingin mendengarnya mengucapkan maaf dan kembali ke pelukanku sekarang juga, mengenyahkan jarak lebar yang tiba-tiba terbentang di antara kami.

"Kenapa?" tanyaku.

Dia hanya mengangkat bahu. Satu-persatu, air mataku turun. Kemudian, derasnya menyaingi hujan yang masih saja turun. Dia mendekat, mengusap pipiku dengan tangannya yang sedikit kasar, namun sentuhannya tetap lembut.

"Aku mencintaimu," bisiku, terisak.

Dia mengusap mataku. "Aku tau. Dan kamu boleh nangis sepuasnya. Asal, setelah ini, nggak ada lagi air matamu yang jatuh buat aku. Kita udah nggak bisa sama-sama lagi, Leta. Kamu tau itu, kan?"

Ya. Semuanya sudah kacau sejak dua bulan yang lalu. Entah apa yang terjadi sebelum ini. Perasaannya berubah, sementara perasaanku tetap sama. Aku bertahan di sini, dan dia berlalu pergi. Sial. Air mataku tidak bisa berhenti. Dan sekarang, aku makin terisak keras di pelukannya. Dia memelukku, mengelus bahuku. Namun, rasanya sudah beda. Itu hanya sentuhan menenangkan untuk seorang teman, bukan sentuhan hangat kekasih. Membuatku yakin kalau semuanya benar-benar sudah berakhir.

Akhirnya aku melepaskan diri, mengusap air mata, dan memberanikan diri menatapnya. Tanpa kata, aku berbalik masuk dengan membawa kardus berisi barang-barang yang pernah kuberikan padanya, lalu mendorong pintu dengan kakiku. Aku berusaha kuat. Berusaha tegar. Menuruti sarannya, aku menangis sepuasnya malam itu. Setelah ini, tidak akan ada air mata lagi. Tidak untuknya, atau lelaki mana pun juga.

No comments: