Thursday, September 20, 2012

just let and go...

Tanganku meremas pulpen yang sudah kupegang sejak beberapa jam yang lalu. Mood menulisku sedang sangat baik tadi, sampai sepasang manusia yang sebenarnya tidak ingin kulihat memilih duduk di bangku yang tertangkap mataku. Si lelaki menyempatkan diri tersenyum padaku, sebelum menghadap wanitanya. Aku hanya bisa menatap mereka sambil menahan geram sekaligus rasa sedih. Saat tangan lelaki itu menggenggam tangan si wanita, mataku memanas. Aku masih sangat ingat bagaimana rasanya ketika tangan itu menggenggam tanganku. Menjanjikan sebuah perlindungan yang pasti tanpa rasa sakit. Seharusnya. Semua keindahan itu buyar ketika dia, lelaki itu, memilih memutuskan hubungan hanya karena orangtuaku tidak menyukainya. Seharusnya dia berjuang, kan? Aku menunduk ketika merasakan pelupuk mataku mulai dipenuhi air mata. Aku tidak mau dia melihatku masih menangisi perpisahan kami yang sudah berjalan hampir satu tahun. Seharusnya aku bisa lupa, kalau saja kami tidak terjebak dalam satu kantor. Setelah perpisahan terjadi, aku sering memikirkan apa makna pertemuan dan kebersamaan kami sebelumnya. Hanya untuk menggores kenangan indah yang kemudian berubah jadi pahit? Menggelikan. Dia lelaki terbaik yang pernah ada di sampingku sebelum ini. Mengapa dia memutuskan pergi? Sebelum air mataku benar-benar jatuh, aku memutuskan untuk pergi. Aku melihatnya sempat menatapku beberapa saat ketika aku berdiri, namun tidak menahan atau bertanya apa pun. Baiklah. Keputusan yang tepat. Karena, kalau dia bertanya, aku pasti sudah menangis dan itu adalah hal terakhir yang kubutuhkan.

No comments: