Irina memberikan lirikan
tajam. Lasya berusaha semampu mungkin mengabaikannya. Dia tau apa yang akan
dilakukan sahabatnya itu. Berceramah panjang lebar tentang kebodohannya. Sejujurnya,
dia sedang tidak membutuhkan hal itu sekarang.
“Las…”
“Udah, Na. Aku nggak apa-apa.
Nggak ada yang perlu di bahas. Oke?”
Lasya sudah siap jika Irina
mengeluarkan segala komentar pedasnya. Namun, ternyata sahabatnya itu hanya
menghela napas. “Sampe kapan, Las?” Dia menyentuh memar kebiruan di sudut bibir
kiri Lasya. “Ini udah kelewatan. Sangat keterlaluan.”
“Dia nggak sengaja.”
“Apa yang nggak sengaja? Waktu
dia nonjok kamu atau pas dia kepergok tidur sama pela…” Irina menghentikan
ucapannya. “Maaf,” ucapnya, salah tingkah. “Aku cuma nggak mau kamu
terus-terusan nyakitin diri. Kamu bisa dapet yang lebih baik dari dia, Las.”
Lasya menggeleng. “Erik udah
ngakuin semua kesalahan dia, Na. Dia udah minta maaf dan janji nggak akan
ngulangin semuanya.”
“Dan kamu percaya?”
Lasya mengangguk pelan. “Aku
sayang dia, Na.”
“Sayang bukan berarti biarin
dia bertindak semaunya, Las. Sayang itu berarti saling menghargai. Erik sama
sekali nggak nunjukin sifat kalo dia menghargai kamu. Yang dia lakuin cuma
terus-terusan nyakitin kamu. Itu bukan hubungan yang sehat.”
Lasya menepuk pelan bahu
Irina seraya tersenyum kecil. “Erik
pasti berubah. Dia nggak akan…” Ucapan Lasya terhenti ketika mendengar pintu
kafe tempatnya bekerja terbuka dan segerombolan pria berjas melangkah masuk.
“Erik,” bisik Irina pelan.
Lasya mengangguk. Ekspresi wajahnya
tampak senang. Dia buru-buru menghampiri meja yang diduduki Erik dan
teman-temannya sambil membawa nota pesanan. “Ada yang bisa saya bantu?” Dia
melempar senyum manis pada Erik.
Erik hanya meliriknya sambil
lalu ketika menyebutkan pesanan teman-temannya satu persatu. Setelah itu, dia
benar-benar membuang muka dari Lasya dan mengobrol serius dengan orang-orang di
mejanya.
Lasya masih berdiri di sana,
menunggu Erik mengucapkan hal lain. Dia setengah berharap Erik akan
memperkenalkannya dengan teman-teman lelaki itu.
“Nona?” tegur salah satu
teman Erik. “Bukannya kamu seharusnya ke belakang buat mulai nyiapin pesanan
kami?”
Lasya tergagap. Dia masih
memandang Erik. Namun, Erik sama sekali tidak menatapnya. Lelaki itu hanya
meliriknya dengan ekspresi datar, sebelum kembali berbicara dengan lagak
penting. Dengan lunglai, Lasya melangkah pelan menuju konter untuk menyerahkan
nota pesanan mereka pada Irina.
“Las…”
“Dia cuma lagi sibuk,” potong
Lasya, kemudian melangkah ke dapur.
Irina menghela napas pelan. Dia
tidak akan pernah mengerti bagaimana Lasya bisa memaklumi semua tingkah buruk
Erik padanya. Dia hanya bisa berharap, temannya itu segera sadar dan berhenti
mengharapkan Erik untuk benar-benar menoleh padanya.
No comments:
Post a Comment