Saturday, March 12, 2011

chapter 6 (una)

Bab 6

Laura mengajak Iluv memasuki salah satu ruang yang dipakai sebagai tempat Jessi melatih Iluv. Ternyata, Jessi sudah siap di ruangan itu. dia memakai you can see ketat dengan hot pant yang sangat pendek. Lekuk tubuhnya terpeta jelas. Diam-diam, Iluv iri juga melihat badan Jessi yang proposional. Rambut panjang Jessi diikat satu.

“Oke, kalian Mbak tinggal ya. Kalo ada apa-apa, Mbak ada di ruang pertemuan,” ucap Laura.

“Mbak, nggak bisa nemenin ya?” Iluv mencoba perjuangan terakhir.

“Maaf ya, Princess. Mbak masih harus ngawasin model-model latihan buat fashion show hari minggu nanti. Tenang aja, Jessi pasti berhasil ngajarin kamu. Iya kan, Jess?”

Jessi tersenyum sopan. Iluv mencibir melihat topeng Jessi. Setelah Laura keluar, Jessi mengunci pintunya.

“Duduk,” perintahnya.

Iluv duduk di lantai sambil memperhatikan ruangan tersebut. Tidak terlalu luas, namun juga tidak kecil. Tampaknya ini ruang latihan koreografi. Soalnya, ada cermin raksasa di dindingnya. Seluruh permukaan dinding itu tertutup dengan cermin.

Jessi duduk di depan Iluv. “Lo nggak usah takut gue apa-apain. Gue juga nggak bakal berani macem-macem sama keponakan tersayang Om Gerald.”

“Kenapa nggak? Bisa aja kan kamu nyiksa aku di ruangan ini dan nggak ada yang bakal tau karena kamu pinter mutar-balik fakta.”

“Bocah tolol!” umpat Jessi. “Liat sudut di belakang kamu.”

Iluv menoleh. Ada sebuah kamera pengawas di sana.

“Ngerti sekarang? Tapi, walaupun nggak bisa kasar sama lo secara fisik, gue nggak perlu ngomong lembut sama lo. Karena, untungnya nggak ada alat penyadap di sini dan kamera itu cuma ngerekam gerak-gerik kita. Nggak bisa ngerekam suara. Oke, daripada buang-buang waktu nggak penting, kita mulai,” Jessi mengeluarkan beberapa majalah fashion pada Iluv. “Mbak Laura nyuruh gue pertama kali ngajarin lo dandan. Lo punya alat make up?”

“Di rumah,” jawab Iluv.

“Huh,” Jessi mendengus seraya mengeluarkan perlengkapan make up-nya. “Gue bakal ngajarin lo make up sederhana yang biasa dipake buat sehari-hari. Tugas pertama lo adalah ambil alat make up yang gue sebutin. Eyeliner,” ucapnya cepat.

Iluv mengeluarkan alat make up Jessi satu-persatu. Dia menyerahkan eyeliner pada Jessi.

Not bad buat permulaan. Pondation?”

Iluv menyerahkan pondation pada Jessi.

“Oke. Gue akuin lo nggak buta masalah make up. Sekarang teori. Pertama kali yang harus lo lakuin sebelum make up, lo harus bersihin muka lo. Jangan sampe ada debu atau kotoran yang nempel. Terus lo harus bla… bla… bla…”

Iluv mendengar penjelasan Jessi dengan raut bosan. Dia juga hanya bisa pasrah saat tangan-tangan kejam Jessi mulai menari-nari di wajahnya untuk mempraktekan alat make up-nya. Dalam hati dia terus berdoa agar jam cepat menunjukan pukul delapan.

^^.

“Hai, Princess. How are you today?” tanya Mama semangat saat melihat Iluv pulang.

“Menyeramkan! Muka aku diubek-ubek oleh si Jessi. Dia nempelin segala macem benda yang… ugh! Nggak tau apa namanya. Sekarang kulit aku gatel semua!”

Honey, ini baru awal. Kamu belum terbiasa dengan alat make up. Nanti juga nggak gatel lagi. Mama udah liat alat-alat make up punya Jessi. Semuanya barang berkualitas. Nggak bakal bikin iritasi. Cocok buat anak seusia kamu. By the way, mana Papa?”

Tepat saat itu, Papa masuk sambil menenteng banyak tas belanja. Mama terbalak.

What is that?” tanya Mama tajam.

“Ini upah karena aku mau diubek-ubek Jessi.”

Mama mengamati satu-persatu barang belanjaan Iluv. “Dan Papa mau nemenin Princess belanja? Kenapa giliran Mama yang minta temenin nggak mau?”

“Mama kan tau gimana sifat Luvita kalo mau sesuatu. Nggak beda jauh sama Mama, malah dia yang lebih parah. Daripada ngamuk nggak mau pulang, mending Papa turutin. Salah Mama juga nyuruh Papa yang jemput dia. Papa kan nggak bisa keras sama dia.”

“Kenapa jadi Papa yang nyalahin Mama? Mama yang mau marah sama Papa!” serang Mama. “Apa yang kalian beli? Komik, komik, komik…” Mama menatap Papa tajam. “Nggak ada yang lain?”

Iluv mengambil kantong belanja berisi komik-komik itu dan berjalan pelan ke kamarnya.

“Papaaaa… Mama nih lagi jalanin proses perubahan Princess! Seharusnya Papa beliin dia baju-baju girly, aksesoris cantik, make up, bukannya malah komik! Papa gimana sih?”

“Maa… Papa nih baru pulang kerja, trus nemenin Luvita keliling-keliling beli komik, belum makan. Capek…”

I don’t care!” serang Mama. Dengan langkah gusar, beliau berjalan meninggalkan Papa yang menghela nafas berat.

“Tuhan, apa salahku sampai Engkau menganugrahi langsung dua wanita yang paling susah dihadapi dalam hidupku?” keluh Papa seraya berjalan ke kamarnya.

^^.

Ranti dan Yayan langsung mengerubungi Iluv dengan wajah cemas, khususnya Ranti, saat Iluv baru meletakan tasnya di meja. Didon yang tadinya berniat keluar kelas, langsung mengurungkan niatnya saat melihat Ranti duduk di bangku sebelah Iluv.

“Pagi, Ranti…” sapa Didon.

“Pagi,” balas Ranti asal. “Gimana, Luv? Parah?” tanyanya.

“Sangat! Liat muka aku!”

Ranti, Yayan, dan Didon menatap wajah Iluv dengan seksama. Iluv mendorong wajah Didon menjauh.

“Pergi sana!” usirnya.

Didon nyengir. “Bye, Ranti…” pamitnya.

Ranti tidak menanggapi. Dia masih menatap wajah Iluv.

“Nggak ada bekas tamparan,” ucap Ranti.

“Bekas dicakar juga nggak ada,” sambung Yayan.

“Ditonjok apalagi.”

“Dicubit ya?”

“Ihhh… liat yang bener!” omel Iluv.

Ranti memegang pipi kanan Iluv sementara Yayan memegang pipi kirinya. Mata keduanya menatap wajah Iluv dengan lebih seksama.

“Pipi kamu makin halus,” ucap Yayan.

“Keliatan seger,” tambah Ranti.

“Kamu pake make up lagi ya?”

“Nggak mungkin, Yan. Kalo make up pasti keliatan. Muka kayak gini tandanya abis maskeran. Kamu semalem pake masker ya?”

“Iya. Si Ratu Buaya itu yang nyuruh!”

Senyum Ranti mengembang. “Luv, kayaknya dia bener-bener bantuin kamu deh. Dia nggak niat bikin kamu celaka. Liat muka kamu! Kalo emang dia mau bikin kamu celaka, dia pasti nyari masker yang nggak cocok sama kulit muka kamu.”

Iluv dan Yayan menatap Ranti dengan kaget. “Are you serious?”

Yes, I am,” jawab Ranti. “Jessi nggak mungkin berani macem-macem sama kamu. Apalagi kamu kemaren udah ngancem dia bawa nama Om Gerald.”

“Jadi, aku harus tetep jalanin program latihan ini selama seminggu?”

Yup!” ucap Ranti. “Aku yakin. Minggu depan kamu udah bukan lagi baby Luvita, tapi bener-bener jadi princess Luvita.”

Iluv menatap Yayan, meminta bantuan. Yayan hanya mengangkat bahu. Dengan gusar Iluv keluar kelas, meninggalkan Yayan dan Ranti.

“Eh… Luv! Tunggu dong!” teriak Ranti sambil menyusul Iluv.

Bruk!

“Aww…” Ranti mengelus bahunya yang baru saja bertabrakan dengan sesuatu.

“Sori. Sakit?”

Ranti menoleh dan melihat Vedo berdiri di hadapannya. “Sakit. Dikit. Tapi nggak papa kok. Sori,” Ranti kembali berlari mengejar Iluv.

Vedo menatap sekilas ke arah Ranti dan Iluv. Bibirnya membentuk senyum kecil. Lalu dia kembali berjalan. Yayan tampak bingung melihat reaksi Vedo barusan. Namun dia tidak ambil pusing dan berlari kecil menyusul Iluv dan Ranti.

“Luv… tungguin dong!” pinta Ranti, melihat Iluv terus berjalan dengan cuek. Karena ada kejadian tabrakan dengan Vedo, jarak antara Ranti dan Iluv makin jauh.

Iluv pura-pura tidak mendengar. Dia terus berjalan. Tiba-tiba…

BRAK!

“Aww…” Iluv mengelus pantatnya yang mencium lantai.

“Ngapain lo? Nangkep kodok? Lepas tuh…” ledek Jessi yang entah darimana, tiba-tiba sudah berada di hadapan Iluv.

Iluv berdiri, mencari biang keladi yang membuatnya terjatuh. Matanya menangkap kulit pisang yang berada tak jauh dari kakinya. Dia mengambil kulit pisang itu dan melemparnya ke arah Jessi. Jessi tampak kaget.

“Apa-apaan sih lo?” serang Jessi marah.

“Aku liat kok kamu tadi yang buang kulit pisang itu ke depan aku. Jangan bohong!”

Jessi mendorong bahu Iluv dengan marah. “Jangan asal tuduh lo!”

“Aku nggak asal tuduh! Aku liat pake mata aku sendiri kamu yang buang kulit pisang itu.”

“Hei…”

Jessi dan Iluv menatap ke sumber suara. Vedo mendekati kancah pertengkaran mereka.

“Lo berdua nggak bisa ya kalo nggak ribut? Ini sekolah, bukan pasar,” ucapnya. “Dan lo,” tunjuknya pada Jessi. “Buang sampah di tempatnya. Untung bukan kepalanya yang kebentur lantai. Kalo nggak, bisa jadi masalah,” sambungnya.

Iluv menatap Vedo dengan terpesona. Saat tidak sengaja matanya bertatapan dengan mata Vedo, Iluv melihat bibir cowok itu membentuk senyum kecil. Iluv balas tersenyum lebar. Kemudian, tanpa memandang Jessi, Vedo berjalan melewatinya.

Jessi menatap Iluv dengan amat murka, seakan siap memanggang gadis itu hidup-hidup.

“Lo tunggu balesan gue!” ancamnya.

Iluv hanya mencibir. Kemudian dia berbalik menuju kelasnya, diikuti Ranti dan Yayan.

“Tau nggak?” tanya Iluv.

“Nggak,” jawab Ranti dan Yayan kompak.

“Tadi…” Iluv menarik nafas dalam. “Vedo senyum sama aku! Ihh… manis banget!!”

“Ooo…”

“Kok cuma ‘Ooo’?” protes Iluv pada dua sahabatnya itu.

“Waaah…”

“Huh!!” Iluv mempercepat langkahnya menuju kelas.

Ranti dan Yayan saling pandang, lalu terkikik sendiri seraya menusul langkah Iluv.

^^.

Wajah Jessi kali ini benar-benar menyeramkan. Iluv menelan ludah, pasrah atas apa yang akan menimpanya.

“Lo jangan ngerasa menang dulu,” Jessi mengeluarkan kata sambutannya dengan sangat dingin. “Mentang-mentang Vedo bersikap baik sama lo tadi, jangan kira lo udah ngalahin gue. Belum! Butuh waktu beratus-ratus abad buat ngalahin gue.”

Iluv tidak menanggapi. Takut Jessi makin meledak.

“Kita mulai pelajaran kedua. Cara jalan. Lo bisa pake high heels?” tanyanya dengan nada sedikit menghina.

Iluv menggeleng jujur. Seumur-umur dia belum pernah memakai high heels. Paksaan mamanya tidak pernah berhasil membuatnya menurut. Dia lebih memilih memakai sepatu model balet atau sandal yang tidak ada hak.

“Udah gue duga,” dengus Jessi. Dia mengeluarkan sepasang high heels dari dalam kotak yang daritadi berada di sampingnya. “Pake,” perintahnya.

Iluv ternganga. Sepatu yang diberikan Jessi ini benar-benar menyaramkan. Haknya sekitar sebelas senti dan amat tipis. Nyaris seperti tusuk gigi.

“Kalo patah gimana?” tanya Iluv, berharap Jessi menggantinya dengan hak yang lebih rendah.

No problem,” jawab Jessi membuat Iluv kaget. “Bukan sepatu gue kok. Itu punya lo. Nyokap lo sendiri yang ngasih ke Mbak Laura pas tau kalo gue mau ngajarin lo cara jalan. Jadi, mau patah, rusak, apalah, terserah. Gue nggak peduli.”

Iluv menatap Jessi dengan amat benci. Jessi tersenyum meledek.

“Kenapa? Takut? Nggak mampu?”

Iluv langsung memakai sepatu itu.

“Oke, berdiri,” ucap Jessi. Dia sendiri juga sudah memakai high heels yang tinggi haknya sama dengan milik Iluv. Dia berdiri dengan mantap, seakan-akan high heels adalah benda yang dipakainya sehari-hari.

Iluv berdiri perlahan dengan takut-takut. Lututnya bergetar saat dia mencoba menyeimbangkan tubuh. Jessi melipat kedua tangannya tanpa berniat membantu Iluv. Setelah Iluv berhasi berdiri, Jessi mengajaknya ke pinggir ruangan. Iluv mengikutinya perlahan.

“Ihh… lambat amat sih! Buruan dong!” omel Jessi melihat Iluv masih tertatih perlahan.

Setelah Iluv berdiri di sampingnya, Jessi menyerahkan setumpuk majalah pada Iluv.

“Buat apa nih? Kamu mau nyuruh aku jalan sambil baca?” tanya Iluv.

“Lo nih bego banget ya? Nggak mungkin lah gue langsung nyuruh lo gitu. Gue nggak pengen bermasalah sama keluarga lo kalo sampe kaki lo patah. Itu ngancurin karir gue.”

“Trus?”

Jessi menggertakan giginya dengan geram menghadapi kelemotan Iluv. “Taruh majalah-majalah itu di kepala lo!”

“Hah?”

“Ihhh…” Jessi merampas majalah-majalah tersebut dari tangan Iluv dan meletakannya di kepala gadis itu. “Lo jalan sampe ke ujung sana,” ucapnya sambil menunjuk ujung ruangan. “Jangan sampe majalah-majalah di kepala lo itu jatoh.”

“Mana bisa!” protes Iluv. Disusul jatuhnya satu majalah.

Jessi memungut majalah yang terjatuh itu dan kembali meletakannya di kepala Iluv. “Harus bisa. Kalo sampe akhir pelajaran ini nggak berhasil, lo harus latihan di rumah. Besok lo tunjukin ke gue dan harus udah lancar. Liat gue,” Jessi berjalan anggun, layaknya model di atas catwalk, ke ujung ruangan. “See?” ucapnya.

Iluv menelan ludah. Perlahan, dia mulai berjalan sambil menahan agar majalah di kepalanya tidak jatuh. Baru dua langkah, seluruh majalah di kepalanya berjatuhan.

“Ambil!” perintah Jessi. “Ulang dari awal!”

Iluv menurut. Begitu terus menerus. Setiap ada majalah yang jatuh, walau hanya satu, Jessi dengan kejamnya menyuruh Iluv mengulang dari awal. Hingga akhirnya, tinggal beberapa langkah mencapai ujung, majalah-majalah itu jatuh karena Iluv bersin. Iluv menatap Jessi, berharap mendapat keringanan.

“Ulang dari awal,” desis Jessi kejam.

“Tapi…”

“Lo mau ngebantah gue? Gue berani ngelapor ke nyokap lo kalo lo balum ngalamin perubahan. Dan lo tau akibatnya kan? Nggak mustahil waktu belajar lo sama gue diperpanjang.”

“Hah? Ogah!” ucap Iluv langsung. “Seminggu aja udah merupakan musibah buat aku! Apalagi diperpanjang!”

“Kalo gitu nurut! Dan lo bakal dapetin kebebasan lo lagi.”

Dengan gusar, Iluv memungut majalah-majalah yang berjatuhan dan berjalan cepat ke tempat semula. Dia lupa kalau sedang memakai hak. Hingga…

Brak!

Jessi tersenyum sinis melihat Iluv meringis kesakitan. Dia berjalan mendekati Iluv dan membantunya berdiri.

“Kalo aja nggak ada kamera pengawas, nggak sudi gue bantuin lo,” ucapnya tajam.

Iluv harus menahan sabar untuk tidak menjitak kepala Jessi dengan sepatu haknya.

^^.

Iluv mengurut kakinya sambil menunggu jemputan di teras agency. Laura dan para pengajar beserta pegawai masih berada di dalam untuk beres-beres sebelum pulang. Kalau Jessi sudah pulang sejak setengah jam yang lalu. Pelajarannya kali ini benar-benar mengerikan. Tumitnya sampai lecet-lecet. High heels pembawa bencana di telantarkan di sampingnya.

“Princess.”

Iluv menoleh. Mamanya sudah datang. Dia berdiri dengan tampang cemberut.

“Gimana?”

“Mama nih kejam banget sih? Mama kan tau aku nggak bisa pake hak tinggi. Masa langsung beliin yang sebelas senti?” semprot Iluv langsung.

Mama tersenyum kecil. “Itu saran Jessi. Katanya, daripada yang rendah, mending langsung yang tinggi. Kalo kamu berhasil menguasai yang tinggi, nggak bakal ada masalah pake yang rendah. Gimana? Kamu udah bisa?”

“Kalo di dalem ruangan udah bisa. Aku kira dia udah puas. Ternyata belum! Dia mau siksa aku lebih kejam. Besok aku diajak latihan di atas rumput, di jalan aspal, di tempat berkerikil, sampe naik-turun tangga! Kalo kaki aku sampe patah gimana?”

Mama tersenyum seraya merangkul Iluv. “Tenang aja. Selama Mama suka pake high heels, nggak pernah tuh kaki Mama sampe patah. Ternyata, Jessi benar-benar berpengalaman ngajarin cewek polos. Kalo dia berhasil ngajarin kamu, Mama bakal saranin ke Gerald biar dia dijadiin pengajar di sini.”

“Aku nggak setuju! Dia bisa tambah semena-mena, Mama!”

“Keras itu dunia model, Honey. Mama nggak nyalahin Jessi kalo dia tegas sama kamu. Emang itu tujuan Mama minta dia ngelatih kamu. Biar kamu jadi cewek anggun yang disiplin. Kalo aja kamu nggak nolak Mama suruh jadi model, gabung sama agency Mama atau Gerald, kamu kan nggak perlu susah kayak gini.”

“Di upah ketemu sama Orlando Bloom juga aku belum tentu mau jadi model!” sungut Iluv.

“Kalo ketemu Mr. Bean?” goda Mama.

Iluv mendengus kesal, lalu berjalan menuju mobilnya. Mama tersenyum kecil. Beliau berjalan masuk agency untuk pamit dengan Laura dan yang lain. Setelah itu, Mama baru menyusul Iluv ke dalam mobil.

“Mau makan apa?” tanya Mama. “Hari ini kamu Mama kasih upah makan sepuasnya. Dan kamu bebas mau milih apa aja.”

“Beneran?” tanya Iluv sedkit tertarik. “Jappanese fast food,” ucapnya mantap.

Mama melongo. “Honey, bukankah kita udah sepakat kalo fast food nggak bagus buat kesehatan?”

“Katanya terserah aku!”

“Oke, ini yang terakhir,” ucap beliau tajam.

Iluv tersenyum cerah. Mobil pun berjalan pelan meninggalkan Evlyn Agency.

^^.

Jessi menunggu Iluv di halaman belakang Evlyn Agency. Tempatnya memang cocok untuk memperlancar cara berjalan Iluv dengan high heels. Bukan hanya karena penuh rumput, tapi juga karena ada banyak kerikil di sana. Begitu Iluv tiba, Jessi langsung menyuruhnya memakai high heels. Iluv hanya menurut.

“Kemaren, lo udah lumayan bagus. Cuma masih kurang gesit. Gerakan lo tuh kayak balita belajar jalan. Tapi, buat orang awam yang baru belajar pake high heels, lumayan lah. Sekarang, lo harus berhasil jalan di rumput dan kerikil ini. Nanti di sambung jalan di aspal. Kita pake jalan depan, keliling-keliling. Gue sengaja nunggu sore biar kulit gue nggak rusak kena sinar ultra violet.”

”Kan ada sun block,” ledek Iluv.

Sun block yang gue punya itu barang impor! Mahal. Gue nggak sudi ngebuangnya cuma buat nemenin lo latihan jalan keliling-keliling. Lagian, body lotion yang gue pake udah mengandung unsur sun block. Jadi, lumayan buat cuaca yang nggak panas-panas amat,” jelas Jessi. “Sekarang lo jalan. Kayak kemaren,” ucapnya seraya menyerahkan beberapa majalah pada Iluv. “Kalo lumayan lancar, lo harus jalan sambil baca. Ini berguna biar lo bisa membagi pikiran antara jalan dengan hal lain. Nggak lucu kan kalo lo jalan sama cowok, entah siapa, yang jelas nggak mungkin Vedo, trus lo nggak denger ucapan dia karena terlalu fokus sama langkah lo.”

“Kayaknya bakal lancar nih,” dengus Iluv. “Yah… paling nggak kalo kaki aku patah pelajaran ini berakhir.”

Bukannya takut atau cemas, Jessi malah tersenyum penuh kemenangan. “Gue udah minta ijin sama nyokap lo. Lo nggak tau ya? Setiap nyusun jadwal latihan, gue kompromi dulu sama nyokap lo dan Mbak Laura. Dan kalo gue ngejalaninnya, berarti program latihan itu udah disetujui oleh mereka, apapun akibatnya. Jadi, lo nggak bisa lagi ngancem gue.”

Iluv melongo dengan sukses. Jadi, penderitaan yang akan dijalaninya suda diketahui sang mama. Pantas tiap kali dia protes atau mengeluh, Mama hanya tersenyum sambil mengucapkan kata-kata untuk menenangkannya.

“Ngerti sekarang, Princess?” ledek Jessi.

Iluv meletakan majalah-majalah itu di atas kepalanya, dan mulai berjalan perlahan. Jalan di atas rumput dengan bonus kerikil-kerikil kecil, jauh lebih susah dibanding jalan di lantai marmer yang mulus. Apalagi kali ini Jessi bukan menyuruhnya jalan dari ujung ke ujung seperti kemarin, melainkan menuruhnya mengelilingi halaman itu. Iluv hanya pasrah sambil mengulang berkali-kali karena majalah di kepalanya terus berjatuhan.

“Oke, istirahat lima menit. Lo boleh minum,” ujar jessi.

Iluv melepas high heels-nya dengan kesal. Kemudian dia menghabiskan sebotol air mineral yang sudah di siapkan oleh office boy.

“Mengenai taruhan kita,” Jessi tau-tau sudah duduk di samping Iluv. Namun, dia tidak melepas high heels-nya. “Waktu lo tinggal dua minggu lebih. Panitia pensi udah bergerak. Semuanya nyaris selesai. Lo masih punya waktu buat ngundurin diri.”

Only in your dream,” balas Iluv.

Jessi tersenyum menghina. “Lo tuh cewek paling keras kepala yang gue kenal. Dan tolol,” dia berdiri. “Mulai lagi. Waktu istirahat udah abis. Sekarang lo sambil baca. Harus bener-bener baca.”

Iluv ikut berdiri setelah memakai high heels-nya. Dia mengambil salah satu majalah. Dia bukan pecinta majalah fashion. Jadi, dia bisa pura-pura membaca, padahal masih fokus dengan jalannya agar tidak jatuh. Namun, Jessi menahan gerakan tangan Iluv yang sudah menyentuh majalah.

“Gue nggak bego. Lo lupa kalo gue selalu kompromi sama nyokap lo? Majalah kayak gini nggak bakal bikin lo tertarik. Lo pasti nanti pura-pura baca, padahal lo masih fokus sama jalan lo.”

“Trus? Gue baca apa?”

Jessi menyerahkan sebuah komik pada Iluv. Komik seri terbaru dari salah satu koleksi Iluv yang belum sempat dibelinya.

“Mama kan?”

Jessi hanya tersenyum licik. “Mulai sekarang,” perintahnya.

^^.

Begitu sampai di rumah, Iluv langsung menuju kamarnya untuk tidur. Tapi, Mama menahannya.

“Kamu harus mandi dulu. Badan kamu penuh keringat. Trus, pake masker. Jessi udah bilang kan kalo maskernya harus dipake dua hari sekali? Udah itu baru tidur.”

“Ma, aku udah capek banget!”

“Mandi bikin capek kamu hilang. Trus, kalo udah mandi kamu turun lagi. Makan dulu. Bentar lagi Papa pulang. Kita makan sama-sama.”

Dengan pasrah Iluv berjalan menuju kamarnya untuk mengambil baju ganti. Hanya sepuluh menit dia di dalam kamar mandi. Mama tidak bohong. Mandi membuat rasa capeknya sedikit berkurang.

Saat Iluv tiba di meja makan, papanya ternyata sudah pulang. Kedua orangtuanya sudah mulai menikmati makan malam mereka. Iluv bergabung.

“Jessi bilang kamu udah bisa jalan pake high heels sambil baca. Berarti kamu udah berhasil membagi fikiran kamu.”

“Iya. Akibatnya lutut aku lecet gara-gara keseringan jatoh,” omel Iluv.

“Itu cuma awal, Honey. Nanti pasti nggak jatuh lagi. Katanya, kamu juga udah bisa jalan di aspal ya?”

Iluv mengangguk. Untuk bagian di aspal, bukan hanya lututnya yang jadi sasaran. Siku di kedua tangannya juga sudah lecet.

“Ma,” Iluv teringat sesuatu hal yang sangat penting. “Besok dia mau ngajarin aku naik-turun tangga. Kalo aku jatoh gimana?”

Honey, Jessi sudah memperhitungkan segalanya. Latihan di tangga nanti, dia jalan di depan kamu. Jadi, kalo kamu mau jatuh, dia yang nahan. Kamu tenang aja.”

“Penting ya belajar kayak gini?” tanya Papa.

“Sangat! Papa nggak mau kan Princess terus-terusan jadi anak kecil?”

“Luvita memang masih kecil, Ma. Umurnya kan baru lima belas tahun. Biarin dia ngelewati masa remajanya dengan wajar. Nanti juga bisa sendiri segala macam hal wanita.”

“Tanggung. Udah jalan. Tinggal lima hari lagi,” jawab Mama. “Eh, Pa, Gerald besok ke sini. Soalnya hari minggu nanti agency-nya yang di sini mau fashion show. Dia ngajak kita makan malam di restoran tempat dia nginep. Papa nggak lembur kan?”

Papa mengangguk. Iluv berseri-seri.

“Jadi, besok aku nggak latihan sama Jessi?”

“Kata siapa?” tanya Mama. “Kamu besok masih latihan di rumah. Soalnya kan mau turun-naik tangga. Kalo di agency, bahaya. Tangganya kan sering di pake orang lewat. Jadi, Mama nawarin di rumah kita. Jessi setuju. Cuma, besok latihannya selesai lebih cepat.”

Iluv kembali manyun.

No comments: