Saturday, March 12, 2011

chapter 3 (una)

Bab 3

Yayan tetunduk diam di lantai rumah Iluv. Ranti berdiri di hadapannya dengan wajah garang, bagai ratu hutan yang memergoki anak buahnya melakukan kesalahan dan siap memberikan hukuman gantung. Iluv merasa tidak enak pada Yayan. Dia kasian sekaligus takut. Kasian karena Yayan pasti mendapat semprotan yang paling dasyat dari Ranti, dan takut karena Yayan pasti balik menyemprotnya karena tidak bisa menjaga rahasia.

Yayan sudah menyiapkan telinganya untuk menampung semua ceramah Ranti yang kalau dicatat pasti bisa dibuat skripsi saking banyaknya. Sementara Iluv siap dengan iPod-nya untuk menyumpal telinga agar tidak menangkap satupun suara Ranti yang kalau lagi marah bisa membuat mumi yang sudah terkubur jutaan tahun langsung bangun saking dasyatnya.

Namun, dugaan mereka berdua meleset. Ranti hanya menatap Yayan tanpa kata. Yayan masih menunduk, belum berani menatap Ranti. Saat menyadari Ranti hanya diam, perlahan dia menatap gadis itu. Begitu Yayan menatapnya, Ranti langsung membuang muka dan ganti menatap Iluv.

“Hari ini kita mulai latihan lagi. Aku liat tadi kamu udah bisa senyum dan ngomong dengan lembut di depan Vedo. Jadi, itu bukan masalah lagi. Kayaknya, kepribadian kamu bakal jadi bagus kalo berhadapan sama Vedo. Makanya, aku mutusin mendingan kita langsung masuk proses pendekatan. Ngeliat reaksi Vedo waktu kamu sapa tadi, kayaknya kamu nggak punya kesulitan buat deketin dia. Tapi sebelum itu, kita harus laksanain akhir dari proses perubahan yaitu Permak Fisik. Kita lakuin besok, hari Minggu, dari pagi sampe malem. Gimana?”

Iluv yang tidak menyangka, dan setengah menyesali, Ranti akan langsung menyinggung masalahnya tanpa mengomel pada Yayan, langsung mengangguk. Padahal dia ingin melihat Ranti marah-marah pada Yayan. Sudah lama dia tidak melihatnya. Terakhir kali Ranti marah besar adalah saat Yayan tidak bisa menghadiri acara ulang tahunnya kemarin karena harus ikut ke rumah neneknya di Jakarta.

“Aku jemput kamu jam tujuh dan kamu harus udah siap,” ucap Ranti. “Dan kamu,” dia menatap Yayan.

Iluv bersorak dalam hati. “Akhirnyaaa!! Pembantaian Yayan dimulai juga,” batinnya.

Yayan melotot sebal saat melihat wajah riang Iluv. Dengan takut, dia menatap Ranti.

“Aku nggak maksud bohongin kamu, Ran. Kamu kan tau kalo impian aku tuh…”

“Naik gunung, jelajah hutan, bla… bla… bla…” potong Ranti dengan nada tidak sabar. “Aku nggak peduli. Aku cuma marah karena kamu udah bohong. Dan sebagai sahabat yang baik seharusnya kamu tuh tau kalo aku…”

“Paling nggak suka dibohongi. Sekali orang bohong, aku nggak akan pernah bisa percaya lagi sama dia,” gentian Iluv yang memotong ucapan Ranti.

Ranti menatap Iluv garang. Iluv nyengir lebar. Ranti membuang muka dan kembali menatap Yayan. “Aku nggak peduli lagi apa yang mau kamu lakuin. Semua terserah kamu. Yang jalanin juga kamu.”

Yayan terdiam. Ranti tidak memperdulikannya. Dia mengeluarkan sebuah tas kecil dari dalam tas sekolahnya. Tas kecil itu berisi alat make up lengkap.

“Hari ini kita mulai latihan dandan.”

“HAH?” Iluv melongo. “GILA! Nggak! Apaan sih? Masa ke sekolah harus dandan?”

“Makanya jangan langsung nyambung!” semprot Ranti. “Kamu pikir ke sekolah nggak perlu dandan? Itu kenapa penampilan kamu nggak menarik perhatian. Coba liat Jessi.”

“Tunggu dulu…” potong Iluv.

Iluv membayangkan sosok Jessi. Blush on, eye shadow, lip balm, banyak lagi yang lain, menghiasi wajahnya yang sebenarnya cantik, tapi terlihat menyeramkan karena make up yang terlalu menyeramkan saking tebalnya. Kemudian dia membayangkan aksesoris yang selalu di pakai Jessi. Yah… persis toko aksesoris berjalan. Jepit rambut, bandana, anting, kalung, gelang, cincin, jam tangan, kaus kaki warna-warni, dan sepatu yang sewarna dengan aksesoris yang dipakainya. Kadang, syal atau cardigan ikut meramaikan seragam sekolahnya. Iluv yakin seratus persen Jessi membeli aksesorinya langsung satu paket. Jadi, kalau dia beli bandana biru, dia pasti juga beli anting, kalung, gelang, jam tangan, kaus kaki, sampai sepatu yang juga berwarna biru. Tinggal pake baju motif polkadot warna-warni yang di bagian perutnya mengembung kayak ibu hamil, dan warna merah pada hidung, Jessi telah sukses menjadi badut tercantik dari semua badut yang pernah ada.

Iluv terbahak sendiri dengan bayangannya. Ranti mengerutkan keningnya dengan bingung.

“Kenapa ketawa?”

“Lucu aja. Dandanan Jessi tuh nggak beda jauh sama badut yang aku liat di PS kemaren,” jawab Iluv.

“Dasar buta mode!” omel Ranti. “Buat ukuran anak sekolah, emang sih dandanan dia kelewan menor. Kurang pantes. Tapi, sebenernya diliat dari wajah dia yang selalu fresh, aku tau dia ahli dandan.”

“Ya iyalah…” serang Iluv. “Sehari-hari kan tuh cewek temenan sama pondation dkk. Kelewatan dong kalo nggak pinter make?”

“Nah! Itu dia kelebihan dia! Dia pinter make up. Makanya wajahnya selalu enak diliat. Yah… walaupun sebenernya males liat muka dia, tapi aku ngakuin kalo wajah dia tuh fresh terus. Nggak kayak kamu yang ke sekolah cuma pake bedak sama minyak telon bayi! Baru berapa jam di sekolah, muka kamu udah langsung kucel karena keringatan. Kalo ada di deket kamu, aku ngerasa lagi bergaul sama bayi, tau nggak? Mana wajah kamu tuh kayak anak kecil. Kalo mau jujur ya, Luv, kamu tuh secara fisik nggak cocok sama Vedo. Kamu lebih pantes jadi adek dia daripada jadi pacar. Percaya deh, kalo kalian jadian trus jalan berdua, orang-orang pasti ngira kalian tuh adik-kakak.”

“Ran…” panggil Yayan dengan wajah memelas.

Ranti pura-pura tidak mendengar. “Jadi, aku mau ngajarin kamu dandan biar face kamu keliatan lebih dewasa. Jadi, cocok digandeng Vedo.”

“Nggak mau! Enakan awet muda daripada muka tua!” tolak Iluv.

“Ranti…” Yayan makin memelas.

Ranti tetap cuek. “Kalo kamu nggak keliatan dewasa, Vedo pasti cuma anggep kamu sebatas adek. Nggak aku bikin tua kok. Muka kamu tetep muda. Cuma, keliatan dewasa.”

Good afternoon, everybody!!”

Iluv, Yayan, dan Ranti kompak menoleh ke sumber suara. Mama Iluv, yang biasa dipanggil Bunda oleh Ranti dan Yayan, berdiri di hadapan mereka dengan wajah cerah.

What are you doing here?” tanya beliau seraya duduk di samping Iluv. Matanya melihat tumpukan alat make up yang sudah dikeluarkan oleh Ranti. “Punya siapa?”

“Ranti. Mama kan tau kalo aku nggak pernah suka pake yang kayak begitu. Si Ranti malah paksa mau ngajarin aku,” jelas Iluv cepat, berharap mendapat dukungan sang mama hingga Ranti tidak perlu memoleskan benda-benda mengerikan itu di wajahnya.

“Waw!!” Mama tampak takjub. Matanya berkilat-kilat senang. Beliau menatap Ranti yang salah tingkah. “Bunda mengucapkan terima kasih buat kamu, Ranti. Kalo kamu butuh alat make up lain yang dibutuhin Princess, kamu tinggal lapor sama Bunda.”

“MAMA!!” teriak Iluv histeris. Lenyap sudah Dewi Penolongnya.

“Princess, my darling, kamu sudah remaja. Sudah waktunya bisa dandan. Iya kan, Ranti?”

Ranti mengangguk. Semangatnya berlipat ganda saat menyadari kalau mama Iluv mendukung rencananya.

“Tapi kan…”

“Sekarang, lupain bedak bayi sama minyak telon kamu. Besok kita shopping. Mama bakal beliin kamu seluruh perlengkapan make up yang dibutuhkan oleh anak berusia empat belas tahun.”

“Lima belas!” protes Iluv.

“Uups… I’m sorry, Honey. Ranti sama Yayan mau ikut besok?”

“Besok Ranti mau ngajak Iluv ke salon. Tapi, kalo Bunda mau…”

“Oh my God! Ke salon? Really?” mata Mama mengerjap makin ceria saat menatap Ranti dan Iluv. “Princess, Honey, kamu benar-benar sudah besar…” ucap beliau dengan mimik terharu.

“Maaa…”

“Bunda setuju sama rencana kalian. Kamu bisa bantu Princess cari make up?” tanya Mama pada Ranti.

Ranti mengangguk makin semangat.

“Oke,” Mama mengeluarkan kartu ATM dari dompetnya. “Bisa kalian pake buat apa aja.”

Iluv langsung menyambarnya. “Boleh beli komik kan? O iya, kemaren aku liat ada kaset Mr. Bean versi bioskop. Aku udah lama mau beli. Terus…”

“Selain buat ke salon, makan, sama beli alat make up, ATM itu nggak boleh kamu pake!” Mama berubah tegas. “Ranti, kontrol Princess ya…”

Ranti kembali mengangguk senang.

God!” Mama langsung kaget saat melihat jam dinding. “Papa bisa ngamuk. Mama tadi pulang buat ngambil jas ganti.”

“Emang Papa di mana?” tanya Iluv. Wajahnya masih dongkol.

“Papa mau rapat setengah jam lagi. Jas sama kemeja Papa kena tumpahan kopi. Makanya Mama pulang. Padahal lagi asik ngobrol sama temen-temen arisan Mama. Ya udah, kalian lanjutin deh latihannya. Mama mau ke kantor Papa. Moga aja jalanan nggak macet,” pinta Mama sambil berlari kecil menuju kamarnya.

“Helooo… ini Palembang. Bukan Jakarta. Belum macet-macet banget kan?” cibir Iluv melihat sang mama yang sok sibuk.

Yes! Langkah kita makin mulus kalo mama kamu jadi sponsor utama!” sorak Ranti.

Iluv cemberut.

“Senyum dong, Princess…”

“Nyebelin!” sungut Iluv. “Iya kan, Yan?”

Yayan membuang muka. “Masih inget ada aku?” sindirnya.

Iluv dan Ranti saling pandang, lalu tertawa berdua.

“Ya… ya… ya…” Yayan tampak kesal. “Terus aja ketawa. Kalian berdua itu kan sahabat yang PALING baik…”

Tawa Ranti dan Iluv makin keras, menenggelamkan gerutuan Yayan.

”Heeii!” bentak Mama yang, entah sejak kapan, sudah kembali ke ruang TV. “Ketawa kok kayak kerasukan? Ketawa itu harus yang anggun. Tunjukan kalo kalian perempuan yang berkelas,” nasehatnya. “Oke, Princess, Mama berangkat ya. Ranti, Yayan, Bunda pergi dulu ya. Have fun…”

Oke, Princess, Mama berangkat ya. Ranti, Yayan, Bunda pergi dulu ya. Have fun…” cibir Iluv ke arah punggung mamanya yang menjauh. “Heran deh! Kenapa sih Mama nggak pernah bertingkah layaknya seorang ibu?”

“Aku malah pengen punya ibu kayak Bunda,” ujar Ranti.

Iluv terdiam. Teringat sosok ibu Ranti. Tipe wanita karir yang berkelas. Semua tingkah laku dan ucapan yang dilontarkan pasti menimbulkan kesan resmi. Cukup satu kata menggambarkan ibu Ranti. Disiplin. Hanya itu. Wajar kalau Ranti juga tumbuh seperti ini, selalu serius dan jarang bercanda. Mungkin, kalau dia tidak bergaul dengan makhluk aneh seperti Yayan dan Iluv, Ranti benar-benar tumbuh seperti sang mama. Ibu Ranti memang termasuk ramah, namun sangat tegas dengan peraturan yang dibuatnya dan selalu serius dalam keadaan apapun. Sangat bertolak belakang dengan ibu Iluv yang enerjik, supel, dan masih suka bergaul serta bertingkah laku layaknya remaja yang seusia dengan Iluv dan teman-temannya.

Sementara ibu Yayan lain lagi. Beliau berdiri di antara sifat ibu Ranti dan Ibu Iluv. Di saat tertentu bisa menjadi sosok ibu yang tegas dan serius, di lain waktu juga sering bercanda dan ikut bergaul dengan mereka jika sedang kumpul di rumah Yayan.

“Mama tuh nggak bisa diajak curhat. Selalu serius. Kalo pun cerita, pasti nggak jauh soal pelajaran, masa depan, pekerjaan, yah… gitu-gitu. Nggak pernah nanya kisah cinta aku. Nggak pernah nanya gimana pergaulan aku di sekolah. Mama cuma mau ngobrolin hal-hal serius dan paling nggak mau ngebahas hal nggak penting seputar dunia remaja,” keluh Ranti.

“Kalo kamu mau ngajak tukeran, ayo deh! Aku mau banget! Punya ibu kayak Mama tuh bener-bener… ugh! Nggak tau gimana ngomongnya. Aku suka sih Mama nggak terlalu banyak aturan, bisa diajak curhat, bahkan ikut terjun balik ke dunia remaja. Cuma aku kesel kalo tiap jalan sama Mama, ketemu sama temen, mereka pasti nanya, ‘Tante kamu ya, Pri? Ya ampun… masih muda ya?’. Aku sebel dengernya! Yang makin bikin sebel, tiap aku bilang kalo itu mamaku, nggak ada yang percaya! ‘Kok mama kamu masih muda banget sih? Nikahnya umur berapa?’. Padahal, usia Mama tuh sepuluh tahun lebih tua dibanding tampangnya!” sahut Iluv berapi-api saking nafsu dan semangatnya membahas sang mama.

“Kalian berdua tuh enak, punya ibu yang masih modis, mentingin penampilan. Nggak kayak mama aku yang sehari-hari di dapur terus. Tiap aku suruh dandan dikit, jawabannya pasti, ‘Buat apa? Mama nggak minat cari jodoh lagi. Kan udah ada Papa?’. Gondok dengernya,” Yayan ikut nimbrung.

“Enak punya ibu kayak Bunda…” ucap Ranti.

“Yang pengertian dan lebih keibuan kayak Ibu…” balas Iluv. ‘Ibu’ adalah panggilan Ranti dan Iluv pada ibu Yayan.

“Mending juga yang rapi trus anggun kayak Mami…” Yayan tidak mau kalah. ‘Mami’ merupakan panggilan Iluv dan Yayan untuk ibu Ranti.

Ketiganya menghela nafas bersamaan. Kemudian hening. Tiba-tiba…

“Kok jadi pada ngomongin ibu sih?” tanya Ranti. “Kita kan mau belajar dandan,” sambungnya.

“Kita?” tanya Yayan. “Kalian aja kaleee… aku masih normal.”

Iluv hanya pasrah saat Ranti sudah beraksi dengan perlengkapan perangnya.

^^.

“But I got my head set on California. I’ll fly away tomorrow, won’t even warn, yeah. And I send a big postcard, just to piss you off. I got my head set on California. Here I come…”

‘Headset’ dari Avril Lavigne bergema di dalam kamar Iluv. Dengan mata masih terpejam dan selimut menutup sebagian tubuh, gadis itu meraba-raba kasurnya untuk mencari sumber bunyi. Begitu menemukan ponselnya yang masih mengalun, Iluv langsung menekan tombol answer.

“Halo?” tanyanya dengan mata masih terpejam.

“Kamu udah siap kan? Aku lagi on the way ke rumah kamu nih,” terdengar suara Ranti.

Iluv membuka matanya perlahan, lalu melirik sekilas jam dindingnya. Iluv langsung melongo kaget. Sudah jam delapan kurang lima menit. Tidak sampai lima menit, Ranti sudah akan berada di hadapannya. Dengan sekali hentakan, Iluv ngacir ke kamar mandi untuk bersiap-siap. Mood Ranti bisa jelek seharian kalau dari pagi sudah jelek. Acara ‘jalan-jalan’ yang seperti malapetaka bagi Iluv, akan benar-benar menjadi malapetaka kalau mood Ranti jelek.

Baru saja pintu kamar mandi di kunci, terdengar derit pintu kamar Iluv dibuka. Mama berjalan masuk. Beliau sempat kaget saat melihat kasur Iluv kosong. Namun, saat melihat pintu kamar mandi terkunci, beliau mendekat.

“Princess, kamu lagi mandi ya? Yayan sama Ranti udah dateng.”

“Iyaa… bilang lima menit lagi aku turun. Jangan suruh Ranti masuk kamar!” teriak Iluv. Dia sedang sibuk membersihkan sisa masker yang dipakaikan oleh Ranti semalam.

“Kenapa? Tumben? Mama suruh masuk aja deh. Di depan lagi ada temen Papa.”

“JANGAN!!” teriak Iluv panik. “Ngapain sih temen Papa ke sini pagi-pagi?”

Belum sempat Mama menjawab, Ranti dan Yayan sudah memasuki kamar Iluv.

“Nah, sebelum Mama suruh mereka udah masuk,” ucap Mama. Lalu beliau menatap Ranti dan Yayan. “Bunda tinggal ya…”

Ranti dan Yayan mengangguk. Setelah Mama menutup pintu, raut wajah Ranti yang tadinya ramah, langsung berubah jutek.

“Kamu baru bangun kan? Makanya aku sama Yayan nggak boleh masuk. Iya kan?”

Tidak terdengar jawaban dari Iluv. Sebagai ganti suara cemprengnya, Ranti dan Yayan mendengar suara percik air shower.

“Jadi, kalo aku nggak nelpon tadi, sekarang kamu pasti masih tidur kan?”

“SORIII,” teriak Iluv dari dalam. Suara percik air terhenti. Tampaknya gadis itu sedang memakai sabun dan sampo.

Ranti membuka lemari pakaian Iluv dan mengeluarkan beberapa baju. Kemudian dia sibuk memadukan baju-baju yang kira-kira cocok dipakai Iluv hari ini.

“Keluar dulu, Yan,” perintah Ranti. “Kamu nggak niat liat Iluv ganti baju kan?”

Yayan, yang sebenarnya berminat main PS sebentar, langsung berdiri tegap. “Asal aja kalo ngomong! Ngapain aku liat si Iluv ganti baju? Aku nggak minat sama dia!”

Pintu kamar mandi terbuka. Iluv keluar dengan tubuh dan rambut dibalut handuk.

“Aku juga rugi diliat kamu! Keluar sana!” semprotnya galak.

Sambil menggerutu, Yayan berjalan keluar. Setelah Yayan keluar, Ranti mengunci pintu kamar Iluv. Kemudian dia menatap Iluv.

“Sebagai hukuman keleletan kamu, hari ini kamu harus nurut semua omongan aku, kamu harus mau aku dandanin, dan kamu harus pake baju pilihan aku!”

Iluv melongo. Matanya menatap satu-persatu baju yang sudah dipadukan oleh Ranti.

“Aku udah pesen tempat di salon langganan aku sama Mama. Abis dari salon, kita ke PS buat beli alat make up dan perlengkapan kamu yang lain.”

Iluv benar-benar tau dia tidak bisa menolak intruksi Ranti kali ini. Jadi, dia hanya pasrah menuruti semua perintah Ranti.

“Itu baju kamu kan?” tanya Ranti saat Iluv memakai dress pink selutut model balon pilihannya.

Iluv mengangguk malas. Baju ini dibelikan oleh mamanya sekitar lima bulan yang lalu dan hanya dipakainya sekali saat fitting. Itu pun hanya lima menit. Setelah itu, jangankan dipakai, dilirik pun tidak. Iluv bahkan lupa dia punya baju seperti ini.

“Kok kegedean? Kapan belinya?”

“Lima bulan yang lalu.”

“Seharusnya jadi sempit! Bukannya longgar gini! Copot! Ganti sama yang ini!” Ranti menyerahkan you can see my ketiak en ketex dan jins selutut biru laut pada Iluv. “Kamu emang lebih cocok pake yang simple.”

“Untung deh kalo tau,” ledek Iluv seraya kembali masuk kamar mandi untuk ganti baju.

Lima menit kemudian, Yayan, Ranti, dan Iluv berlalu menuju salon dengan sedan sport milik Yayan.

^^.

Mata Iluv mengerjap ketakutan menatap bangunan mewah di hadapannya. Berkali-kali dia menelan ludah. Perawatan di salon ini pasti tidak murah. Pantas Ranti dan mamanya selalu tampak ‘bercahaya’. Seingat Iluv, seminggu sekali sepasang ibu dan anak itu menyempatkan diri ke salon. Tapi, Iluv tidak pernah menyangka kalau salon yang dimaksud Ranti bukan salon biasa.

“KIREI NA SALON”

Nama itulah yang terpampang indah dengan neon warna-warni mengelilingi papannya. Ranti turun dari mobil pertama kali. Disusul oleh Iluv. Ranti menatap Iluv sekilas, lalu bangunan di hadapannya, sambil tersenyum bangga, seakan berkata, “Keren kan selera aku?”

Yayan menurunkan kaca mobilnya. Dia sedikit takjub juga melihat salon yang dimaksud Ranti. Dia membayangkan berapa uang yang keluar demi mendapat perawatan di salon berkelas seperti ini.

“Uang bukan masalah,” sahut Ranti santai saat Yayan tidak berhasil menahan diri untuk bertanya. “Yang penting tuh kepuasan. Dan aku belum nemuin salon yang lebih bagus dari ini.”

“Mending buat beli komik,” celutuk Iluv.

Lost ‘bout comic from your mind!” bentak Ranti. “Sekarang kita harus mikirin penampilan kamu sebelum masuk ke tahap pendekatan!”

“Tanpa harus kayak gini, Vedo udah mulai sering nyapa aku kok. Mending kita ke PTC yuk! Pengen ke Japanesse fast food neh! Atau ke Gramedia. Terserah deh, mau yang di Kol. Atmo atau yang di PS. Berburu komik! Ke PIM juga boleh. Daripada…” ucapan Iluv langsung terhenti saat melihat tampang Ranti.

Selanjutnya, Iluv mengikuti langkah Ranti dengan pasrah. Yayan memilih nunggu di dalam mobil dari pada ikut masuk. Gawat kalau dia dianggap ‘feminim’ oleh orang-orang di dalam. Lebih kacau lagi kalau ternyata ada orang yang dikenalnya di dalam sana.

Walaupun datang karena terpaksa, Iluv sempat terpesona juga melihat keadaan di dalam salon itu. Ruangan itu di dominasi warna putih, menandakan betapa terawatnya tempat itu. Bagian paling depan merupakan ruangan untuk potong rambut, rebonding, smoothing, dan berbagai hal-hal sejenis lainnya. Iluv sudah tidak sabar untuk ke ruangan selanjutnya. Namun, Ranti menariknya ke meja resepsionis.

Kebersihan benar-benar dijaga oleh salon ini. Bukti kecilnya, saat tadi akan memasuki salon, Ranti menyuruh Iluv melepas sandalnya dan menggantinya dengan sandal yang sudah disediakan. Makanya, selain oleh potongan-potongan rambut, tidak ada benda apapun yang mengotori lantai.

“Ngalahin rumah sakit aja sih?” sungut Iluv sambil mengikuti Ranti menuju resepsionis.

Tidak seperti salon biasa yang resepsionisnya memakai seragam kaos yang sejenis dengan pegawai lain, resepsionis salon ini memakai stelan blazer cokelat dengan pin berlabel “KnS” yang merupakan singkatan dari “Kirei na Salon”. Seragam yang dipakai para pegawai menunjukan pekerjaan mereka masing-masing. Pegawai yang melayani pelanggan secara langsung seperti hairsylist dan sebagainya memakai seragam berupa kaos berwarna biru laut dan bawahan celana dasar berwarna putih. Mereka juga memakai rompi berwarna putih dengan logo “KnS” juga. Sementara para cleaning servis memakai pakaian model kemeja dengan warna putih dari atas hingga bawah.

Resepsionis itu tersenyum ramah saat melihat Iluv dan Ranti mendekat. Tertera nama “Mya Indriani” di ID Card yang dipasang di seragamnya.

“Pagi, Mbak Mya,” sapa Ranti akrab.

“Pagi, Mbak Ranti,” balas Mya sopan. “Tumben sendiri? Mamanya nggak ikut?”

Iluv gondok mendengar pertanyaan Mya. Kalau Ranti dianggap sendirian, dia apa? Kutu air? Makhluk tak kasat mata? Untungnya Ranti lebih dulu bersuara sebelum Iluv mengeluarkan komentar-komentar bernada protes yang pasti sangat ajaib.

“Mama lagi sibuk. Mungkin minggu depan baru ke sini. Ng… saya tadi udah pesen tempat atas nama Princess Luvita sama Feranti Claudia.”

“Oh… tunggu sebentar, Mbak,” Mya membuka buku tamu dan mencari nama yang dimaksud Ranti. “Princess Luvita dan Feranti Claudia, perawatan seluruh badan ya?”

Ranti mengangguk. “Kapan gilirannya?”

“Sebentar lagi. Sekarang ruang creambath sedang penuh. Silakan tunggu dulu, Mbak.”

“Makasih,” ucap Ranti. Lalu dia menarik Iluv ke kursi tunggu.

Hanya ada lima orang yang duduk selain Iluv dan Ranti. Dua orang adalah wanita paruh baya, kira-kira seusia dengan mama mereka, sementara tiga yang lain adalah makhluk yang paling tidak ingin mereka temui.

“Waw! Gue nggak salah liat nih?” komentar pertama Agne saat melihat Ranti dan Iluv duduk.

“Nyamuk kok bisa masuk sih?” ledek Friska, salah satu kroni Jessi selain Agne.

Jessi menutup majalah mode yang daritadi dibacanya. Dia ganti menatap Iluv dan Ranti dengan tatapan menghina.

“Pantes tiba-tiba gue ngerasa panas. Ternyata…” dia tidak melanjutkan ucapannya. Gadis itu berjalan ke arah Iluv dan berhenti tepat di depannya. “Lo salah alamat. Salon aja nggak cukup ngerubah elo. Yang lo butuhin tuh dokter kecantikan. Operasi sana!”

Iluv ingin berdiri, namun Ranti menahannya.

“Tolong ya, Nona-Nona nggak penting. Kayaknya, ini tempat umum deh. Jadi, suka-suka kita dong. kalian nggak punya hak ngelarang aku, Iluv, atau siapapun buat dateng ke sini,” balas Ranti tanpa berdiri dari kursinya.

“Ooo… jadi nama lo Iluv? Nama aneh…” ledek Jessi. “Sama kayak orangnya. Freak!”

Kali ini Ranti tidak berhasil menahan Iluv. Dia berdiri dengan garang.

“HEH! Nama aku jauh lebih bagus dibanding nama kamu!” serangnya galak.

“O… ya? Lo pikir nama lo bisa ngalahin nama gue? Jessica Alverita versus Iluv?” sontak ketiga gadis centil itu tertawa.

“Nona Princess Luvita dan Nona Feranti Claudia,” terdengar panggilan dari resepsionis.

“Tuh nama aku! Princess Luvita! Artinya, Putri yang dicintai! Bagus tauuk!” semprot Iluv, tidak sadar kalau itu merupakan panggilan untuk segera masuk ke ruang perawatan. Luvita memang diambil dari kata love.

“Luv, kita udah dipanggil. Yuk masuk,” ajak Ranti. Dia langsung menarik Iluv menjauhi Jessi, Agne, dan Friska.

Iluv melempar pandang meledek, lalu mengikuti langkah Ranti. Sementara Jessi, Agne, dan Friska berdiri diam seakan disihir menjadi patung dadakan.

“Princess Luvita?” ketiganya saling pandang. Nama itu sangat familiar di telinga mereka. Terutama di telinga Jessi yang berprofesi sebagai model.

“Jangan bilang kalo dia anak pemilik Princess Luvita’s Agency,” ucap Jessi.

“Kalo pun iya, nggak masalah kan? Bukannya agency itu udah bubar?” Agne berusaha menenangkan.

“Beda!” Jessi tampak panik. “Mereka bubar bukan karena bangkrut. Tapi karena Angel Ferice, pemiliknya, udah nggak mood ngurusin. Dia ngejual agency itu ke saudaranya, Gerald Evlyn, pemilik Evlyn Agency, tempat gue gabung sekarang!”

“Trus?” Agne dan Friska masih tidak mengerti di mana letak permasalahnnya.

Jessi menatap dua sahabatnya itu dengan geram. “Tuh anak bisa dengan mudah depak gue dari agency itu! Gue denger Om Gerald nggak punya anak. Padahal udah lima tahun dia nikah. Makanya dia cuma sayang sama satu-satunya keponakan yang dia punya. Siapa lagi kalo bukan si Iluv? Bisa aja Iluv dengan mudah minta Om Gerald ngeluarin gue dari agency itu. Lo berdua tau kan, belum ada agency lain yang ngalahin Evlyn Agency? Itu agency terbesar yang udah berhasil ngeluarin banyak bintang! Salah satu cabangnya di sini. Nggak gampang masuk sana. Dan kalo keluar dengan nggak terhormat, impian gue jadi bintang bakal bener-bener ancur!”

“Jadi…”

“Pake nanya?” Jessi menatap mereka berdua seakan ingin membunuh. “Gue dalam masalah besar!” ucapnya histeris.

“HUSH!” bentak salah satu wanita yang ada di sana.

“Berisik sekali kalian ini. Bisa diam tidak?” serang yang lain.

Jessi dan teman-temannya langsung diam.

^^.

“Mbak Princess ini anaknya Angel Ferice?” tanya pegawai yang sedang melulur Iluv. Namanya Dini.

“Iluv aja, Mbak. Aku nggak biasa dipanggil Princess,” ujar Iluv.

“Kecuali mamanya,” sambung Ranti yang juga sedang dilulur.

“Diem deh,” bentak Iluv pelan. “Mbak kenal sama mamaku?”

“Ya kenal dong, Mbak. Dulu kan Mbak Angel sering perawatan di sini. Dia juga pemilik agency yang lumayan maju. Sering jadi topik pembicaraan di salon ini. Kenapa dia jual agency-nya ke orang lain, Mbak?”

“Mama tuh orangnya bosenan, nyebelin, angin-anginan, nggak ada sifat bagus deh. Papa awalnya nggak ngasih ijin Mama buka agency. Tapi Mama ngotot. Pas udah sukses, malah dilepas. Sekarang Om Gerald, adik Mama, yang ngelola. Jadi salah satu cabang agency dia yang pusatnya di Jakarta.”

“Evlyn Agency ya? Adik saya juga masuk di sana,” sambung pegawai yang melulur Ranti yang bernama Femi.

“Kenapa Mbak nggak jadi model aja? Padahal, peluangnya gede lho!” ujar Dini semangat.

“Jangan asal ngomong ya! Walaupun itu punya Om aku, tetep nggak gampang. Asal tau aja, Evlyn Agency tuh bebas dari nepotisme! Jadi, walaupun kaluarga harus tetep ikut prosedur kalo mau masuk. Kalo emang nggak ada bakat jadi bintang, tetep aja nggak bakal maju! Kalo pun maju, pasti nggak tahan lama karena pake cara instant. Cepet tenar, cepet juga jatohnya,” jelas Iluv.

“Luv, kamu abis makan apa?” tanya Ranti geli. “Kok bisa ngomong normal sih?”

“Diem!” bentak Iluv.

Ranti, Dini, dan Femi tertawa kecil. Iluv merengut sebal.

No comments: