Bab 5
“Serius?” mata indah Ranti mengerjap tidak percaya dari balik kacamatanya mendengar apa yang keluar dari mulut Iluv. Seperti biasa, selama menjalani masa taruhan, mereka berkumpul di rumah Iluv sepulang dari sekolah. “Kamu lagi nggak mimpi kan? Yah… siapa tau karena capek abis ngelilingi lapangan bola yang nyaris nyaingin stadion Kamboja gitu, kamu jadi kayak liat fatamorgana. Yakin tuh beneran Vedo?”
Iluv mengangguk, masih dengan raut mupeng. Botol minum yang tadi diberikan oleh Vedo, dipeluknya erat, seolah itu berlian yang paling berharga, lebih berharga dibandingkan Heart of Ocean di Titanic (haree… genee… masih ngomongin Titanic? Si Jack sama Rose-nya udah tua kaleee…). Tapi, kalaupun disuruh milih antara ‘botol minum from Vedo’ atau berlian-nya Titanic, otomatis Iluv lebih milih berlian. Botol minum dari Vedo kan bisa minta lagi kapan-kapan. Tinggal pura-pura capek di depan si cakep itu, dikasih minum deh.
Tapi… ngomong-ngomong soal Titanic, SUMPRIT! Tuh satu-satunya film yang nggak bosen-bosen buat ditonton. Bayangin! Kisah cinta antara Putri Bangsawan dengan cowok gembel nggak jelas (yang anehnya kok bisa cakep ya?). Walaupun si Kate nggak sadar ngalamin love at the first sight, tapi, dia pasti udah ngerasa ada getar-getar aneh waktu ditolong si Jack (nama asli Jack tuh bukan Jaka kan? Hehe… garing…). Lika-liku yang mereka hadapin, sampe akhirnya Jack harus menghembuskan nafas terakhir karena beku (hiks…), perjuangan Rose manggil-manggil sekoci yang lewat pake peluit yang nemu dari salah satu awak kapal (langsung niup lagi, nggak pake dilap dulu), bener-bener bikin nangis bombay walaupun udah nonton DVD dan VCD-nya berkali-kali (sekedar info neh, kasetnya sampe lecet-lecet lho!).
STOP! Hei! Kok malah ber-nostalgila dengan Titanic sih? Nggak penting bangeeeeeet!!!!
Lanjut lagi deh! Iluv masih menampakan raut mupengnya sambil terus memeluk erat botol minum yang seharga dengan berlian berharga.
“Luv!” tegur Ranti, takut sahabatnya itu kerasukan. Gimana nggak takut. Daritadi Ranti liat mata Iluv menerawang jauh.
“Vedo tuh kereeeeen banget! Beneran…” ucap Iluv, masih mupeng.
“Sadar woy!” tegur Yayan sambil mendorong bahu Iluv cukup kencang.
Raut mupeng Iluv langsung berubah dengan raut kesal. Yayan dengan sukses sudah mengusir sosok Vedo dalam pikirannya. Padahal, tadi tuh Iluv sedang membayangkan sedang menyusun potongan puzzle hingga membentuk wajah Vedo. Gara-gara Yayan, semuanya kacau. Iluv memandang sahabatnya itu dengan murka.
“Kamu tuh nggak bisa ya kalo nggak gangguin aku? Gangguin Ranti aja kenapa sih?”
“Yang aneh tuh kamu. Kalo si Ranti yang bersikap aneh kayak orang stress gitu, baru aku ganggu dia. Baru dikasih minum aja hebohnya udah kayak dilamar.”
Iluv berdiri sambil berkacak pinggang. Matanya melotot ke arah Yayan. “Itu tuh udah kemajuan bagus, tau! aku tadi udah putus asa banget karena rencana hari ini terancam gagal gara-gara make up aku berantakan. Nah, kalo tiba-tiba dalam keadaan hancur gitu Vedo masih mau deketin, itu nunjukin kalo aku tuh punya peluang dan Vedo nerima aku apa-adanya!”
“Dan itu berarti,” Ranti meneruskan, melihat Iluv yang sudah ngos-ngosan saking kesalnya. “Peluang Iluv buat menangin taruhan ini besar. Aku bener-bener pengen ngeliat wajah angkuh Jessi tuh malu karena kalah. Selama ini, dia kan selalu ngerasa diri paling hebat. Aku muak sama dia.”
“Kenapa kamu nggak minta dia di keluarin aja?” tanya Yayan.
Ranti dan Iluv menatap Yayan dan berkata kompak. “Kita kan penentang KKN, Driyan Anggara!”
“Ye… ye… ye…” jawab Yayan malas. “Emang kamu tau arti KKN, Luv?” tanyanya. Kalau Ranti, tidak perlu ditanya. Yayan yakin gadis itu bisa menerangkan seluruh isi buku Kewarganegaraan dengan baik. Mungkin lebih baik dari cara mengajar Pak Tagor, guru KWN mereka.
“Yah… peduli amat tau apa nggak. Kalo Ranti udah ngomong gitu juga, pasti aku nggak salah kan?” ucap Iluv.
Yayan mencibir.
“Udah. Sekarang kita pikirin rencana selanjutnya. Karena Vedo udah nunjukin reaksi positif ke kamu, kayaknya kamu nggak masalah deh kalo mulai bertindak juga. Jadi, nggak cuma nungguin dia. Asal, jangan agresif. Harus di bawah kontrol aku sama Yayan. Jangan sampe dia il feel sama kamu sebelum kita jatuhin si Ratu Buaya Jessi itu. Ngerti?”
Iluv mengangguk. Ranti baru akan kembali bersuara ketika pintu kamar Iluv lebih dulu dibuka. Mama melangkah masuk dengan senyum merekah.
“Sorry, children,” ucap beliau. “Ranti, Yayan, Bunda bukannya mau ngerusak acara kalian. Sebenernya, siang ini Bunda punya acara sama Princess. Bukannya ngusir lho. Cuma, buat hari ini kalian nggak bisa kumpul-kumpul sampe sore kayak biasa. Nggak papa kan?”
Ranti dan Yayan menatap Iluv, sementara Iluv menatap mamanya.
“Acara apa? Mama nggak bilang mau ada acara. Tumben dadakan?”
“Princess, my honey, Mama baru kepikiran waktu kamu udah berangkat sekolah tadi. Mama nyusun program pembelajaran kepribadian buat kamu. Jadi, selama seminggu ke depan, kamu akan berlatih kepribadian buat jadiin kamu seorang princess.”
“Seminggu?” ketiga bocah di hadapan Mama melongo dengan sukses.
“Yup! Just one week. Setelah itu, kalian bisa main-main lagi.”
“Tapi, Ma… aku, Ranti, sama Yayan nih lagi ada proyek penting.”
“Mama cuma minta waktu seminggu. Pokoknya kamu harus ikut atau kalian Mama hukum nggak boleh ketemu selama sebulan!”
Iluv melongo. Mamanya ini memang sering bertindak tanpa berfikir. Tapi, walaupun konyol, ancaman yang keluar dari mulut beliau tidak pernah main-main dan benar-benar akan terjadi. Iluv hanya bisa pasrah saat Ranti dan Yayan pamit pulang.
“Oke. Show time!” ucap Mama semangat seraya menyuruh Iluv siap-siap.
^^.
Sedan merah milik Angel Ferice, mama Iluv, berhenti di depan sebuah bangunan lumayan besar bertuliskan ‘Evlyn Agency’. Mama turun dengan ceria sementara Iluv tampak bengong.
“Ngapain ke sini? Om Gerald pulang ya?” tanya Iluv seraya mengikuti langkah mamanya memasuki bangunan itu.
“Keep silent and follow me,” ucap Mama.
Mereka menuju meja resepsionis. Seorang wanita muda, tampangnya sederhana namun tetap memukau dengan olesan make up. Nama Fitria Ningsih tertera di ID card resepsionis itu.
“Bu Angel,”
“Madame Angel,” ralat Mama sambil tersenyum manis.
“Maaf,”
“Forget it,” Mama mengibaskan tangannya. “Kamu yang menerima telpon saya tadi kan?”
Fitria mengangguk sopan. “Sekarang Mbak Laura lagi ada pertemuan dengan para model. Katanya mau membahas tentang fashion show minggu depan.”
“Oow… temanya?”
“Ng…” Fitria mencoba mengingat-ingat. “Oh… gaun musim semi. Perancang busananya Givan Anwar, desainer yang baru saja meampungkan karya-karya barunya.”
“Did you tell Gerald about it?” tanya Mama.
“Sudah, Madame. Mbak Laura yang menghubungi Pak Gerald. Dua hari lagi beliau ke sini untuk mengecek persiapan acara tersebut.”
“Oh… sistem kerjanya benar-benar bagus. Saya nggak nyesel nyuruh Gerald yang ngelola agency ini. Oke, waktu saya sangat terbatas. Tolong panggil Laura sekarang.”
“Maaf, Bu, eh, Madame, Mbak Laura tadi pesen jangan ada yang ganggu selama dia masih di ruang pertemuan.”
Mama menyunggingkan senyum manisnya sambil menatap tajam pada Fitria. “You call her, or… I will do it,”
Dengan gelagapan, Fitria mengangkat telpon untuk menghubungi Laura.
“Maaf, Mbak. Madame Angel dan putrinya, Princess sudah datang,” ucap Fitria gugup.
“Ta…” ucapan Fitria terpotong. Dia menatap gagang telpon di tangannya dengan nelangsa. Takut-takut, dia kembali menatap Mama. “Mbak Laura minta Madame menunggu sepuluh menit.”
“Oke. Came on, Princess,” Mama menarik Iluv memasuki sebuah pintu bertuliskan ‘Meeting Room’.
Fitria mencoba menahan, namun terlambat. Pintu itu sudah di tutup dengan debam pelan.
Ruangan pertemuan itu berukuran lebih besar daripada ruang depan. Sekitar dua puluh model laki-laki dan perempuan duduk mengelilingi seorang wanita muda berusia sekitar 25an. Tampaknya mereka sedang membicarakan hal serius, namun terpotong karena kedatangan Iluv dan mamanya.
“Good afternoon, everybody,” sapa Mama riang.
Wanita yang duduk di tengah, Laura, bangkit berdiri sambil tersenyum hangat, dan berlari pelan mendekati Mama. Kemudian kedua wanita itu berpelukan sambil cipika-cipiki.
“Mbak Angel. Udah lama nunggu?” tanya Laura.
“Nggak. Baru nyampe, trus ngobrol-ngobrol sebentar sama Fitria. Nggak ganggu kan?”
“Nggak kok, Mbak,” jawab Laura riang. “Pertemuannya udah selesai. Cuma membahas sekilas acara minggu depan. Aku udah dapet orang yang sesuai sama permintaan Mbak.”
“Are you really?” tanya Mama semangat. “Aku tau kamu bisa diandalkan. Yang mana?” sambung beliau sambil menoleh ke arah dua puluh model yang sekarang terdiam.
Laura menatap satu-persatu model asuhannya. “Jessi,” panggilnya.
Iluv yang masih belum mengerti rencana mamanya, makin bingung saat melihat sosok Jessi mendekati mereka.
“Jessica Alverita,” Laura mengenalkan Jessi pada Mama.
“Panggil Jessi aja, Tante,” ucap Jessi pelan sambil tersenyum kecil.
“No… no… no… call me Bunda, like another Princess’s friend,” ucap Mama semangat. “Princess, what do you think?”
“Aku nggak ngerti, Ma,” Iluv berusaha besuara. Matanya terus menatap Jessi yang melempar senyum mengejek padanya. “Kenapa Mama bisa berurusan dengan Ratu Buaya ini?” tanyanya sambil menunjuk Jessi.
Mama, Laura, dan Jessi sendiri, menatap Iluv dengan kaget.
“Shut up, Princess!” ucap Mama tegas. “Jessi yang akan mengajarkan kamu banyak hal tentang dunia perempuan. Mulai dari kepribadian, tata cara make up, dan fashion. Selama seminggu penuh kamu akan bergaul dengan dia dari pulang sekolah sampai jam delapan malam.”
“Hah?” Iluv melongo dengan sukses. Dia menatap Jessi, yang masih tersenyum mengejek, dengan pandangan tidak percaya. “Kenapa dia?”
“Jessi yang terbaik, Princess,” Laura yang menjawab. “Mbak nggak asal pilih kok. Di antara semua model di sini, cuma Jessi yang cocok buat ngajarin kamu. Selain karena dia menguasai bidang yang akan diajarkannya ke kamu, dia juga kenal sama kamu. Makanya Mbak pikir kalian akan lebih cocok dan nggak harus melakukan adaptasi dulu.”
“Tapi…”
“Kamu nggak boleh protes, Princess. Mama yakin Jessi benar-benar bisa merubah kamu dari gadis polos menjadi gadis anggun.”
“Jadi gadis anggun? Jadi bubur mungkin iya!” batin Iluv. Matanya masih menatap tidak suka pada Jessi.
“Oke, Princess?”
Iluv menatap Laura. “Nggak ada pilihan lain ya?”
“Princess Luvita, look at me!” perintah Mama.
“Iya… aku mau diajarin dia. Cuma seminggu kan?” ucap Iluv akhirnya, pasrah. Dia melihat kilat kemenangan di mata Jessi.
^^.
Ranti melongo tidak percaya. Gagang telpon di tangannya nyaris jatuh mendengar penuturan Iluv barusan.
“Ran? Kok diem sih?” terdengar suara Iluv.
Ranti tersadar. “Kok kamu nggak nolak sih? Itu pasti dijadiin Jessi sebagai ajang buat jatuhin kamu!”
“Kamu kayak nggak kenal Mama aja. Mana bisa aku bantah perintahnya. Aku harus gimana sekarang?” ujar Iluv histeris sambil mengunyah keripik kentang.
“Kamu ini lagi panik masih sempet-sempetnya ngunyah. Makan apaan?” tanya Ranti saat mendengar bunyi ‘kriuk-kriuk’ heboh yang ditimbulkan Iluv.
“Keripik kentang. Mau?” tawar Iluv.
“Bodoh,” dengus Ranti. “Secanggih-canggihnya zaman, nggak mungkin bisa ngasih makanan lewat telpon. Tulalit kamu tuh kurangin dikit dong. Vedo tuh kan pinter. Nggak cukup modal tampang deketin dia tuh. Otak juga harus jalan. Jessi yang sebenernya lumayan pinter aja masih nggak berhasil deketin dia. Kalo kamu nggak ngalamin kemajuan juga, aku bener-bener pesimis kamu bakal berhasil. Mulai sekarang kamu harus banyak baca. Main internet tuh jangan cuma buka twitter sama nulis blog nggak jelas. Buka juga website yang bikin pengetahuan kamu nambah. Biar pinteran dikit.”
“Ranti, tujuan aku nelpon kamu tuh buat bantuin aku bebas dari taring si Ratu Buaya Jessica Alverita itu. Bukan mau denger ceramah kamu yang entah kapan selesainya. Kalo bisa, aku maunya curhat sama Yayan. Tuh anak paling diem atau ngeluarin komentar nggak penting. Nggak sampe ceramah panjang lebar kayak kamu.”
“Ya udah! Telpon Yayan aja sana!” semprot Ranti.
“Tuh kan… gitu aja ngambek. Maaf…” pinta Iluv. “Jadi aku harus gimana? Nurut sama Jessi dan Mama seneng, atau ngelawan Jessi dan Mama ngamuk?”
Walaupun masih gondok dengan Iluv, Ranti ikut berfikir. Tidak ada pilihan yang bagus. Apapun yang dipilih Iluv mempunyai keuntungan dan kerugian masing-masing.
“Yang jelas menurut aku nggak ada hal yang lebih buruk dibanding dengan terkurung selama seminggu di kandang Buaya itu. Atau… gini aja! Kamu minta Mbak Laura buat nemenin selama Jessi ngelatih kamu. Jadi, si Ratu Buaya itu kan nggak bisa macem-macem. Atau, kamu minta Bunda yang nemenin.”
“Aku juga udah mikir gitu. Tapi nggak bisa. Aku sama Jessi bakal latihan di ruangan khusus. Mbak Laura sekarang lagi sibuk ngurusin fashion show buat minggu depan. Dan Mama… kamu tau kan? Arisan… arisan… dan arisan. Mana bisa nemenin aku. Dan aku yakin, kalo Mama ikut nemenin hari aku bakal jadi lebih buruk!”
“Seenggaknya kan Jessi nggak bisa semena-mena di depan Bunda.”
“Satu lagi yang bikin sebel!” sela Iluv. “Mama nyuruh dia manggil Bunda kayak temen aku yang lain. Heloooo!! Dia tuh musuh aku! Masa dianggep temen cuma gara-gara satu sekolah?”
“Sabar aja ya, Luv. Aku sama Yayan aja yang nemenin kamu. Bunda pasti nggak keberatan kan?”
Wajah Iluv berbinar senang. Dia berdiri dan membawa telpon wireless-nya ke kamar mandi. Ada panggilan alam. J
“Bener tuh! Mama pasti nggak keberatan. Lebih asik lagi kalo kita bertiga ikut belajar. Si Jessi nggak bakal bisa ngelawan kita kan?”
“Iya. Oke, kamu minta ijin Bunda, aku telpon Yayan sekarang.”
“Oke!” Iluv mematikan telpon. Setelah selesai dengan ‘panggilan alam’-nya, Iluv mencuci tangan dan berjalan keluar, menuju ruang tengah tempat orangtuanya sedang menonton TV.
“Ma…” panggil Iluv sok manja.
Mama yang sedang mengoleskan kuteks (karena lagi dapat tamu bulanan. Walaupun agak ajaib, masalah ibadah beliau nggak main-main. Sekedar info, waktu SMA, Mama masuk pesantren gara-gara tingkahnya makin ajaib. Untunglah, keluar dari pesantren sifat Mama lebih baik, walaupun belum dikatakan bener-bener bagus), menoleh sebentar, lalu kembali konsentrasi pada kuteksnya.
“Apa? Uang jajan?”
“Bukan…”
“Trus?”
“Ng… masalah pelajaran sama Jessi. Ranti sama Yayan…”
“No,” jawab Mama, seakan sudah tau arah tujuan pembicaraan Iluv.
“Kenapa?” protes Iluv. “Paaa…” rengeknya, meminta bantuan Papa.
“Papa nggak tau apa-apa. Ngomong sama mama kamu langsung,” ucap Papa tanpa berpaling dari TV.
“Princess, kalo kamu belajar sama Ranti dan Yayan, Mama nggak yakin akan berhasil. Kalian pasti lebih banyak main-main. Kasian kalo Jessi sampe nggak bisa ngontrol kalian. Lagipula, yang butuh pelajaran ini cuma kamu. Yayan kan cowok, nggak mungkin mau ikut. Sementara Ranti, sebagai seorang remaja perempuan sifatnya benar-benar perfect. Nggak heran sih kalo liat siapa ibunya,” ucap Mama yang memang berteman baik dengan orangtua Ranti dan Yayan, khususnya ibu Ranti yang merupakan sahabat dekat Mama sejak SMP. “Kamu juga harus bisa jadi remaja anggun.”
“Mama nggak kenal sama Jessi. Gimana kalo dia ternyata jahat?”
“Mama kenal sama dia. Jessi itu udah gabung di agency Mama sejak pertama berdiri, sampe sekarang. Om Gerald juga udah Mama kasih tau masalah ini. Dan dia sepakat sama Mama dan Laura kalo Jessi is the best. Oke, honey?”
“Maa…”
“Udah ah. Mama mau konsen pake kuteks. Nggak lucu kalo nggak rata. Besok ada pertemuan ibu-ibu kompleks.”
“Paling arisan lagi. Pa… bantuin dong!”
“Kamu kan tau kalo Papa nggak pernah menang lawan Mama,” jawab Papa.
“Mama mau bikin acara amal buat anak-anak jalanan. Kamu ini mikir jelek terus,” omel Mama. “Darling, uang belanja Mama udah tipis nih…”
Papa menatap Mama. “Gimana sih, Ma? Kan baru Papa kasih minggu lalu?”
“Princess minta ke salon. Nggak mungkin dong nggak Mama kasih. Trus buat beli baju, sepatu, alat make up, aksesoris. ATM Mama udah tipis.”
Papa menggeleng tidak percaya. “Pake credit card aja. Masih Papa juga yang bayar.”
“Mama maunya uang tunai! Liat tuh dompet Mama. Tinggal berapa ratus. Came on, Darling…”
“Ihh… Papa curang! Giliran Mama diturutin semua!” protes Iluv.
Mama melotot. “Makanya, nikah. Cari suami yang kerjanya bener. Jadi bisa minta uang terus kayak Mama.”
“Lama-lama Papa bisa bangkrut,” ucap Papa pelan.
“Jadi nggak ikhlas ngasih nafkah buat istri sendiri?” ancam Mama.
Papa nyengir. “Nggak kok, my angel. I love you, babe…”
Mama tersenyum menang sambil melirik Iluv yang wajahnya makin cemberut. Iluv berdiri dengan gusar dan berjalan kembali ke kamarnya.
“Luvita,” panggil Papa.
Langkah Iluv berhenti. Dia berbalik, masih cemberut. “Apa?”
“Telpon yang kamu pake tadi mana?”
Iluv menatap kedua tangannya yang kosong.
“Jangan bilang ketinggalan di kamar mandi,” ucap Mama.
Iluv mendengus sebal seraya menuju kamar mandi. Setelah mengambil telpon dan melemparkannya pada Papa, dia kembali berjalan menuju kamarnya. Papa meletakan telpon itu di tempatnya semula, sementara Mama kembali asik mengoles kuteks di kukunya.
“Cantik, kan, Darling?” tanya Mama seraya menunjukan kukunya.
Papa menoleh sekilas, lalu kembali menatap TV. “He-eh,” jawabnya singkat.
^^.
Iluv menyantap makan siangnya tanpa selera. Ranti dan Yayan yang ikut menemaninya ke kantin tidak bisa berbuat apa-apa.
“Ambil hikmahnya aja deh, Luv,” ujar Yayan.
“Hikmah apa yang bisa diambil dari kejadian terkurung selama seminggu di kandang Buaya itu?” serang Iluv.
Ranti ikut menatap Yayan dengan heran. Dia sepakat dengan luv. Tidak ada hikmah berharga yang bisa diambil dari kejadian seminggu bergaul dengan Jessi. Kalau ‘jadi makin membenci si Ratu Buaya itu’ bisa dianggap sebagai hikmah, yah… itulah hikmah yang paling berharga.
“Siapa tau dengan bergaul selama seminggu sama dia, kalian bisa akrab dan mutusin buat jadi temen dan membatalkan taruhan yang amat sangat nggak penting ini.”
“Kamu nggak serius kan, Yan?” tanya Iluv tidak percaya. “Yang ada, aku sama Jessi tuh makin saling benci. Kamu nih bener-bener nggak ngebantu deh…”
“Kan belom dicoba,” Yayan membela diri.
“Kamu mau jadiin aku kelinci percobaan yang pertama kali masuk ke singasana Ratu Buaya?”
“Excuse me.”
Iluv, Ranti, dan Yayan kompak menoleh. Entah sejak kapan, Jessi, Agne, dan Friska sudah berdiri di belakang mereka.
“Gue cuma mau ngasih tau princess,” ucap Jessi dengan nada menghina. “Pulang sekolah nanti langsung ke Evlyn Agency. Jangan mampir ke mana-mana. Waktu yang lo punya buat belajar sama gue tuh cuma seminggu.”
Iluv berdehem mengiyakan, dengan harapan Jessi akan segera pergi. Namun, keinginannya tidak terkabul.
“Jujur ya, menurut gue ini nih pekerjaan yang sia-sia banget. Kalo aja bukan Mbak Laura atau Madame Angel langsung yang minta, gue nggak mau ngabisin waktu buat ngajarin lo. Seminggu lagi. Mustahil banget! Dikasih waktu setahun juga belum tentu lo bisa berubah. Tapi, buat menghargai dua orang yang berhasil bikin gue kayak gini, yah… terpaksa gue mau.”
“Kalo kamu pikir aku seneng diajarin kamu, ihh… maaf aja. Kamu salah! Aku juga terpaksa tau!” balas Iluv.
“Whatever,” ucap Jessi. “Inget! On time! Gue nggak mau sampe ditegur Mbak Laura cuma gara-gara princess manja kayak lo ini telat. Ngerti lo?”
Iluv menggebrak meja dengan kesal. “HEH! Aku tuh nggak mau belajar sama kamu! Jangan mentang-mentang Mama yang minta kamu ngelatih aku, trus kamu ngerasa punya kekuasaan atas aku ya! Kalo kamu nanti berani macem-macem, aku nggak segan-segan ngelaporin kamu langsung ke Om Gerald!”
Wajah Jessi tampak kaget. Dia sedikit ketakutan juga mendengar ancaman Iluv. Namun, dia berusaha menutupinya. Dengan lagak angkuh, dia mengajak dua kroninya meninggalkan kantin. Iluv kembali duduk. Mukanya masih amat kesal.
“Sabar, Luv…” ucap Ranti menenangkan.
“Gimana aku bisa sabar ngadepin Ratu Buaya itu? Dia tuh selalu bikin aku kesel! Nggak punya hati banget sih? Awas aja. Aku bener-bener bakal ngelaporin dia ke Om Gerald kalo sampe dia berani macem-macem.”
“Katanya bebas KKN…” ledek Yayan.
“Pengecualian buat Jessi!”
“Udah deh, Yan,” potong Ranti melihat Yayan akan kembali membalas ucapan Iluv. “Buat sekarang aku setuju sama Iluv. Kalo si Jessi berani macem-macem, dia nggak ngasih kamu pilihan selain lapor langsung sama Om Gerald. Secara Om Gerald tuh kan sayang banget sama kamu karena dia sendiri juga nggak punya anak dan kamu tuh satu-satunya keponakan yang dia punya. Kita nggak jamin si Jessi dikeluarin dari agency itu, tapi seenggaknya dia dapet teguran dari Om Gerald yang kemungkinan bisa bikin dia di blacklist.”
“Bener tuh!” ucap Iluv semangat.
“Kalo perlu, kita bikin dia nightmare karena ngerasa bakal dikeluarin dari agency.”
“Kamu ternyata bisa kejam juga ya, Ran?” gumam Yayan.
“Ini penting buat ngadepin Jessi. Kalo nggak, dia yang ngancurin kita. Kamu mau?”
Yayan tidak menjawab. Tepat saat itu bel tanda pelajaran dimulai berbunyi. Ketiganya berjalan menuju kelas masing-masing. Ranti menuju kelasnya, X.1, sementara Yayan dan Iluv menuju kelas X.4.
Di sudut kantin, Vedo hanya tersenyum kecil mendengar pembicaraan tiga adik kelasnya itu. Dengan senyum mengembang, dia ikut keluar kantin menuju kelasnya, XII IPA 3.
No comments:
Post a Comment