Bukan. Dia bukan menari. Hanya berputar, entah untuk apa. Semakin
deras rinai yang jatuh, semakin cepat dia berputar. Kepalanya menunduk,
menghindari tetes menyentuh wajah. Apa yang dicarinya? Apa yang dipikirkannya? Berbagai
pertanyaan lain bermunculan. Namun, yang paling ingin kutanyakan sebenarnya,
apa yang dilakukannya?
Itu bukan tarian. Tangannya memang terentang, membiarkan
telapaknya menampung air. Begitu saja. Putaran yang memelan, pertanda dia tahu
hujan segera reda. Benar saja. begitu titik air berhenti jatuh, putarannya
terhenti. Pakaiannya basah kuyup, menempel di badan tegapnya. Kepalanya tidak
lagi menunduk begitu dia berjalan pergi. Meninggalkan sisa hujan.
*
Cappuccino-ku mulai mendingin. Isinya masih sama seperti ketika waiter meletakkannya di depanku. Aku masih
belum mengalihkan pandangandari luar jendela, ke tempat lelaki itu tadi menari.
Atau berputar. Atau … entahlah, melakukan apa pun yang dilakukannya. Itu bukan
pemandangan pertama. Beberapa kali aku berteduh di sini, sambil menikmati
cappuccino panas ketika hujan, dia pasti melakukan ritual yang sama.
Aku melihat lelaki itu melangkah memasuki kafe melalui pintu
belakang. Kutunggu sosoknya muncul, namun, seperti biasa, dia seperti
menghilang. Aku menyesap cappuccino, dan langsung kehilangan minat begitu
mendapati minuman itu sudah terlalu dingin. Mengambil tas kanvas berisi perlengkapan
kerja yang kuletakkan di meja, aku meninggalkan kafe itu, setelah menyempatkan
diri melempar lirikan terakhir ke arah pintu ruang belakang kafe. Dia tetap
tidak muncul.
*
Dia bukan menari. Dia menyembunyikan sesuatu. Seperti menyembunyikan
daun di tengah hutan, dia menyembunyikan air bersama air. Aku tahu sekarang.
Aku berdiri di depannya, ketika dia baru akan berputar. Dia tidak memedulikan
kehadiranku. Tetap berfokus pada ritual hujannya.
Aku mengeluarkan payung lipat. Melindungi tubuhnya dari
serangan hujan. Dia berhenti bergerak, langsung menghadapku.
“Untuk apa?” akhirnya aku bertanya.
“Untuk jiwaku,” jawabnya, lirih. “Hujan mengambilnya. Aku ingin
memintanya kembali.”
Aku tidak mendorongnya lebih jauh untuk bercerita. Kami berdiam
di sana sampai hujan reda. Sampai dia kembali ke ruang belakang kafe, dan aku
kembali ke mejaku, di dekat jendela.
*
Tidak ada sosok yang berputar di bawah hujan kali ini. Itu pertemuan
pertama, sekaligus terakhir, dengannya. Dia tidak akan pernah muncul lagi.
Kenyataan itu sepertinya berpengaruh pada suasana kafe. Cappuccino
kesukaanku terasa hambar. Tidak ada pahit-manis khas cappuccino yang biasa. Aura
kelam memenuhi tempat itu, membuatku tidak betah dan akhirnya memutuskan
keluar.
Saat melewati salah satu jendela di dekat pintu, aku baru
memperhatikan sesuatu. Sebuah potongan koran, tentang kecelakaan tunggal sebuah
motor yang rodanya selip karena jalanan licin saat hujan, hingga terjun ke dasar jurang. Berita itu dilengkapi dengan foto sebuah motor yang sudah tak berbentuk. Di samping
potongan koran, tertempel ungkapan belasungkawa dari pihak kafe, atas
meninggalnya salah satu barista mereka, seorang pembuat cappuccino terenak di
sana. Foto si Lelaki Hujan tertempel di sana. Wajahnya tampak cerah. Dia tersenyum
lebar.
Sekarang aku tahu asal rasa hambar itu. Tuannya sudah pergi.
Segelas cappuccino pun tahu. Tetapi, aku juga tahu sang Tuan tidak bersedih. Doanya
terjawab. Hujan tidak mengembalikan apa yang dipinta, melainkan langsung membuatnya
kembali bertemu jiwanya. Di sana.
*
Malang, 29 Januari 2014
EP
No comments:
Post a Comment