Wednesday, January 29, 2014

Tentang lelaki yang menari di bawah hujan

Bukan. Dia bukan menari. Hanya berputar, entah untuk apa. Semakin deras rinai yang jatuh, semakin cepat dia berputar. Kepalanya menunduk, menghindari tetes menyentuh wajah. Apa yang dicarinya? Apa yang dipikirkannya? Berbagai pertanyaan lain bermunculan. Namun, yang paling ingin kutanyakan sebenarnya, apa yang dilakukannya?

Itu bukan tarian. Tangannya memang terentang, membiarkan telapaknya menampung air. Begitu saja. Putaran yang memelan, pertanda dia tahu hujan segera reda. Benar saja. begitu titik air berhenti jatuh, putarannya terhenti. Pakaiannya basah kuyup, menempel di badan tegapnya. Kepalanya tidak lagi menunduk begitu dia berjalan pergi. Meninggalkan sisa hujan.

*

Cappuccino-ku mulai mendingin. Isinya masih sama seperti ketika waiter meletakkannya di depanku. Aku masih belum mengalihkan pandangandari luar jendela, ke tempat lelaki itu tadi menari. Atau berputar. Atau … entahlah, melakukan apa pun yang dilakukannya. Itu bukan pemandangan pertama. Beberapa kali aku berteduh di sini, sambil menikmati cappuccino panas ketika hujan, dia pasti melakukan ritual yang sama.

Aku melihat lelaki itu melangkah memasuki kafe melalui pintu belakang. Kutunggu sosoknya muncul, namun, seperti biasa, dia seperti menghilang. Aku menyesap cappuccino, dan langsung kehilangan minat begitu mendapati minuman itu sudah  terlalu dingin. Mengambil tas kanvas berisi perlengkapan kerja yang kuletakkan di meja, aku meninggalkan kafe itu, setelah menyempatkan diri melempar lirikan terakhir ke arah pintu ruang belakang kafe. Dia tetap tidak muncul.

*

Dia bukan menari. Dia menyembunyikan sesuatu. Seperti menyembunyikan daun di tengah hutan, dia menyembunyikan air bersama air. Aku tahu sekarang. Aku berdiri di depannya, ketika dia baru akan berputar. Dia tidak memedulikan kehadiranku. Tetap berfokus pada ritual hujannya.

Aku mengeluarkan payung lipat. Melindungi tubuhnya dari serangan hujan. Dia berhenti bergerak, langsung menghadapku.

“Untuk apa?” akhirnya aku bertanya.

“Untuk jiwaku,” jawabnya, lirih. “Hujan mengambilnya. Aku ingin memintanya kembali.”

Aku tidak mendorongnya lebih jauh untuk bercerita. Kami berdiam di sana sampai hujan reda. Sampai dia kembali ke ruang belakang kafe, dan aku kembali ke mejaku, di dekat jendela.

*

Tidak ada sosok yang berputar di bawah hujan kali ini. Itu pertemuan pertama, sekaligus terakhir, dengannya. Dia tidak akan pernah muncul lagi.

Kenyataan itu sepertinya berpengaruh pada suasana kafe. Cappuccino kesukaanku terasa hambar. Tidak ada pahit-manis khas cappuccino yang biasa. Aura kelam memenuhi tempat itu, membuatku tidak betah dan akhirnya memutuskan keluar.

Saat melewati salah satu jendela di dekat pintu, aku baru memperhatikan sesuatu. Sebuah potongan koran, tentang kecelakaan tunggal sebuah motor yang rodanya selip karena jalanan licin saat hujan, hingga terjun ke dasar jurang. Berita itu dilengkapi dengan foto sebuah motor yang sudah tak berbentuk. Di samping potongan koran, tertempel ungkapan belasungkawa dari pihak kafe, atas meninggalnya salah satu barista mereka, seorang pembuat cappuccino terenak di sana. Foto si Lelaki Hujan tertempel di sana. Wajahnya tampak cerah. Dia tersenyum lebar.

Sekarang aku tahu asal rasa hambar itu. Tuannya sudah pergi. Segelas cappuccino pun tahu. Tetapi, aku juga tahu sang Tuan tidak bersedih. Doanya terjawab. Hujan tidak mengembalikan apa yang dipinta, melainkan langsung membuatnya kembali bertemu jiwanya. Di sana.


*

Malang, 29 Januari 2014
EP

No comments: