“Hoi! Aku pamit ya!”
Aku menatapnya, mengerjap sekali, sekadar memastikan
kalau aku tidak salah mengenali orang. “Eh, kamu. Mau ke mana?”
Dia menyebut salah satu tempat, di luar kota, yang akan
menjadi setting kehidupannya ke
depan.
Aku mengangguk, begitu dia selesai berucap. “Jadi kamu
ambil kerjaan di sana?”
“Yoi!” Dia masih berkata dengan nada riang seperti biasa.
“Gajinya lumayan banget buat fresh
graduate minim pengalaman kayak aku. Rugi kalau nggak diambil.”
“Ya deh, biar modal nikah cepet ngumpul ye,” aku
menggodanya.
Dia tertawa. Keras dan renyah. Tawa yang selalu berhasil
menular padaku. Begitu tawanya reda, senyum masih tersisa di sudut bibirnya.
“Nggak pengin ngomong apa-apa sama aku? Ini bisa jadi pertemuan terakhir kita,
lho. Abis ini, entah kita masih bisa ketemu apa nggak.”
Aku diam. Dia benar. Setelah ini, setelah aku lulus, aku
juga akan pergi dari kota ini, entah ke kota lain, atau kembali ke kota asalku.
Yang jelas, bukan kota yang sama seperti yang dia tinggali.
Apa ada yang ingin kusampaikan padanya? Tentu saja ada.
Apa aku akan menyampaikan langsung padanya? Yang benar
saja.
“Hm … mau bilang … ati-ati aja di sana nanti. Terus,
kalau jadi nikah, jangan lupa undang aku!” ucapku, setengah mengancam.
Dia menyeringai, membuat matanya yang sedikit sipit,
langsung hilang ditelan kelopaknya. “Kamu juga. Buruan lulus! Busuk nanti
kelamaan di sini.”
Aku hanya mencibir, namun tidak menanggapi ucapannya.
Setelah basa-basi terakhir, kami berpisah jalan. Dia masih melambaikan tangan
dengan wajah cerah sembari menjauh, yang kubalas dengan gerak tangan yang sama,
namun jelas suasana hati yang berbeda.
Begitu sosoknya menghilang di tikungan, aku menurunkan
tangan, seraya menghela napas.
*
“Jadi, kamu masih nggak bilang apa-apa ke dia?”
Aku menggeleng.
“Kenapa? Habis ini, kalian juga nggak bakal ketemu lagi.
Kurang-kurangi deh tuh gengsi. Mati ketiban gengsi, nggak enak tahu.”
“Berisik!” Hanya itu tanggapanku.
“Emang kenapa sih kalau bilang?”
Aku menghela napas. “Dia udah punya pacar. Aku kenal sama
pacarnya, walaupun nggak dekat. Bayangin deh, kalau tiba-tiba ada cewek yang
nyatain cinta ke pacarmu, padahal selama ini kamu mikir cewek itu cuma temenan
aja sama pacarmu itu, gimana perasaanmu?”
“Ya gampang. Jangan sampai ceweknya tahu.”
Aku menatapnya sebal. “Bukan masalah ceweknya tahu apa
nggak. Aku nggak mau ada di tengah hubungan orang.”
“Belum tentu diterima juga, kan? Lagian, kamu juga nggak
nembak. Cuma bilang, ‘eh, aku suka lho sama kamu,’ terus pergi. Udah.”
Seandainya
segampang itu, gumamku dalam hati. “Nggak deh, makasih.”
“Terserah deh.”
*
Aku mengenalnya hampir lima tahun lalu. Saat masa OSPEK,
dan aku satu kelompok dengannya. Lalu kami sering satu kelas, dia sering duduk
di sampingku, begitulah semuanya bermula.
Jangan bayangkan cinta pada pandangan pertama. Ini jauh
dari itu. Aku sudah punya pacar saat kami pertama dekat. Begitu aku putus, dia
yang punya pacar. Selalu seperti itu. Namun, hubungan pertemanan kami tidak
berubah. Aku tahu bagaimana dia dan pacar-pacarnya, dia pun tahu bagaimana aku
dan pacar-pacarku.
Sejujurnya, aku tidak pernah membayangkan akan jatuh
cinta padanya. Aku tidak percaya dengan statement
yang menyatakan kalau laki-laki dan perempuan tidak bisa menjadi sekadar
sahabat. Selama bertahun-tahun, aku dan dia bisa bersikap layaknya teman, tidak
pernah lebih.
Sampai di hari ketika dia mengatakan mendapat panggilan
kerja di luar kota. Aku ikut senang mendengarnya. Sungguh. Malam itu kami
merayakannya. Aku benar-benar merasa gembira untuknya. Tahu bagaimana
perjuangannya sampai akhirnya mendapatkan panggilan itu.
Setelah malam itu, aku baru menyadari ada yang berubah.
Perasaanku tidak lagi sama. Saat menyadari kalau kami akan segera berpisah,
benar-benar berpisah tanpa tahu masih ada kesempatan untuk bertemu lagi atau
tidak, aku menangis. Selain dia, aku juga berteman dekat dengan yang lain.
mereka juga sudah pergi satu-persatu, namun tidak ada yang membuatku menangis.
Sedih karena perpisahan, iya. Menangisi kepergian mereka, tidak. Aku tahu
perpisahan selalu hadir bersama pertemuan. Karena itu, tidak pernah ada
perpisahan yang membuatku menangis.
Tangisan untuknya itu yang membuatku sadar kalau aku
mungkin punya suatu perasaan lebih untuknya. Entah apa lebihnya. Dan entah
kapan perubahan itu terjadi. Aku tidak pernah mau memikirkannya.
Sebagian hatiku merasa lega saat dia menjauh. Maksudku,
pergi. Itu akan membuatku lebih mudah melupakannya, kan? Tapi, sebagian lagi
yang murni menganggapnya teman dekat, merasa sedih membayangkan tidak akan
bertemu dengannya lagi. Sisi mana yang lebih besar, aku tidak tahu.
*
“Seandainya ya, kamu sama dia ketemu lagi, apa yang mau
kamu omongin?”
“Yang aku omongin? ‘Hai, apa kabar! Lama nggak ketemu!’,
gitu,” jawabku, tak acuh.
“Serius, ish!”
“Ya, serius. Emang aku harus ngomong apa?”
“Kamu beneran nggak pengin ngasih tahu perasaan kamu ke
dia?”
Aku menggeleng, yakin. “Selama statusnya punya pacar,
nggak akan pernah. Sebesar apa pun rasaku ke dia, nggak akan. Lagian, aku juga
nggak yakin apa yang sebenernya aku rasain. Mungkin cuma sekadar nyaman karena
udah lama bareng.”
“Yakin?”
Aku mengangguk. “Kecuali … kalau nanti dia balik, terus
aku yang bakal pergi dan nggak ke sini lagi, mungkin aku baru mau bilang.”
“Yah, gitu mah beneran mustahil.”
“That’s my point,”
ucapku.
Tidak sepenuhnya bohong. Kalau memang nanti, entah apa
yang terjadi di sana hingga dia memutuskan pulang sebelum aku yang pergi, dan
kami bertemu kembali, aku akan melakukannya. Meskipun seperti yang dikatakan
teman serumahku, itu mustahil.
But, we never know
what will happen, don’t we?
*
“Hoi!”
Aku reflek menoleh. Hanya satu orang yang biasa menyapaku
dengan kata “hoi” bernada seperti itu. Dengan tidak percaya, aku mengerjapkan
mata. Seketika, aku melongo. “Kamu … ngapain di sini?”
“Pulang,” jawabnya, dengan nada ringan tanpa beban. “Kamu
ngapain masih di sini? Nggak pulang kampung?”
“Minggu depan ….”
“Nggak balik ke sini lagi?” tanyanya.
Percakapan dengan teman serumahku berbulan-bulan lalu
kembali terputar di kepala. Aku menggigit bibir, menatapnya bingung, bercampur
tidak percaya. “Nggak,” aku menjawab lemah.
Ya Tuhan ….
***
3 comments:
jadi penasaran. akhirnya bilang ngga tuh?
Oh iya saya pembaca buku 'lovhobia'. sebenernya pengin ngereview tapi belum ada waktu. iseng-iseng aja main ke blognya. Salam kenal.*_*
106Ga ada yg mustahil :-)
We never know what will happen, don’t we?
Saya baru baca buku LDR #crazyLove.
Smiles ! saya suka ^_^
Saya termasuk salah satu pelaku LDR, ga jauh memang, tapi cukup menyiksa :-p
Salam kenal yaa ^_^
@Arsiefa: cuma mereka yg tahu gimana akhirnya :p
makasihhh :))
aku tunggu reviewnyaaa :D
salam kenal juga...
@Kiki: hahaha. iyah, gak ada yg mustahil..
makasih udah baca..
salam kenal juga...
Post a Comment