Aku melirik jam tangan sekali lagi. Sudah pukul setengah dua belas siang. Menghela napas pelan, aku mengeluarkan ponsel dan mulai mengetik cepat.
Woy! Dimana? Jadi gak mau pergi?
Send. Sembari menunggu balasan, mataku mengitari sekitar. Aku tengah duduk di teras gedung serba guna kampus, di sebelah masjid. Suasana masjid kampus siang itu cukup ramai, dipenuhi kaum lelaki yang siap melaksanakan Sholat Jumat. Ponselku bergetar. SMS balasan dari Rena, sahabatku.
Iyaaaa... Lagi bedakan nih. Sabaaarrr....
Aku baru akan mengetik untuk membalas lagi, ketika samar-samar terdengar bunyi krincing-kricing diikuti suara nyanyian anak kecil. Aku menoleh dan melihat sekitar tiga anak tengah berdiri di depan sekelompok mahasiswa yang duduk di bawah pohon sembari menunggu Sholat Jumat dimulai. Salah satu dari mahasiswa itu menatap pengamen cilik itu dengan tertarik. Begitu mereka selesai menyanyi, si pemuda memanggil anak-anak itu supaya lebih mendekat. Karena jarak mereka tidak terlalu jauh dari tempatku duduk, aku bisa mendengar percakapannya.
"Kalian sekolah nggak?" tanya pemuda itu.
"Dulu sekolah. Sekarang udah nggak, Mas," jawab salah satu anak yang memakai celana pendek selutut yang sudah kumal dan singlet putih kotor.
"Lho, kenapa?"
Ketiga anak itu saling pandang sejenak. Seorang anak lain mengusap ingus dengan punggung tangan, membuat wajahnya makin kotor, sebelum menjawab. "Kan, kami harus kerja, Mas," jawabnya dengan nada polos.
Pemuda itu diam sejenak. "Kalian bisa baca?"
"Bisa!" jawab ketiganya.
"Oya?" alis pemuda itu naik sedikit dengan kaget. "Coba baca itu," dia menujuk sebuah spanduk di depan Fakultas yang berada di seberang masjid.
"Jalan Sehat 2012 Dalam Rangka Dies Natalis Universitas Brawijaya," baca anak-anak itu serentak.
Wajah pemuda itu berbinar. "Wah, pinter," pujinya. "Kalo ngitung, bisa juga?"
Mereka semua mengangguk semangat.
"Mas coba ya," Pemuda itu berdehem. "Tujuh tambah enam?"
Anak-anak itu menghitung sejenak. "Tiga belas!' sorak mereka.
"Tiga belas tambah lima?"
"Delapan belas," jawab anak bersinglet putih.
"Kalau delapan belas tambah empat?"
"Dua dua!"
Aku memerhatikan pemuda itu tampak semakin semangat memberi soal perhitungan pada anak-anak itu. Ketiga anak itu sepertinya baru berusia enam atau tujuh tahun. Untuk ukuran anak yang tidak sekolah, mereka cukup pintar. Namun, pada perhitungan tiga puluhan, anak-anak itu mulai kesulitan. Si pemuda tersenyum kecil.
"Mau nggak belajar lagi?" tawar pemuda itu.
Ketiga anak itu tampak ragu. "Tapi, kalau belajar, nanti kita nggak dapet uang, trus Ayah marah."
Mata pemuda itu menggelap. Ekspresinya berubah murung sebentar, lalu dia tersenyum lagi. "Tapi, kaliannya mau, kan?"
Anak-anak itu mengangguk pelan.
"Gimana kalo gini, besok kalian dateng ke tempat Mas. Ntar Mas ajarin ngitung angka yang lebih besar. Kita belajar sama-sama."
"Tapi, Mas...."
"Nanti, abis kalian belajar, Mas kasih uang. Gimana? Mau ya?" bujuk pemuda itu. "Mas kasih uang nanti," ulangnya.
Pelan-pelan, anak-anak itu mengangguk. Wajah si pemuda kembali berbinar. Dia lalu menyebut alamat yang harus didatangi ketiga anak itu besok.
"Mas tunggu lho!" ujarnya, sebelum anak-anak itu pergi.
"Iya, Mas. Makasih ya...." ucap mereka, lalu berlari pergi menuju gerbang kampus.
Aku melihat pemuda itu masih mengamati ketiga punggung anak-anak tersebut yang semakin menjauh. Kemudian, pemuda itu bergabung bersama teman-temannya lagi untuk masuk ke tenda masjid. Sholat Jumat segera dimulai. Aku masih mengamatinya, tengah tertawa kecil dengan teman-temannya. Setengah tidak percaya kejadian seperti ini benar-benar ada di dunia nyata. Pikiran apakah dia menerima relawan untuk membantu mengajar terlintas. Aku sama sekali tidak keberatan bergabung. Mungkin sebaiknya aku menunggu pemuda itu selesai sholat dan menyampaikan niatku. Atau aku bisa....
"Hei, lama ya nunggunya?"
Aku menoleh dan melihat Rena sudah menyeringai lebar. "Kamu pulang dulu ya?"
Rena mengangguk. "Tadi kelasnya selesai cepet. Ya udah, pulang dulu."
Aku melirik ke arah tenda masjik sekali lagi, mencari sosok pemuda tadi.
"Ngeliatin apa sih?" tanya Rena, ikut menjulurkan kepalanya. "Ada mamas cakep ya yang sholat?"
Aku menatapnya datar. "Nggak ada isi ya tuh otak selain cowok cakep?"
Rena hanya tersenyum santai. Dia menggamit lenganku. "Ayo. Aku laper. Makan apa ya enaknya?"
Aku menghela napas dan mengikutinya. Besok-besok, kalau bertemu dengan pemuda itu lagi, mungkin aku bisa menyampaikan niatku. Yah, semoga bisa bertemu lagi. Setidaknya, kami satu universitas. Peluang bertemu seharusnya lebih lebar.
"Tau, nggak, Ren. Tadi aku liat ada Mamas Manis ngobrol sama pengamen," ujarku. Lalu, aku mulai bercerita pada Rena sementara kaki kami terus bergerak menuju mall yang berjarak hanya lima belas menit dari kampusku.
Sisi lain yang baik seperti itu ternyata masih ada. Dunia belum sepenuhnya rusak. Kaum muda tidak sepenuhnya masa bodoh. Aku ingin menjadi salah satu dari sisi lain yang baik itu.
***
*Based on the True Story*
PS: sebenernya lagi ngerjain proposal skripsi. trus sumpek. Ya udah, nulis ini dikit gak dosa kan? moga bermanfaat :)
No comments:
Post a Comment