pernah denger gak istilah imaginary-friend? yup, teman khayalan. mungkin banyak yang bertanya-tanya hal itu beneran ada apa gak.
aku bukan ahli psikologi, bukan mahasiswa psikologi pula. tapi, aku sangat tertarik sama dunia psikologi dan gangguan-gangguan psikologi lainnya. kali ini aku pengen bahas tentang 'teman khayalan'.
nggak banyak kisah masa kecil yang aku inget. bahkan bisa dibilang dikit banget. tapi, untuk pengalaman yang ini aku nggak akan pernah lupa. aku pribadi pernah ngalamin gangguan psikologis itu. aku pernah punya (ato ngerasa punya) temen khayalan. namanya Erika. aku inget dulu sering main bareng, ngobrol, dan ngelakuin banyak aktifitas lain layaknya temen baik. orang-orang rumah sering negur, "sa, ngomong sama siapa?" dan aku jawab, "sama temen". aku juga pernah cerita ke umi tentang 'temen'ku ini. aku bilang, "mi, aku punya temen. tapi dia di atas". si umi nanya, "atas mana?". "ya di atas". "udah meninggal dong kalo di atas". "nggak kok. dia sering ngobrol sama aku". si umi cuma diem.
aku gak tau pasti kapan 'temen'ku ini muncul. yang pasti, saat itu aku bener-bener ngerasa punya temen deket. 'temen'ku itu mulai ilang waktu aku mulai tumbuh gede, masuk sekolah dasar.
aku pribadi emang mengidap suatu penyakit yang susah banget ilang. rada anti sosial. gak anti sih sebenernya. aku cuma susah beradaptasi, susah bergaul dan membaur sama orang-orang baru. ini udah aku alami sejak kecil. aku inget banget waktu SD aku sering berdiri sendirian di depan kelas, ngeliatin temen-temenku yang lain sibuk main, tanpa ada keberanian buat gabung. gitu juga waktu TK. aku takut buat mulai suatu interaksi sama orang.
dan di masa kelam itulah, pikiranku menciptakan suatu sosok yang disebut temen khayalan. sosok temen terbaik yang aku punya (dulu). aku sama sekali gak ngerasa ada yang aneh sama diriku. yang aku tau, aku seneng karena aku punya temen. hal itu berlangsung bertaun-taun. meskipun gak bisa mendeskripsikan gimana kejadiannya, apa aja yang aku lakuin sama dia, tapi aku inget dia pernah ada.
sosok 'Erika' mulai hilang waktu aku kelas 4 SD. waktu itu aku mulai punya temen sebenernya. mulai masuk ke pergaulan yang sebenernya (makasih banyak buat neng, cecep, sm dedi, sahabat-sahabat pertamaku).
aku gak tau gimana dia bisa ilang, gimana aku bisa sadar dari keanehan itu. semuanya kayak ngalir gitu aja, sampe akhirnya aku tiba di titik ini.
di sini, aku juga mau nyampein sebuah artikel yang aku baca tentang imaginary friend..
(dari tabloid nova)
Anak-anak memang memiliki kemampuan imajinasi yang tinggi. Terkadang hal tersebut dapat mempengaruhi prilakunya secara berlebihan. Salah satu bentuk dari daya imajinasi anak yang sering ditemui adalah teman khayalan. Bagi anak balita, teman tersebut bisa jadi sangat nyata sama dengan dirinya.
Laura Davis dan Janis Keyser dalam buku Becoming the Parent You Want to Be: A Sourcebook of Strategies for the First Five Years mengatakan, teman khayalan biasa dialami oleh anak usia 3-6 tahun.
Teman khayalan itu sangat nyata sehingga terkadang harus mendapatkan tempat makan di meja, menggunakan sabuk pengaman di mobil dan diberikan kesempatan untuk berbicara pada pertemuan keluarga yang sama dengannya.
“Biasanya teman khayalan ini memiliki nama yang diciptakannya sendiri. Nama tersebut bisa diambil dari nama yang familiar. Teman khayalan mungkin saja dialami anak-anak untuk beberapa waktu,” terang Laura.
Terkadang teman khayalan pada anak, dapat bertindak sebagai orang yang disalahkan atau alter ego. Bisa juga anak menyalahkan temannya itu atas mainan yang hilang atau ketika dia mengatakan kata-kata yang dilarang.
“Yang perlu diingat, terkadang teman khayalan merupakan teman bermain yang menyenangkan,” tegas Laura.
Penelitian yang dilakukan oleh Marjorie Taylor dari Fakultas Psikologi University of Oregon dan Stephanie M. Carlson dari Fakultas Psikologi University of Washington menyimpulkan, dua dari tiga anak usia tujuh tahun pernah memiliki setidaknya satu teman khayalan.
Ternyata teman khayalan tidak hanya muncul pada anak usia 3-4 tahun, namun juga hingga anak-anak mencapai usia sekolah.
“Ketika kami memulai penelitian ini sekitar 10 tahun yang lalu, kami memperkirakan hanya sekitar satu dari tiga anak usia prasekolah yang memiliki teman khayalan,” ujar Taylor dalam artikelnya The Characteristics and Correlates of Fantasy in School-Age Children: Imaginary Companions, Impersonation, and Social Understanding.
Awalnya, tujuan penelitian yang dilakukan Taylor dan Carlson yaitu untuk mempelajari hingga beberapa tahun kemudian, bagaimana teman khayalan tersebut mempengaruhi kehidupan sang anak.
Anak-anak mengakui bahwa beberapa teman khayalan mereka kadang-kadang juga berlaku tidak baik dan mengganggu. Bahkan, memukul mereka atau tidak mau pergi ketika anak-anak tersebut sedang membaca. Cepat atau lambat, anak-anak menyadari bahwa teman-teman khayalannya tidak nyata.
Carlson menuturkan, beberapa anak yang ikut dalam penelitian sempat mengajaknya bicara secara pribadi dan berkata “Anda tahu bahwa ini hanya pura-pura kan?”.
Clinical Assistant Professor New York University, School of Medicine Anita Gurian PhD menjelaskan, untuk para orangtua yang melihat anaknya memiliki teman khayalan untuk memperhatikan lebih lanjut. Lihat intensitas dan durasi dari hubungan anak dengan teman khayalannya.
“Orangtua harus mulai khawatir jika anak-anak menghindari interaksi dengan anak-anak lain dan lebih memilih bermain dengan teman khayalannya. Kemungkinan, anak sedang mengalami tekanan psikologis,” kata Anita.
Orangtua juga harus waspada jika anak hanya terfokus pada kehadiran teman khayalannya tersebut. Orangtua dapat meminta bantuan dari konsultan professional untuk mengetahui apakah anak memiliki ketegangan pada alam bawah sadar.
“Secara umum, seorang teman khayalan adalah sebuah tanda anak sedang berhadapan dengan hal kompleks, ketika dia sedang berusaha berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya. Jangan merendahkan hubungan anak dengan teman khayalan tapi jangan terlalu terlibat,” saran Anita kepada para orangtua.
Tips:
Jangan remehkan hubungan anak dengan teman khayalannya, tapi jangan juga terlalu terlibat. Ikuti saja skenario anak tapi tetap dengan batas-batas tertentu. Sesekali, Ada boleh mengingatkan anak teman khayalannya tidak nyata. Misalnya, dengan mengatakan “Wah, senang sekali ya pura-pura main dengan Lanni”. Pandanglah kehadiran teman khayalan anak Anda dari sisi positifnya. Teman khayalan merupakan hasil dari keingintahuan dan kreativitas anak dalam usahanya mencoba menalar apa yang terjadi disekitarnya. Anak yang punya teman khayalan akan tumbuh menjadi orang yang penuh rasa ingin tahu dan kreatif. Orangtua seringkali memandang bahwa anak benar-benar mempercayai kehadiran teman khayalannya. Anak-anak juga cenderung mempertahankan pendapat kehadiran temannya tersebut. Namun, pada umumnya anak-anak sebenarnya menyadari mereka sedang berpura-pura. Kenyataannya, teman khayalan akan cepat pergi menghilang ketika hadir orang asing atau teman lain yang menganggap teman khayalannya tidak nyata. Biasanya anak akan segera mengatakan selamat tinggal kepada teman khayalannya jika merasa mampu untuk menghadapi sendiri ketakutan dan perasaan negatifnya. Orangtua harus mulai mewaspadai anak yang lebih banyak menghabiskan waktunya setiap hari berbicaradan bermain dengan teman khayalannya. Hal itu bisa berarti adanya perasaan tidak aman pada anak. Jika perlu, konsultasi dengan ahli perkembangan anak.
kesimpulannya, apa temen khayalan itu ada ato gak tergantung orangnya. orang yang menciptakan temen khayalan itu tentu anggep kalo 'temen'nya itu beneran ada, sementara orang lain anggep itu gak ada.
apa itu tanda gila? sama sekali gak.
menurutku itu cuma gangguan psikologis, dampak dari tekanan yang ada di sekitar kita. siapa pun bisa berkemungkinan punya teman khayalan..
aku gak tau itu salah apa gak. yang aku tau, aku seneng 'Erika' pernah ada waktu aku butuh temen. dan aku berterimakasih untuk kehadirannya, meskipun itu cuma ada di imajinasiku...
No comments:
Post a Comment